Ibu...,
Hari ini, untuk pertama kalinya hujan turun di tempatku berada. Apakah disana juga hujan bu?
Saat menuliskan surat ini, aku sedang berada di dekat jendela. Menatap ribuan tetes air hujan yang jatuh ke bumi. Seperti kebiasaan yang pernah kita lakukan dulu. Saat hujan sore menjelang, ibu sering mengajakku menikmati tetesan-tetesan air yang jatuh dari langit itu melalui jendela. Meski kadang embun kerap menghalangi pandangan kita namun ibu selalu saja menatap dari balik jendela. Ibu selalu saja menyelipkan cerita-cerita atau pesan-pesan yang bahkan saat ini masih ku ingat. Meski ceritamu sangatlah sederhana namun dibalik itu semua selalu tersirat pesan yang amat mendalam bagiku.
Suatu hari, saat aku masih menjadi anak kecil ibu yang nakal, ibu pernah bercerita bagaimana terjadinya hujan.
"Nak, kamu mau tahu bagaimana proses terjadinya hujan?" Tanyamu.
Aku yang sebenarnya sudah tahu bagaimana proses hujan itu terjadi sebab pernah diajarkan di sekolah tetap mengangguk. Karena aku tahu ibu tidak sekedar menjelaskan bagaimana proses terjadinya hujan seperti yang diajarkan di sekolah. Bagiku, selalu ada yang istimewa dari setiap ceritamu.
Melihatku mengangguk, engkau pun tersenyum. Engkau menarik perlahan kepalaku agar rebah di bahumu.
Saat itu, engkau mulai bercerita bagaimana proses hujan itu bisa terjadi. Tidak jauh berbeda dari apa yang diajarkan di sekolah. Engkau menjelaskannya sampai usai. Tapi, ceritamu tak habis sampai disana.
"Nak, engkau harus banyak belajar dari hujan!" Katamu dengan lembut.
Aku yang masih terlalu polos hanya mendongakkan kepala menatapmu dengan kebingungan.
"Engkau tahu nak, bahwa hujan itu adalah air yang juga berasal dari bumi. Entah itu dari laut, danau, sungai dan sumber air lainnya yang mengalami penguapan akibat sinar matahari. Lalu air itu akan bergumul di langit bersama awan sebelum akhirnya jatuh kembali ke bumi...." Engkau menghentikan sejenak ceritamu dan membiarkan aku meresapi setiap penjelasanmu.
"Saat ini, engkau seumpama air yang berada di bumi. Kelak kamu akan mengalami proses sebagaimana air menguap oleh cahaya matahari. Dan proses itu tidak akan mudah kamu jalani. Air akan menguap jika ia mengalami pemanasan oleh cahaya matahari. Dan kamu, kamu harus mengalami proses yang juga tidak mudah. Perjalananmu tidak akan mudah dalam mengarungi kehidupan. Namun, jika kamu bisa melewati semua prosesnya kamu akan mampu berada di atas sebagaimana air yang tadinya berada di bumi telah berada di langit karena proses. Tapi, saat kamu berada di atas jangan pernah lupa akan asalmu. Jangan pernah lupa darimana kamu berasal. Karena, suatu saat nanti kamu akan kembali kemana kamu berasal. Entah itu dengan terpaksa atau dengan kesadaran sendiri. Suatu saat nanti, kamu akan pergi jauh dari tempat asalmu. Merantau. Entah itu untuk menuntut ilmu, bekerja, atau keperluan lainnya. Itu akan menjadi bagian dari proses hidupmu. Disana kamu akan bisa melihat dunia lebih luas lagi sebagaimana air yang berada di langit bisa menatap bumi lebih luas lagi. Namun, kamu jangan pernah lupa pada tempat dimana saat ini berada. Sebab, disinilah asalmu jadi jangan pernah sekalipun kamu lupa pada tempat asalmu. Jika pun suatu saat nanti kamu harus tinggal di tempat yang baru namun bukan berarti kamu harus melupakan tempat asalmu. Tengoklah tempat asalmu, tengoklah ibumu yang mungkin saat itu telah renta. Sebagaimana bumi yang selalu merindukan air hujan, ibu pun akan selalu merindukan kehadiranmu... ." Saat itu engaku mulai terisak. Satu dua tetes air matamu mulai jatuh.
Aku yang masih terlalu belia belum mampu memahami setiap ceritamu. Namun, engaku menatapmu dengan lembut dan berusaha tersenyum meski dipaksakan. Aku masih dalam kebingungan.
"Saat ini, kamu tidak harus mengerti dengan apa yang ibu ceritakan. Cukup dengan mengingatnya saja. Kelak, kamu akan mengerti sendiri makna dari cerita ibu." Tambahmu dengan senyum yang engkau paksakan.
Bu,
Hari ini, saat aku berada jauh darimu. Untuk mengalami sesuatu yang engkau sebut "proses", aku mulai memahami apa yang pernah kau ceritakan dulu. Aku mulai bisa meresapi makna di balik cerita-ceritamu. Mungkinkah, saat ini engkau sedang merindukanku sebagaimana bumi merindukan hujan? Seperti katamu.
Ah, itu adalah pertanyaan yang konyol bu. Bukankah saat engkau melepaskanku pergi juga aku melihat hujan yang jatuh di pipimu. Itu adalah air mata kesedihan, bagaimana engkau harus berberat hati melepas anakmu yang manja dan nakal ini pergi untuk menjalani proses kehidupan. Melihat dunia lebih luas lagi. Saat ini, mungkin rindumu telah menggunung terhadap anakmu yang tak tahu diri ini. Kerinduanku pasti akan kalah oleh kerinduanmu padaku.
Bu,
Hujan ternyata tidak sekedar menumbuhkan tanaman-tanaman atau membuat kuncup-kuncup bunga bermekaran. Lebih dari itu, hujan juga telah menumbuhkan kerinduan padamu.
Aku rindu akan masa-masa kecilku bersamamu. Aku yang nakal selalu saja menyusahkanmu.
Aku masih ingat, bagaimana sewaktu kecil aku sering bermain hujan bersama kawan-kawanku sampai aku jatuh sakit. Saat itu, ayah akan memarahiku --walau aku tahu dia tidak benar-benar marah. Tapi, engkau dengan kelembutan hatimu masih bisa tersenyum. Meski gurat ke khawatiranmu tidak bisa disembunyikan. Itu hanya sebagian caramu agar aku tidak terlalu merasa bersalah. Engkau akan memberikan perhatian padaku dengan sepenuh hatimu. Nalurimu sebagai ibu yang merasa khawatir akan kesehatan anaknya akan melakukan apapun agar aku cepat sembuh. Engkau akan setia mendampingiku, menuruti kemauanku, bahkan engkau rela terjaga karena sakitku. Padahal, sakitku justru karena kenakalanku yang tidak menuruti perintahmu untuk tidak bermain hujan.
Setelah beberapa hari aku sembuh dari sakitku akibat beemain hujan, aku sudah merajuk lagi padamu untuk mengijinkanku bermain hujan bersama kawan-kawanku. Bahkan, aku sampai menangis hanya agar engkau mengijinkanku bermain hujan. Sampai, akhirnya engkau pun mengalah untuk mengijinkanku bermain hujan. Senyum mengembang dari bibirmu. Namun kekhawatiran muncul di matamu.
"Jangan lama-lama." Itu pesanmu sebelum aku berlari ke tanah lapang menemui kawan-kawanku.
Baru sebentar saja aku bermain hujan namun engkau sudah memanggilku untuk masuk ke rumah. Aku berusaha menurutimu meski dengan jengkel.
Lalu, beberapa saat kemudian, ayah pulang ke rumah setelah seharian bekerja. Dan aku baru tahu alasanmu memanggilku masuk ke rumah. Engkau tidak ingin melihat anakmu yang nakal ini ketahuan bermain hujan oleh ayah setelah beberapa hari yang lalu sakit akibat bermain hujan. Engkau takut aku di marahi ayah. Ah, saat itu aku masih terlalu polos untuk memahami rasa sayangmu terhadapku. Larangan-laranganmu selalu membuatku jengkel, padahal dibalik itu semua ada rasa sayangmu yang amat besar.
Esoknya lagi, saat hujan tiba aku pun merajuk untuk mendapat izin bermain hujan. Namun, engkau menahanku dan mengajakku kembali bercerita. Bermain hujan dan mendengarkan ceritamu adalah dua pilihan yang membingungkan. Walaupun akhirnya aku memilih mendengarkan ceritamu.
Seperti biasa, kita akan duduk mengahadap jendela yang sudah tertutup embun.
"Ibu tidak melarang kamu bermain hujan. Karena ibu tahu itu adalah cara anak-anak seusiamu mensyukuri turunnya hujan dan ibu pun dulu pernah melakukan itu. Hanya saja, semua ada batasnya." Katamu membuka cerita.
"Satu hal yang harus kamu tahu nak. Segala sesuatu yang di lakukan secara berlebihan tidaklah baik. Kamu harus tahu batasan dari setiap perbuatan yang kamu lakukan. Kamu juga harus tahu dengan konsekuensi atau lebih mudahnya akibat dari perbuatanmu. Kamu masih ingat saat kamu sakit akibat dari bermain hujan?" Tanyamu dengan lembut menatapaku.
Aku mengangguk dengan pelan.
"Lalu, kenapa saat kemarin kamu bermain hujan tidak jatuh sakit?" Tanyamu lagi.
Aku hanya bisa menggeleng.
"Saat beberapa hari yang lalu kamu terjatuh sakit akibat bermain hujan, itu karena kamu bermain hujan tanpa ada batasnya. Kamu melakukannya dengan berlebihan. Akibatnya kamu jatuh sakit. Sedangkan kemarin, kamu membatasi bermain hujan dan kamu tidak jatuh sakit. Saat kamu hujan-hujanan risiko sakit memang tidak bisa dihindari, namun saat kamu membatasinya itu juga telah mengurangi risiko itu." Engkau menghentikan dahulu perkataanmu. Seperti biasa, membiarkanku meresapi setiap kata yang engkau ucapkan.
"Kelak, saat kamu sudah beranjak dewasa, dalam melakukan hal apapun kamu tidak boleh melakukannya secara berlebihan. Karena memang itu tidak baik. Lakukan saja sebagaimana mestinya. Karena segala sesuatu pasti ada batasannya. Sekali lagi, kamu tidak harus mengerti kata-kata ibu cukup saat ini kamu mengingatnya saja. Sebab, ada waktunya kamu akan mengerti sendiri dengan apa yang ibu katakan."
"Prihal, mensyukuri hujan. Kamu juga harus belajar mensyukuri dengan cara yang lain selain bermain di tanah lapang saat hujan yang sebenarnya akan membahayakanmu sendiri. Kelak, ibu akan mengajarimu mensyukuri hujan dengan cara yang lebih indah." Engkau menatapku dengan senyuman dan berhasil membuatku penasaran.
"Tapi, kawan-kawanku juga bermain hujan dan mereka tidak pernah di larang apalagi dimarahi seperti ayah memarahiku." Tukasku.
"Kamu tidak harus sama dengan orang lain nak. Jika kamu mampu lebih baik kenapa harus sama dengan mereka. Kamu juga harus tahu satu hal nak. Jika ada orang yang melarangmu, memberimu nasihat itu bukan berarti mereka membencimu justru karena mereka peduli padamu. Kelak, kamu akan merasakannya sendiri saat kamu beranjak dewasa. Peringatan dan nasihat itu akan kamu butuhkan untuk kebaikanmu. Justru, kamu harus bersedih saat sudah tidak ada lahi orang yang melarangmu, memperingatimu, menasihatimu karena itu artinya sudah tidak ada lagi yang peduli terhadapmu. Dan satu hal lagi, tidak semua orang yang marah adalah orang yang membencimu. Justru, bisa saja orang yang marah padamu adalah orang yang paling sayang padamu. Kemarahan mereka adalah puncak dari kekhawatiran mereka karena takut terjadi apa-apa pada orang tersayangnya. Itu juga lah yang di lakukan ayahmu. Kamu jangan pernah menilai sesuatu hanya karena sekilasan mata. Tapi lihatlah sorot matanya, kelak kamu akan mengetahui apa yang ada dalam hatiny."
Aku mengangguk dan ingat akan pesanmu beberapa saat yang lalu saat aku berbohong padamu. Dan engkau dengan lembut mengatakan :
Mata tidak akan pernah bisa berbohong. Jika ingin melihat kejujuran hati seseorang maka lihatlah matanya. Begitu katamu.
"Engkau sudah mengerti nak?" Tanyamu sambil mengelus kepalaku dengan lembut.
Aku mengangguk dan berusaha tersenyum engkau pun membalas senyumku.
Cerita sore itu pun berakhir saat dari kejauhan terlihat ayah sudah menuju ke rumah.
Bu,
Ah, saat ini rasanya rindu akan masa-masa itu. Menjadi anakmu yang nakal yang selalu mendengarkan ceritamu saat hujan tiba.
Satu hal lagi, yang baru aku ketahui prihal kebiasaanmu menatap jendela saat hujan turun. Ternyata engkau tidak sekedar menatap jendela. Lebih dari itu, engkau sedang menunggu ayah pulang dengan hati penuh ke khawatiran sebab saat hujan lebat ayah belum pulang. Kesimpulan ini aku ambil karena engkau akan berhenti menatap jendela saat engkau sudah melihat sosok ayah di kejauhan sedang menuju ke rumah. Rasa khawatirmu terhadap ayah sangat besar seperti rasa khawatirmu padaku darah dagingmu. Meski tidak pernah terucap namun aku selalu suka dengan caramu mencintai kami.
Kini, aku sudah faham terhadap janjimu untuk mengajariku cara mensyukuri hujan. Dengan menikmati setiap tetes yang jatuh serta menantikan seseorang yang kita cintai. Seraya tak hentinya hati kita merapalkan doa-doa memuji sang pemilik cinta sejati.
Dan saat ini, aku menatap jendela ini dengan harapan melihat wajahmu yang sedang tersenyum.
Ah, semoga saja kelak aku akan mendapatkan pendamping sepertimu. Yang dengan diam selalu menyanyangi anak-anak dan menyayangiku. Dia yang selalu setia menungguiku dari balik jendela saat aku belum pulang ke rumah. Dia yang memiliki kasih sayang sepertimu bu.
Semoga, engkau selalu berada dalam kasih sayangNya. Sebagaimana engkau yang selalu menyayangiku.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar