Ibu...,
Maafkan aku bu.
Maafkan aku bu.
Maafkan aku.
Aku memang anak yang durhaka.
Pasti ibu kaget kan dengan apa yang aku ucapkan?
Pasti ibu merasa aneh kan dengan semua ucapan itu?
Tidak mengapa bu. Ibu pantas merasa kaget dan keheranan dengan apa yang aku katakan barusan. Karena memang sebelumnya kata-kata seperti itu tak pernah keluar dari bibirku.
Hari ini, aku merasa berdosa sekali. Harusnya, kata-kata seperti itu aku ucapkan di hadapanmu langsung sambil bersimpuh atau dengan mencium tanganmu yang suci. Bukan justru melalui surat ini.
Bu, aku baru menyadari hari ini. Bahwa aku adalah anakmu. Yang keluar dari rahimmu dengan pertaruhan nyawamu sendiri. Bukan. Bukan berarti kemarin aku tidak mengakuimu sebagai ibuku.
Tapi, hari ini aku menyadarinya dengan keutuhan hati.
Mungkin, ibu bertanya-tanya dalam hati. Apa gerangan yang membuat anakmu ini menjadi aneh. Tidak mengapa bu. Aku akan dengan senang hati menjelaskannya.
Begini bu:
Hari ini, temanku yang juga sedang berada jauh dari tanah kelahirannya. Jauh dari orang tuanya sedang bersedih. Bahkan, aku melihat di sudut matanya ada linangan bening air mata. Lantas, sebagai teman tentu saja aku berniat untuk menghiburnya. Karena dugaanku pasti karena masalah cinta.
"Kau kenapa?" Tanyaku.
Dia hanya menggeleng. Itu tidak seperti biasanya. Dia selalu terbuka denganku.
"Kau kenapa? Masalah cinta lagi? Mulai kapan kau menjadi cengeng hanya karena cinta?" Kembali aku bertanya dengan sedikit meledeknya.
"Tidak. Bukan karena itu." Jawabnya dengan suara lemah.
"Lantas, kenapa kau bersedih?"
Di hanya diam tak menanggapi.
Aku menatapnya serius. Menunggu jawaban.
"Sudah beberapa hari ini, aku tidak mendengar kabar dari orang tuaku. Di SMS tidak ada balasan di telepon pun tidak aktif." Tuturnya tetap dengan nada yang lemah.
"Hahaha..." Aku tertawa mendengar jawabannya. "Aku kira masalah apa. Dasar anak mamah, baru beberapa hari saja tidak mendapat kabar dan tidak mendengar suaranya saja sudah sedih. Kau ini laki-laki, tidak perlu lah berlebihan seperti itu!" Ledekku.
Dia menatapku tajam. Itu membuatku sedikit kikuk.
"Terserah kau mau berkata apa." Tukasnya dengan malas.
Aku diam.
"Kau menyebut aku anak mamah atau anak manja sekalipun aku tidak peduli." Tambahnya lagi dengan nada yang serius.
Lagi-lagi aku tidak menanggapinya. Karena aku tahu tidak ada gunanya.
Dia mengusap air mata di sudut matanya.
"Bagiku, ibuku tetaplah ibuku. Sekalipun aku telah tumbuh dewasa atau bahkan mungkin saat aku telah menjadi orang tua aku tetaplah seorang anak bagi ibuku. Maka, aku wajib tahu kabar orang tuaku terutama ibu. Aku harus memastikan bahwa ibuku selalu sehat dan selalu baik-baik saja. Untuk saat ini, mungkin aku belum bisa membahagiakan mereka. Tapi, seperti anak-anak yang lain, semua anak pasti bercita-cita untuk membahagiakan orang tuanya. Meskipun orang tua tak menuntut untuk itu. Bagi mereka, melihat anaknya sudah bahagia saja mereka sudah senang. Tidak mengapa jika orang mengatakan bahwa aku anak yang manja meskipun telah bertumbuh dewasa. Karena memang begitu adanya. Aku bisa saja menjadi dewasa dan bersikap tegas jika berhadapan dengan orang lain. Tapi dengan ibu, aku tidak bisa. Tetap saja aku hanyalah anaknya yang manja. Maka, sangat penting bagiku untuk sekedar mendengar suaranya, mengetahui kabarnya. Untuk memastikan bahwa orang tuaku baik-baik saja... ." Dia menghentikan sejenak kata-katanya untuk sekedar menarik nafas panjang.
Aku. Aku hanya diam. Kata-katanya telah membuatku membisu. Aku tak menyangka kalau kawanku yang selalu terlihat dewasa itu akan berkata demikian.
"Disini, aku asyik dengan duniaku. Aku menikmati proses perjalanan hidupku. Hingga tak terasa umurku kian bertambah. Tapi, di sisi lain umur orang tuaku juga bertambah dan usia mereka berkurang. Aku tidak pernah tahu kapan Tuhan akan memanggil orang tuaku. Yang aku tahu hal itu pasti akan terjadi. Siap atau tidak siap, mereka pasti akan dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Yang aku takutkan bukan kepergian mereka. Justru, yang aku takutkan adalah aku tak sempat membuat mereka bahagia di masa tuanya. Aku tak sempat membahagiakan mereka di akhir usianya. Atau bahkan aku tak sempat membahagiakan mereka seumur hidupnya. Jika sampai hal itu terjadi maka sudah dipastikan bahwa hidupku akan sulit. Salah satunya karena penyesalan. Maka, penting bagiku untuk mengetahui kabar mereka. Mereka sudah sering sakit-sakitan. Dan aku takut sekarang pun mereka dalam keadaan sakit karena tak bisa di hubungi. Walau aku selalu berpikir bahwa ibuku akan selalu baik-baik saja. Kedua orang tuaku sudah renta, harusnya aku bisa menemani mereka. Berada di samping mereka dan melayani mereka sebagaimana mereka selalu memenuhi keingianku... ." Kata-katanya terhenti. Kini yang terdengar darinya hanyalah isakan yang tertahan.
Aku tak kuasa untuk tidak ikut menitikan air mata. Bukan semata-mata karena terharu dengan kata-katanya. Tapi lebih dari itu aku menangisi diriku sendiri.
Tiba-tiba saja wajah ibu berkelebatan di pikiranku. Lengkap dengan gambar diri yang selalu membangkang.
Beberapa hari yang lalu, ibu sempat meneleponku namun tidak aku angkat. Karena aku sedang sibuk dengan duniaku. Aku tidak ingin di ganggu. Sampai beberapa kali hpku berdering namun tak pernah aku hiraukan.
Kalau memang ada yang penting nanti juga kirim pesan. Atau kalau sekedar ingin menanyakan kabar bukankah baru kemarin sore ibu menelpon. Atau juga hanya sekedar menanyakan 'apakah aku sudah makan?'. Aku bukan lagi anak kecil yang harus selalu di atur-atur. Pikirku.
Sebelumnya, aku juga pernah terpaksa menerima teleponmu karena hpku tak pernah berhenti berdering. Aku hanya menanggapi setiap pertanyaan ibu dengan malas dan bahkan dengan nada yang marah sebab merasa terganggu. Mungkin, ibu juga merasakannya. Sebab, beberapa kali engkau menghentikan perkataanmu saat aku menaikan suaraku. Aku yakin disana pasti ibu sedang mengelus dada menahan sakit hati akibat sikapku.
Aku selalu saja merasa terganggu jika ibu sering menelponku. Bagiku, perhatian ibu padaku terlalu berlebihan.
Tapi, hari ini. Saat aku mendengar apa yang dikatakan sahabatku tiba-tiba saja hatiku terbuka. Betapa durhakanya diriku.
Temanku selalu berharap dan gelisah jika tak mendengar suara ibunya. Sementara aku, aku selalu menghindar dan mengacuhkan setiap panggilan darimu.
Ternyata, aku sudah terlalu jauh dalam bersikap. Aku telah lupa dari mana aku berasal.
Maafkan aku bu.
Tiba-tiba saja, aku teringat dengan kenakalan-kenakalanku. Jangankan untuk membahagiakanmu. Yang ada justru aku hanya membuatmu susah dan membuatmu menitikan air mata kecewa.
Dulu, saat aku kecil. Aku pernah tidak makan beberapa hari hanya karena permintaanku tidak kau penuhi. Namun, engkau selalu dengan sabar mengetuk pintu kamarku. Merayuku untuk makan. Engkau akan terus sabar merayuku. Dengan mengusap-usap rambutku engkau membujukku dan berjanji akan memenuhi permintaaanku.
Saat menginjak remaja, aku juga sering marah padamu hanya karena engkau tak menuruti permintaanku. Aku tidak menjawab saat engkau bertanya. Aku tidak berkata-kata saat kita sama-sama berkumpul makan atau menonton televisi. Aku tidak pernah mencium tanganmu saat pergi ke sekolah. Aku selalu memasang muka masam sebagai bentuk protesku terhadapmu sampai akhirnya engkau luluh untuk menuruti keinginanku.
Dan masih banyak lagi tingkahku yang membuatmu bersedih.
Aku memang selalu egois. Dengan memaksamu menuruti keinginanku. Namun aku tak pernah menuruti keinginanmu. Apalagi mengerti keadaanmu.
Yang aku tahu, engkau adalah orang tuaku dan harus memenuhi semua kebutuhanku sebagai anakmu. Tanpa pernah aku berusaha untuk menyelami kedalaman hatimu. Berusaha mengerti dengan keadaan.
Aku tidak tahu bagaimana caramu memenuhi kebutuhanku. Yang aku tahu, semua keperluanku terpenuhi.
Bahkan, sampai aku beranjak dewasa pun aku tak pernah peduli denganmu. Aku lebih sering berada di dunia maya daripada berada di sampingmu.
Tapi, engkau tak pernah benar-benar marah padaku. Tapi aku tidak pernah menyadari ketulusanmu.
Hingga kini, aku berada jauh darimu pun selalu saja perhatianmu tak pernah hilang. Walaupun lebih sering di kecewakan olehku namun engkau tak pernah untuk tidak perhatian padaku.
Tapi, aku tak pernah menyadarinya.
Yang aku tahu, aku telah berada jauh darimu. Bebas melakukan apapun tanpa harus mendengar ocehanmu. Tanpa harus sering mendengar petuah-petuahmu.
Tapi ternyata aku salah.
Temanku telah mengingatkanku.
Sejauh apapun aku pergi. Aku tetaplah anakmu.
Maafkan aku bu. Yang tak pernah membuatmu bahagia.
Apakah ibu tidak menyesal melahirkan anak durhaka sepertiku?
Yang hanya bisa menyusahkanmu saja.
Aku teringat beberapa bulan yang lalu saat aku jatuh sakit disini. Ibu selalu menceramahiku di ujung telepon. Sehari pun ibu bisa beberapa kali meneleponku hanya untuk mengingatkan ini dan itu. Sampai akhirnya aku merasa risih.
"Bu, aku sedang sakit. Aku butuh istirahat bukan ceramah. Bagaimana aku bisa istirahat jika setiap empat jam ibu selalu menelponku?!" Kataku dengan sedikit membentak.
Di ujung telepon aku mendengar nafas ibu yang tertahan. Mungkin saat itu ibu sedang mengelus dada berusaha menahan emosi. Dengan sedikit tersedu-sedu ibu mengakhiri telepon. Aku tahu pasti disana ibu menangis karena ucapanku.
Maafkan aku bu.
Aku memang anak durhaka.
Engkau yang selalu khawatir terhadap anakmu sedangkan anakmu ini tak pernah sekalipun peduli denganmu.
Engkau adalah orang pertama yang paling khawatir saat aku jatuh sakit. Engkau akan melakukan ini dan itu agar anakmu ini segera sembuh. Engkau melakukan apa saja agar anakmu sembuh.
Bahkan, pernah sekali aku mendengar. Saat aku tergolek sakit, engkau pernah berkata lirih;
Ya Tuhan, daripada anakku yang sakit. Lebih baik aku saja yang sakit. Katamu.
Sampai saat itu pun aku belum mampu menangkap makna pengorbananmu. Aku belum menangkap makna cinta yang kau berikan. Hatiku masih terbutakan.
Yang aku tahu, ibu adalah orang yang paling cerewet. Yang selalu sering melarang.
Saat engkau jatuh sakit. Aku hanya melakukan hal yang sewajarnya saja. Tak benar-benar aku merasa gusar seperti gusarnya engkau saat aku sakit.
Bahkan, aku tak mampu sampai berdoa pada Tuhan agar memindahkan sakit yang ibu derita padaku.
Maafkan aku bu.
Saat temanku bersedih sebab tak bisa menghubungi ibunya aku justru membuatmu bersedih karena aku selalu menolak untuk engkau hubungi.
Jangankan untuk menanyakan kabar ibu.
Menanyakan apakah ibu sudah makan atau belum.
Untuk mengangkat telepon saja aku masih ogah-ogahan karena aku berpikir terlalu sering ibu menghubungiku.
Padahal, harusnya aku tahu. Ibuku tetaplah ibu. Selamanya akan memiliki keterikatan batin yang kuat.
Maafkan aku bu.
Semoga saja engkau berkenan untuk memaafkan kedurhakaan anakmu ini.
Kini, aku benar-benar merindukanmu. Merindukan suaramu.
Merindukan senyummu.
Semoga Tuhan selalu memberikan kebahagiaan pada ibu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar