Semenjak kita sama-sama
untuk tidak bersama lagi, aku masih saja belum mampu melupakan sepenuhnya semua
kisah yang pernah kita jalani. Karena dengan melupakan semua kisah itu berarti
sama saja aku telah menghilangkan separuh dari masalaluku. Namun, jika aku
tidak berusaha melupakannya itu sama saja aku tetap menimbun luka yang bisa
saja suatu hari nanti akan menganga. Aku tidak mengingkan hal itu terjadi. Kebahagiaan
akan tetap aku usahakan meski tidak bersamamu.
Terlalu konyol jika aku
mengatakan bahwa aku akan tetap mencintaimu meski kita tak saling bersama. Itu sama
saja aku sedang membunuh perlahan hatiku. Semantara diluar sana kau sedang
berbahagia dengan orang lain. Tidak. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.
Kalaupun ada yang
mengatakan bahwa cinta tak harus memiliki, nyatanya aku tidak menginginkan hal
itu. Bagiku, cinta adalah memiliki. Kalau tidak memiliki apakah masih bisa
disebut cinta? mungkin bagi sebagian orang akan tetap menyebutnya cinta. tapi,
tidak untukku karena bagiku hal semacam itu hanya ada dalam dongeng. Tak ada
orang yang benar-benar mau mengorbankan kebahagiaannya demi orang yang tidak
peduli dengan kita bahkan tidak ingin hidup dengan kita. Itu hanya akan
mematikan rasa yang kita miliki.
Kita hanya punya satu
hati. Dan kita tak ingin membunuh satu-satunya hati yang kita miliki kan?
Yang pergi biarlah pergi. Kita
hanya harus membuka lagi tangan setelah itu. Maka, kelak akan ada yang
menggenggam tangan kita dengan tulus. Daripada harus mengorbankan satu-satunya
hati yang kita miliki lebih baik kita membiarkan dia yang menginginkan pergi.
Tidak perlu rasanya aku
berlari mengejarmu dan menahan langkah kakimu. Berjuang tidak harus seperti
itu.
Aku pun punya hak untuk
bahagia dan aku juga punya kewajiban untuk membahagiakan diriku sendiri. Ya,
aku akan tetap bahagia meski tidak bersamamu lagi.
Aku tidak akan membiarkan
kamu membawa satu-satunya hati yang aku miliki. Andai jika suatu saat kerinduan
padamu muncul maka akan kupastikan bahwa aku akan membunuhnya secara perlahan
atau mungkin membunuhnya secara kejam. Sekejam saat kamu memutuskan untuk
meninggalkanku disaat rasa cintaku padamu sedang mekar-mekarnya. Kadang memang
cinta harus sekejam itu.
Aku tidak akan menyebutnya
lagi cinta saat rasa rindu muncul suatu saat nanti. Aku akan menyebutnya luka
yang berusaha muncul setelah sekian lama tertimbun masa lalu.
Aku akan tetap bahagia
meski tidak bersamamu.
Jika bertahan adalah hal
yang tidak bisa diusahakan maka melepaskanmu adalah hal yang terbaik itulah
yang akan kupegang teguh. Aku berharap waktu tidak akan mempertemukanku dengan
dirimu untuk beberapa saat yang akan datang sebelum lukaku benar-benar sembuh. Aku
akan mencari obat akan luka yang kamu berikan. Percayalah aku akan baik-baik
saja.
Pergilah jika itu yang
terbaik!
Namun, jangan
sekali-sekali ada niatan dalam dirimu bahwa kepergianmu hanya agar aku
mencarimu. Aku tidak sekonyol itu dalam mengejar cinta. Bagiku, yang pergi
biarlah pergi.
Karena ini bukan untuk
pertama kalinya kamu memutuskan untuk pergi dariku. Kemarin-kemarin aku masih
mau untuk menghentikan langkahmu dengan meminta belas kasihan darimu. Tapi, hal
seperti itu tidak akan berulang kali terjadi.
Apakah kita masih akan
menyebutnya cinta jika kita sudah sering merasa tersakiti? Apakah aku akan
tetap menyebutmu cinta sejatiku jika setiap malam aku harus merelakan air mataku
jatuh karena mu?
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar