Ibu...,
Hari ini, saat kembali aku menulis surat ini.
Rasanya, hari-hariku belakangan teramat sangat melelahkan. Aktivitas yang menguras tenaga ternyata juga telah menguras emosiku. Aku merasakan lelah selelah-lelahnya. Kakiku seolah sudah tak sanggup lagi menopang berat badanku sendiri. Jiwaku seolah sudah terlepas dari raga dengan sendirinya sampai aku tidak merasakan kehadiran diriku sendiri. Entahlah.
Tiba-tiba saja, saat aku berada dalam kondisi seperti yang aku rasakan, disudut yang lain yang masih tersisa dalam diri yakni hatiku. Aku merasakan kerinduan pada sosokmu yang berada jauh disana.
Biasanya, jika aku sedang berada dalam kondisi terlemahku engkau akan selalu bersedia menyediakan bahumu untukku. Engkau akan menyediakan kupingmu guna mendengarkan keluh kesahku. Padahal, aku tahu saat engkau memberikan bahumu untuk tempatku bersandar pada bagian bahu yang lain engkau pun sedang memikul beban yang lebih berat dari apa yang aku rasakan. Namun, sekali lagi engkau tetap bersedia membiarkan bahumu sebagai tempatku bersandar. Hanya aku saja memang yang tak tahu diri. Aku juga tahu, saat kupingmu mendengarkan seluruh keluh kesahku dan otakmu mencerna setiap keluhku nmaun disisi yang lain otakmu sedang berusaha memecahkan masalahmu yang lebih rumit dari masalahku. Tapi, engkau memilih tetap mendengarkanku. Hanya aku saja yang tak tahu diri dengan terus membebanimu dengan masalah tanpa pernah aku bertanya apakah engkau juga memiliki masalah.
Engkau tak kan segan untuk memberi masukan terhadap masalah-masalahku.
"Setiap masalah yang datang. Setiap masalah yang menghampiri itu adalah bagian dari proses pendewasaan. Semakin banyak masalah yang kamu hadapi maka akan semakin cepat pula kamu menjadi dewasa." Begitulah kat yang sering kudengar dari bibirmu.
Hari ini, saat aku merasakan lelah yang yang teramat sangat akibat masalah yang datang silih berganti membuatku rindu berada di sampingmu. Menyandarkan kepalaku di bahumu. Menceritakan keluh kesahku. Meski usiaku telah melewati dua dekade namun ternyata aku tak terlalu tangguh untuk tidak mengeluh.
Bu, bolehkan hari ini aku berkeluh kesah kepadamu seperti dulu saat masih menjadi kanak-kanak?
Aku yakin, meski aku tidak sedang berada di hadapanmu pasti engkau sedang mengangguk sambil tersenyum seperti kebiasaanmu.
Ah, engkau memang tak pernah menolak semua keinginan anakmu meski aku sering membuatmu kecewa. Sering membuatmu menangis akibat kenakalan-kenakalanku. Kini, aku merasa menjadi manusia paling berdosa di muka bumi ini. Telah membuat malaikat yang selalu setia menjaga surgaku menangis adalah dosa terbesar. Dan itulah yang sering aku lakukan.
Bu, tadinya aku kira seiring bertambahnya usia maka orang akan menjadi semakin dewasa. Ternyata, anggapanku terpatahkan oleh diriku sendiri. Menjadi dewasa itu ternyata amat sangat sulit. Mudah untuk di ucapkan namun sukar untuk dilaksanakan. Kedewasaan itu bersifat relatif. Kadang, di satu sisi kita telah merasa menjadi seseorang yang dewasa dengan mampu mengatasi persoalan yang di hadapi. Namun, di sisi yang lain kita seperti seorang anak kecil yang sering ceroboh dan terburu-buru dalam memutuskan suatu perkara. Lagi-lagi aku menyadari kebenaran kata-katamu dulu :
Kedewasaan bukan di ukur dari usia.
Memang, aku sering mendengar kata-kata itu dari orang lain, namun bagiku kata-kata itu adalah mantra yang hebat sebab pernah di ucapkan olehmu.
Bu, tadinya aku mengira bahwa aku lebih tahu tentang diriku. Tentang, kemampuanku, tentang kedewasaanku, tentang jalan hidupku. Seperti yang pernah engkau katakan:
Kamu akan mendengar banyak cerita. Kamu akan melihat banyak kejadian. Tapi, tak perlu kamu terpaku pada apa yang kamu lihat dan yang kamu dengar. Cukup ambil pelajarannya dan rasakan dalam hatimu. Sebab, kamu juga akan membuat cerita hidupmu sendiri, kamu yang lebih tahu jalan hidupmu sendiri.
Ya,aku kira memang begitu. Tapi ternyata ada yang lebih tahu tentang diriku yang Dia yang menguasai hidup dan matiku. Aku meupakan pesan terpenting yang pernah engkau sampaikan.
"Jangan lupakan Tuhan!" Itu adalah pesan terakhirmu saat melepaskanku pergi ke tanah yang jauh.
Pesan terakhir justru adalah pesan yang aku lupakan hingga aku menemui jalan buntu sebab mengikuti keegoanku. Hingga hari ini, aku berkeluh kesah kembali padamu sebagai anak yang manja. Pasti engkau juga akan memberikan saran yang selalu engkau berikan padaku saat aku berkeluh kesah.
"Jangan pernah lupa untuk mengadukan setiap masalahmu pada Tuhan. Selain pada ibumu. Sebab, manusia hanya bisa mendengarkan. Sedangkan Tuhan akan melengkapinya dengan solusi terbaik." Itu adalah kata yang sering engkau katakan setelah aku berkeluh kesah padamu.
Namun, aku yang terlalu bodoh kadang sering di butakan oleh keadaan hingga aku lupa padaNya.
Bu, aku tidak ingin segera mengakhiri kesempatan ini. Menceritakan seluruh masalahku padamu.
Bolehkan bu?
Ah,itu hanya pertanyaan sia-sia sebenarnya. Sebab, aku sudah tahu bahwa engkau tidak pernah menolak keinginan anakmu yang tak tahu diri ini.
Bu, tiba-tiba saja aku teringat satu pesanmu tempo hari:
Carilah bahagiamu sendiri. Kemanapun itu. Seperti apapun itu. Carilah!
Tapi, satu hal yang perlu diingat bahwa dalam pencarian itu harus ada batasnya. Jika kamu sudah lelah dengan pencarianmu akan kebahagiaan maka tengoklah di kedalaman hatimu! Jika kamu sudah lelah dan tak kunjung menemukan kebahagiaanmu maka kamu tidak perlu lagi mencari kebahagiaan. Setelah itu, gantilah pencarianmu pada yang lain yakni mencari makna syukur.
Aku yang terlalu bodoh ini pernah melupakan kata-kata yang pernah engkau ucapkan itu. Hingga akhirnya, hari ini saat aku telah lelah dengan kehidupanku mencari kebahagiaan hidup. Aku teringat kembali pada pesanmu itu. Beberapa saat yang lalu, aku merenungi kata-katamu itu. Mencari saripati yang bisa aku cerna dalam diri.
Bu, aku pernah dibutakan dengan apa yang namanya harta, tahta, wanita. Ah, itu adalah yang engkau takutkan dalam kehidupanku tapi akhirnya aku mengalami itu semua. Aku di buat lelah oleh ketiganya. Aku dibuat lemah oleh ketiganya. Aku di buat rendah oleh ketiganya. Aku di buat hina oleh ketiganya. Aku bahkan dibuat jatuh oleh ketiganya sampai aku merasakan sakit yang amat sakit. Hingga aku tersadar bahwa aku telah melewati batas yang seharusnya untuk mengejar itu semua. Aku telah melakukan apa saja untuk mendapatkan itu semua. Ambisiku berlebihan untuk mengejar itu semua. Namun, hanya kekecewaan saja yang aku dapatkan. Kebahagiaan yang aku cita-citakan tak sedikitpun aku peroleh.
Akhirnya, aku menyerah pada keadaan. Merenungi setiap apa yang aku lakukan dan teringat kembali pesan-pesanmu. Saat aku telah lelah mencari kebahagiaan akhirnya aku menengok kedalaman hatiku. Adakah kebahagiaan yang aku rasakan. Seperti saranmu dulu. Ternyata tidak ada. Aku tidak menemukan setitikpun kebahagiaan padahal aku telah mati-matian mencarinya bu. Akhirnya, aku memutuskan untuk mencari makna syukur seperti pesanmu.
Ternyata, benar bu, saat aku mencari makna syukur sedikit demi sedikit aku melihat kebahagiaan di hati. Dengan menerima semua yang ada dan mengusahakan sewajarnya lalu mensyukurinya lagi maka aku telah melihat kebahagiaan di hatiku.
Bu,seiring perjalan waktu. Aku terus bertumbuh. Usiaku bertambah. Aku sendiri kadang ragu apakah aku bisa menjadi dewasa sesuai keinginanmu.
Sementara, engkau semakin bertambah tua. Tak mungkin aku terus membebanimu dengan masalahku. Sedang, sekalipun aku tak pernah mendengar keluh kesahmu.
Bu, semoga suatu saat aku bisa banyak belajar darimu. Tentang kedewasaan sikap.
Aku tiba-tiba saja teringat akan sosokmu terakhir kali saat melepasku pergi. Engkau yang seolah tidak rela melepas kepergianku. Tadinya, aku kira itu hal yang berlebihan. Tapi ternyata, aku menangkap hal lain bahwa saat itu engkau sebenarnya ragu melepas anakmu yang manja ini ke dunia yang lebih luas dimana permasalahan yang di hadapi pun lebih kompleks. Engkau khawatir anakmu tidak bisa bersikap dewasa di tanah orang. Walau akhirnya, engkau mengembangkan senyum di bibirmu pertanda hatimu telah yakin bahwa anakmu ini akan mampu menjalani semuanya.
Aku baru menyadari itu semua saat ini. Maafkan aku anakmu yang tak tahu diri ini bu.
Ah, tiba-tiba saja aku teringat masa kecilku yang penuh dengan kenakalan-kenakalan. Yang sering membuatmu terpaksa mengelus dada menahan emosi. Padahal, urusanmu bukan sekedar mengurusiku. Masalahmu lebih banyak. Pikiranmu harus tercabang-cabang memikirkan semuanya bersamaan. Memikirkan sekolahku, uang jajanku, kebutuhanku, makananku. Meskipun ayah yang mencari nafkah namun engkau yang mengatur semuanya. Sebab, aku tahu pendapatan ayah tidak seberapa hingga engkau harus memutar otak untuk mengatur semuanya agar terpenuhi.
Untuk sekolahku, engkau tidak selalu ingin anakmu merasakan hal yang sama seperti anak-anak yang lain. Lebih tepatnya, aku yang selalu meminta agar engkau menuruti semua keinginanku seperti anak-anak yang lain.
Untuk uang jajanku, engkau tidak ingin uang jajanku kurang atau tidak sama dengan anak-anak yang lain. Walau lebih tepatnya aku yang selalu meminta agar uang jajanku sama dengan yang lain. Engaku selalu menuruti keinginan anakmu yang nakal ini.
Untuk kebutuhanku, engkau selalu mengutamakannya. Sebab, aku selalu ingin agar kebutuhanku terpenuhi tanpa pernah tahu apakah engkau sanggup memenuhinya atau tidak tapi engkau selalu mengusahakannya.
Untuk makan pun engkau tak ingin sembarangan untuk anakmu. Karena engkau tahu anakmu ini akan malas makan jika tidak sesuai dengan keinginannya.
Padahal, anakmu ini sangat nakal namun engakau tak pernah menyebut anakmu ini nakal. Engkau akan berbesar hati terus membimbingku.
Tapi,apakah engkau tidak merasa lelah untuk itu semua bu?
Apakah engkau pernah mengeluh pada Tuhan tentang kenakalanku dan kesulitanmu mengurus keperluan rumah tangga?
Ah, aku tak sempat menanyakan itu semua. Aku memang tak tahu diri.
Yang aku tahu hanyalah semua keperluan terpenuhi. Semua keinginan engkau sanggupi.
Aku tak pernah menengok kedalaman hatimu. Karena yang aku tahu engkau selalu tersenyum.
Padahal, aku tahu engkau telah mengesampingkan kebutuhanmu demi kebutuhanku. Engkau telah mengesampingkan keinginanmu demi keinginanku. Engkau menghilangkan keluh kesahmu demi kebahagiaanku. Engkau menyingkirkan lelahmu demi senyumku.
Itu baru aku sadari hari ini saat aku merasa lelah dalam hidupku.
Padahal, waktu itu aku tahu engkau rela melakukan apapun demi anakmu.
Aku juga ingat saat lebaran beberapa tahun silam saat mengantarku membeli pakaian lebaran. Engkau hanya memilihkan pakaian untukku.
"Ibu tidak membeli pakaian juga?" Tanyaku dengan polosnya.
Engkau hanya menggeleng dan tersenyum.
"Kenapa?" Tanyaku lagi.
"Pakaian ibu masih layak dipakai." Jawabmu dengan tenang.
Aku yang masih polos hanya mengangguk. Tak pernah bertanya lebih jauh lagi. Padahal kalau saja aku teruskan pertanyaan itu mungkin ada banyak jawaban yang bisa saja membuat menangis hatiku.
Aku yang tak tahu diri ini hanya percaya bahwa itu adalah jawaban sebenarnya. Kini, aku menyadari bahwa mungkin saja itu bukan jawaban yang sebenarnya. Lagi-lagi aku baru menyadarinya saat ini.
Atau, saat engkau menyuruhku makan. Dengan sedikit merayu engkau menyuruh anakmu yang nakal ini makan. Engkau dengan tenang menemaniku makan.
"Ibu tidak makan?" Tanyaku dengan mulut masih penuh dengan makanan.
Tapi engkau hanya menggeleng.
"Ibu masih kenyang." Katamu.
Aku yang memang tak mengerti apa-apa memilih melanjutkan makanku dengan lahap. Padahal saat itu aku tahu kapan terakhir ibu makan. Namun, aku tak sampai memikirkan bahwa jawabanmu adalah kebohongan. Padahal kalau saja aku mau bertanya lebih banyak tentu akan ada jawaban lain di sudut matamu.
Ah, ibu. Engkau kadang sulit ku mengerti atau mungkin sebenarnya aku saja yang tak mau tahu.
Itu hanya sebagian ceritaku bersamamu yang bisa aku tangkap maknanya.
Mungkin, saat engkau melihat kenakalanku dan mengelus dada karenanya engkau berada di ujung lelah. Hingga engkau berusaha membuatku tersenyum. Seperti katamu:
Kebahagiaan akan mudah di dapat dengan cara yang mudah. Salah satunya dengan membuat orang lain tersenyum.
Dan engkau tidak sekedar mengucapkannya namun juga mencontohkannya.
Ah, andai saja waktu bisa di putar bu. Mungkin aku memilih menjadi anakmu yang penurut. Tak banyak meminta. Tak menyusahkanmu. Dan tak pernah membuatmu terpaksa mengelus dada apalagi berurai air mata. Atau, setidaknya aku lebih peka terhadap perasaanmu dan keadaanmu mungkin itu bisa sedikit mengurangi bebanmu. Tapi, kini semuanya sudah berlalu. Aku tidak lagi menjadi seorang anak kecil yang selalu merengek meminta sesuatu. Aku bukan lagi seorang anak kecil yang selalu ingin mendengar cerita-ceritamu sambil mennyisir rambutku dengan jarimu. Bahkan kini aku tak lagi berada di sampingmu.
Aku telah tumbuh menjadi anak yang selalu engkau harapkan dapat membuatmu bangga. Aku telah berada jauh darimu untuk menjalani sesuatu yang engkau sebut 'proses' kehidupan. Aku kini telah berada di dunia yang sebenarnya. Yang harus menimba ilmu hidup sendiri, menciptakan cerita hidup sendiri.
Namun, sampai usiaku sekarang aku masih tetap anakmu. Yang kadang melupakan keberadaanmu saat aku bersama teman-temanku. Aku yang kadang lupa akan usiamu yang semakin bertambah seiring bertambahnya usiaku. Kadang, aku sering melupakan nasihat-nasihatmu dan baru teringat saat aku telah kehilangan semangat. Tapi, meskipun demikian aku belum bisa untuk tidak berbagi cerita padamu. Lebih tepatnya berbagi keluh kesah. Seperti sekarang.
Padahal, seharusnya saat ini aku berbagi kebahagiaan padamu dan membuatmu bahagia. Sebab, dengan berbagi cerita seperti ini tentu akan membuatmu khawatir atau bahkan meneteskan air mata untuk anakmu. Untuk dirimu yang tidak bisa memberikan bahumu padaku. Aku tahu itu.
Bu,
Apakah ibu tidak pernah merasa lelah dengan semua kehidupan?
Apakah ibu pernah juga berkeluh kesah seperti anakmu ini?
Ternyata, saat ini aku bukan lagi ingin mendengarkan cerita-ceritamu. Atau mendapatkan bahumu tempat ku bersandar. Untuk saat ini, saat kita tidak lagi berada di tempat yang sama, mendengar suaramu telah cukup bagiku.
Maafkan anakmu jika apa yang aku ceritakan membuatmu khawatir. Percayalah, aku tak akan menyerah.
Dan, seperti pesanmu :
Kita boleh merasa lelah, merasa berat dengan keadaan namun jangan sekalipun menyerah!
Ah, apa yang aku ceritakan padamu jangan terlalu membuatmu khawatir. Percayalah, aku mewarisi ketegaranmu dalam menghadapi masalah.
Kapan-kapan, aku juga ingin mendengar ibu berkeluh kesah tentang kehidupan. Atau mungkin tentang sulitnya mengurus anakmu yang tak tahu diri ini. Hehehe.
***
'Titanium' - Titsanium's Drummer
BalasHapusThe "Titanium" Drummer babylisspro nano titanium spring curling iron takes pride in this unique design titanium mens rings and titanium apple watch band special feature: the titanium nose 슈어 벳 hoop. 4x8 sheet metal prices near me
Apa nih? Hehe
Hapusa458c6nbtmq916 jordan 3,jordan 3 black cement,jordan 3 retro,jordan 3 unc,jordan 3 fragment,jordan 6,jordan 6 infrared,jordan 6 travis scott,jordan 6 retro y689k8nykfg949
BalasHapusApa nih?
Hapus