Ibu...,
Ah, aku selalu saja senang menyebut namamu.
Kali ini, rasanya aku rindu sekali berada di sampingmu. Namun, perjalanan hidup atau engkau menyebutnya proses hidup memaksaku untuk tidak berada di sampingmu.
Beberapa saat yang lalu aku baru saja berbagi cerita dengan sahabat-sahabatku. Setelah itu, tiba-tiba saja aku rindu berbagi cerita denganmu. Membahas hal-hal kecil atau tentang berita yang sedang dibacakan oleh penyiar televisi saat kita sama-sama menonton TV. Tapi, lebih seringnya kita atau lebih tepatnya ibu berbagi cerita tentang kenakalan-kenakalanku waktu kecil. Setiap ibu menutup cerita masa kecilku yang nakal ibu selalu menutup dengan candaan yang sampai sekarang sering membuatku tersenyum sendiri.
"Waktu kecil, kamu tidak ada lucu-lucunya. Yang ada malah selalu bikin ibu kesel. Untung, kamu anak ibu, kalau bukan pasti kamu sudah jadi pepes orok." Katamu diakhiri dengan tertawa yang juga membuatku tertawa.
Ah, aku rindu saat-saat kita berbagi cerita. Bagiku, selain seorang ibu yang paling baik sedunia engkau juga pendongeng ulung yang pernah ada dalam masa kecilku.
Selalu banyak cerita yang keluar dari bibirmu. Terutama tentang memaknai kehidupan ini.
Bu, hari ini, ibu melihat berita televisi tidak?
Hari ini, aku melihat beberapa berita yang membuatku bergidik. Ada ibu yang tega membunuh anaknya karena rewel, ada ibu yang menelantarkan anaknya, ada anak yang disiksa ibunya. Dan masih banyak lagi berita serupa.
Bu, apa pendapat ibu jika ada yang seperti itu?
Apakah mereka memang belum siap menjadi ibu?
Kini, aku tahu bahwa memang mengurus seorang anak itu tidaklah mudah. Apalagi mengurus anak nakal dan rewel sepertiku. Kalau saja Tuhan tidak menakdirkan aku sebagai anakmu mungkin benar bu bahwa aku telah mennjadi "pepes bayi".
Kini, aku mulai mensyukuri hal-hal yang aku anggap sepele. Seperti aku tidak pernah bersyukur terlahir dari rahimmu. Dari rahim seorang ibu yang benar-benar tulus mencintaiku. Padahal di luar sana banyak sekali ibu yang jangankan mencintai dengan tulus justru mereka tega merampas hidup anaknya sendiri.
Aku juga tidak pernah bersyukur di lahirkan dari rahim seorang ibu yang memiliki segudang kasih sayang yang tak pernah habis. Sementara di luar sana banyak sekali ibu yang jangankan menyayangi anaknya, mereka justru dengan tega menyiksa darah dagingnya sendiri.
Akhirnya, aku percaya dengan kata-katamu dulu :
"Ibu tidak bisa mewariskan harta yang banyak padamu. Ibu tidak bisa memanjakanmu dengan harta. Ibu juga tidak terlalu memiliki ilmu yang banyak hingga bisa memberimu banyak pengetahuan. Tapi, percayalah bahwa ibu memiliki cinta kasih yang bisa ibu wariskan padamu. Ibu memiliki ilmu kasih sayang, kesabaran, ketabahan dan senyum yang akan selalu ibu ajarkan padamu. Harta, Ilmu, dan semua pengalaman lainnya bisa kamu dapatkan di luar suatu saat nanti. Tapi, percayalaha kamu tidak akan mendapatkan pelajaran kasih sayang yang tulus selain dari ibumu." Katamu pada suatu malam dna dengan kebiasaanmu mengelus rambutku saat itu aku belum memasuki bangku sekolah.
Awalnya,aku kira itu hanyalah alibimu karena kita memang berasal dari keluarga yang sederhana. Tapi, kini aku menganggap lain nasihatmu itu. Ternyata kita bukan keluarga sederhana. Kini, aku menemukan hal lain bahwa kasih sayang adalah kekayaan yang sesungguhnya yang tak pernah ternilai.
Itu baru aku sadari saat aku menemukan kenyataan bahwa orang yang mengatakan cinta ternyata tak selalu benar-benar cinta. Orang yang mengatakan sayang tak selalu tulus. Selalu saja ada maksud lain yang tersembunyi.
Bahkan, untuk beberapa kasus yang pernah aku lihat. Ternyata kebanyakan cinta dan kasih telah mati dalam hati manusia. Apa mungkin mereka tak mendapatkan 'warisan' kasih sayang dari ibu mereka dulu?
Bu, apakah yang ibu rasakan saat mendengar ada seorang bayi yang dibunuh oleh ibunya?
Tentu, ibu akan lebih bergidik daripadaku.
Ah, aku ingat pada pertanyaan konyolku saat ibu menceritakan kenakalan-kenakalanku.
"Apakah ibu pernah kesal atau marah saat aku nakal dan rewel?" Tanyaku polos.
Seperti biasa, satu senyum mengembang di bibirmu. Lalu termenung sebentar. Berusaha mengingat dan sesekali tersenyum lagi sebelum berbicara.
"Nak, ibu hanyalah manusia biasa. Tentu ibu pernah merasa kesal dan marah. Namun ibu berusaha untuk tidak melampiaskan marah ibu padamu, apalagi sampai memukulmu. Tangan ibu tidak sanggup untuk melakukan itu. Bahkan, untuk marah pun ibu tidak sanggup." Engkau diam sejenak dan tersenyum. Menatap wajahku yang mulai serius memperhatikan.
"Dengarlah nak, saat ibu marah rasanya yang sakit justru hati ibu. Saat ibu hendak memukulmu justru ibu sendiri yang merasa ketakutan. Kau tau kenapa?"
Aku yang masih polos hanya menggeleng.
" Karena kamu adalah darah daging ibu. Kalau ibu marah padamu itu sama saja ibu sedang memarahi diri ibu sendiri. Maka, saat ada yang membuatmu bersedih dan kecewa tentu ibulah yang pertama merasakannya. Kelak, engkau akan membuktikan keterikatan anatara dirimu dan ibu. Satu hal yang juga paling penting kenapa ibu tidak pernah melampiaskan marah ibu padamu, karena ibu tidak ingin mengajarkanmu mengumbar amarah... ." Engkau membiarkan kata-katamu menggantung di langit-langit rumah. Seperti biasa engkau mengelus kepala anakmu yang masih kecil dan polos. Itu semacam ritual agar apa yang engkau sampaikan meresap kedalam kepalaku.
Dan kemarin-kemarin saat aku jatuh sakit di tanah rantau engkau melemparkan pertanyaan dari seberang sana yang membuatku kaget.
"Kamu sakit nak?" Katamu di ujung telepon. Tentu saja aku merasa kaget karena aku tidak pernah mengatakan bahwa aku sedang sakit.
"Tidak." Kataku dengan berbohong.
"Kamu bisa membohongi siapapun tapi tidak akan pernah mampu membohongi ibumu." Katamu dengan tegas dari ujung telepon.
"Meskipun ibu tidak melihatmu tapi ibu bisa merasakannya." Tambahmu.
Tentu, aku tidak bisa mengelak lagi. Karena aku sadar bahwa aku adalah darah dagingmu. Hati dan perasaanku juga dibentuk dari air susumu. Itulah mungkin yang membuat keterikatan jiwa diantara kita benar-benar ada. Bahkan kita memiliki rasa yang sama.
Itulah mungkin sebabnya agama dan medis menyarankan agar semua bayi harus mendapatkan ASI. Agar terjalin keterikatan antara ibu dan anak.
Pada suatu kesempatan engkau pun pernah bertutur seperti ini,
Kemarahan adalah salah satu penyakit gila. Semua orang yang mengikuti kemarahannya akan membabi buta melakukan apa saja. Namun, semua kemarahan yang seperti itu hanya berujung pada penyesalan.
Mungkin, itu jugalah yang terjadi dengan para ibu yang tega membunuh atau menyiksa anaknya.
Bu, hari ini aku benar-benar mensyukuri nikmat terbesar yang aku lupakan. Aku bersyukur bahwq aku terlahir dari ibu yang luar biasa sepertimu.
Meski aku selalu menyusahkan namun engkau selalu menghadiahiku dengan senyuman.
Meski aku sering membuat kesalahan namun engkau selalu memberikanku semangat untuk berubah pada kebaikan.
Ah, tiba-tiba saja aku teringat dengan dongeng yang pernah engkau ceritakan dulu. Mungkin, ibu sudah lupa dengan cerita ini tapi aku masih mengingatnya denga jelas. Baiklah, hari ini kembali aku akan belajar menjadi pendongeng seperti ibu. Semoga kelak, aku juga bisa berbagi cerita dengan anak-anakku tentang dongeng-dongengmu. Dan ibu, ibu akan menjadi pendengar dongengku yang pertama agar ibu bisa menilai apakah aku sudah pantas untuk berbagi cerita dengan anak-anakku.
Aku ingin menceritakan kembali apa yang pernah ibu ceritakan padaku dulu. Dulu, ibu pernah bercerita begini :
Dahulu kala, di kaki pegunungan ada sebuah desa yang amat subur dan makmur. Rakyatnya pun sejatera. Awalnya, desa tersebut sangat aman dan tentram. Namun, keadaannya berubah saat ada segerombolan perampok yang meneror desa tersebut. Hasil pertanian dan peternakan dari desa yang subur tersebut amat tersohor hingga ke tanah yang jauh. Dan keadaan tersebut justru mendatangkan tamu yang tak di undang yakni segerombolan perampok.
Pada suatu malam, para perampok tersebut beraksi menjarah harta, hasil panen dan ternak warga. Tidak hanya itu, perampok juga menculik seorang bayi berumur sepuluh bulan. Dahulu, bayi laki-laki sangat laku untuk di jual dengan harga yang mahal karena bisa di jadikan budak jika sudah besar. Atau di jual pada orang tua yang menginginkan anak pada pernikahan mereka.
Para perampok tersebut membawa bayi mungil itu ke salah satu pegunungan yang melingkari desa yabg kondisinya sangat sulit untuk ditempuh dan dipenuhi semak belukar serta hewan-hewan buas.
Kepala desa dan penduduk yang lain bertekad untuk merebut kembali bayi yang di culik perampok. Kalau hanya harta yang di rampok tentu kita bisa mengikhlaskannya tapi kalau bayi yang diculik maka kita harus merebutnya, kata kepala desa dengan berapi-api. Maka, dibentuklah beberapa kelompok dari jumlah warga yang hadir yang akan berpencar menyusuri gunung yang di duga tempat bersembunyi para perampok.
Namun, belum sampai setengah perjalanan mendaki, mereka sudah tersesat di tengah hutan belantara. Semua anggota kelompok yang semuanya laki-laki desa itu kembali ke balai desa dengan tangan hampa.
Setelah menyusun rencana yang lebih matang, kelompok kedua pun berangkat mendaki dengan misi yang sama. Namun, saat mereka telah melewati setengah pendakian semuanya lari pontang panting karena banyak binatang buas yang menghalangi jalan mereka. Akhirnya, kelompok kedua pun kembali dengan tangan kosong.
Karena sudah banyak yang terluka dan kelelahan maka kepala desa tidak bisa memaksa dan hanya mengajak warga yang masih mampu saja untuk menyisir gunung yang di maksud. Mereka semuanya berpencar dan akan bertemu di satu tiitk yang telah di tentukan. Namun, setelah dilakukan penyisiran pun hasilnya tetap tidak bisa menemukan jejak perampok tersebut. Akibatnya, semua warga sudah banyak yang putus asa untuk mencari si bayi yang di culik.
Di tengah kesibukan yang melanda desa. Justru ada sebuah keanehan. Penduduk merasa heran karena mereka sudah mati-matian mencari namun sang ibu bayi justru tidak kelihatan bahkan seolah tenang-tenang saja di rumahnya.
Ketika hari menjelang sore dan warga sudah putus asa hendak membubarkan diri dari balai desa, tiba-tiba dari ujung desa tepatnya dari kaki gunung nampak seorang ibu turun menyusuri gunung menuju ke balai desa. Pakaian si ibu itu lusuh, tangan, kaki, bahkan wajahnya penuh dengan luka. Bahkan di beberapa bagian nampak masih menetes darah segar seperti gigitan binatang.
Tentu,hal tersebut membuat kaget semua warga, bagaimana mungkin seorang perempuan bisa mendaki ke gunung yang merupakan belantara dan di penuhi binatang buas. Sedangkan laki-laki saja semuanya menyerah karena tak sanggup. Bahkan, yang lebih mencengangkannya lagi perempuan itu menggendong seorang bayi yang di culik perampok yang bengis. Semua warga melontarkan pertanyaan yang sam bagaimana bisa melakukannya? Perempuan itu berusaha tersenyum dan dengan tenang dia menjawab "Ini adalah anak saya". Kata si ibu sambil mencium bayinya yang tertidur pulas dipelukannya.
Begitulah cerita yang pernah engkau kisahkan padaku dulu. Engkau mengatakan bahwa itu hanyalah cerita dongeng. Namun, entah kenapa aku merasa bahwa itu adalah cerita itu adalah sungguhan. Dan aku pun menyimpulkan bahwa perempuan itu adalah engkau. Bukankah desa kita juga subur dan di kelilingi bukit barisan yang indah?
Tapi terlepas dari itu aku selalu percaya bahwa cintamu lebih dari apapun. Aku juga masih ingat dengan kata-katamu saat mengakhiri cerita itu.
"Begitulah cinta seorang ibu, bahkan mereka rela mempertaruhkan nyawa demi anaknya."
Aku setuju. Bahkan, bukankah saat engkau juga telah menaruh separuh nyawamu di pintu surga saat hendak melahirkanku? Antara hidup dan mati.
Lalu, engkau menutup cerita malam itu dengan sebuah kata penuh makna :
Di dunia ini tidak ada yang bisa mengalahkan kekuatan cinta keculi kekuatan Tuhan yang Maha Cinta. Sedangkan, cinta sejati adalah cinta yang tak pernah mengharapkan balasan dari orang yang menerima curahan hati,cinta dan kasih kita. Dan itu ada pada seorang ibu. Maka, mulailah untuk belajar menebarkan cinta kasih dalam hidupmu!
Ah, tiba-tiba kerinduan ini kian membuncah untuk kembali bertemu denganmu dan berbagi cerita langsung denganmu. Bercerita tentang apa yang telah engkau ceritakan padaku di waktu kecil.
Akhirnya, aku hanya bisa merapalkan doa untuk kebahagiaanmu.
Sekali lagi, aku bersyukur telah dilahirkan dari rahim seorang ibu yang telah membesarkanku dengan cinta kasih bukan dengan siksa dan amarah.
Semoga engkau tetap menunggu kepulanganku. Aku sudah merindukan untuk berbagi kisah dan merasakan masakanmu.
Karena hari ini pun aku yang bercerita. Berarti nanti saat aku pulang pun harusnya aku yang memasak untukmu. Kini aku sudah siap dengan ledekanmu padaku tentang masakan yang pernah aku buat.
"Kamu masak sayur apa masak garam? Asin banget. Jangan-jangan sudah kepingin nikah." Itu adalah ledekan yang pernah keluar dari bibirmu. Responku saat itu hanya nyengir dan menepuk jidat. Lalu engkau tertawa . Aku pun tertawa.
Ibu pasti juga sedang tersenyum sekarang dengan tingkah anakmu yang semakin aneh ini. Tapi, tak apa pepatah juga mengatakan Buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Jadi...? hehehe
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar