Ibu...,
Hari ini aku ingin sekali berbagi cerita denganmu.
Seperti dulu saat aku masih kanak-kanak. Menyandarkan kepalaku di pangkuanmu sambil melemaskan badanku setelah seharian bermain bersama kawan-kawanku. Dan engkau akan dengan senang hati mendengarkan cerita-ceritaku. Dari mulai cerita kenakalanku menjahili kawan-kawan, seharian bermain petak umpet, bermain kartu, bermain kelereng, bercerita tentang kecurangan teman-teman atau bahkan aku sampai membuka mulut bahwa tadi siang aku mencuri mangga milik tetangga. Tapi engkau tidak buru-buru marah meski aku dengan terang-terangan mengaku telah mencuri mangga tetangga. Engkau memilih terus mendengarkan celotehku yang tak kunjung henti seperti gerbong kereta api. Ah, padahal waktu itu aku belum tahu kereta api itu panjangnya seperti apa. Yang aku tahu saat itu bahwa kereta api itu panjang. Dan engkau, sekali lagi engkau akan terus setia mendengarkan ceritaku meski beberapa cerita ada yang aku ulang-ulang tapi engkau tidak pernah menyanggah apalagi protes. Engkau memilih terus mendengarkan dengan penuh perhatian. Sesekali engkau tersenyum saat aku bercerita tentang kenakalanku, atau tentang cerita lucu lainnya. Dan keningmu sesekali berkerut saat aku bercerita tentang kenakalan kawan-kawanku, atau saat aku bercerita bahwa tadi aku hampir celaka. Ah, waktu itu aku tidak tahu bahwa itu adalah isyarat kekhawatiranmu. Yang aku tahu saat itu engkau sedang mendengarkan ceiritaku yang seru. Ada hal lain yang aku suka dan betah berlama-lama bercerita denganmu. Aku suka saat engkau terus mengelus-elus kepalaku sesekali menyisir rambutku dengan tanganmu. Itu adalah relaksasi yang engkau berikan setelah seharian aku lelah bermain. Lalu, saat aku berhenti bercerita baru engkau akan memberikan tanggapan dan masukan terhadap ceritaku.
"Anak ibu, ceritanya sudah seperti kereta. Panjaaaaaang sekali. Sampai-sampai ibu tidak bisa menghentikannya." Itu adalah tanggapan yang engkau ucapkan pertama. Tentu dengan senyum yang khas darimu. Senyum yang memberikan ketenangan bagiku.
Aku pun hanya membalasnya dengan senyum. Seperti kuda. Memamerkan gigi-gigi kecilku yang tidak rapi karena ada ompongnya.
"Ibu senang mendengar ceritamu. Sepertinya kamu senang dengan kawan-kawanmu. Dan memang seharusnya begitu. Sepertinya kawan-kawanmu baik." Tambahmu. Tanpa pernah melepaskan senyum di bibirmu.
"Tapi, tadi ada kawanku yang nakal bu. Jadi, tidak semuanya baik. Aku tidak mau main lagi dengan teman yang jahat." Aku menyanggah pujianmu terhadap kawan-kawanku. Tentu aku langsung memasang wajah tidak suka.
Engkau akan tersenyum lagi melihatku memasang wajah masam. Sebelum engkau melanjutkan perkataanmu.
"Nak, dalam persahabatan itu wajar jika ada perselisihan. Tapi, jika benar mereka sahabat maka mereka tidak akan pernah benar-benar membuatmu kecewa apalagi sakit hati. Kenakalan dan kejahilan mereka hanyalah salah satu cara agar persahabatan kalian tidak membosankan. Ibu yakin, aslinya semua sahabatmu itu baik. Dalam bersahabat itu tidak perlu pilih-pilih. Selagi mereka masih berbuat sesuatu dalam kawajaran maka tidak ada alasan untuk tidak berteman dengan mereka."
Setelah perkataan itu biasanya engkau akan mengelus dulu kepalaku--rambutku. Aku tahu itu agar aku merasa tenang lagi sebelum menerima kata-kata darimu selanjutnya.
"Ibu tidak melarang kamu bermain dengan siapapun dan dimanapun. Hanya saja, dalam bermain bukan berarti semua boleh dilakukan. Seperti apa yang kamu ceritakan bahwa kamu tadi mencuri mangga tetangga. Itu adalah salah satu hal yang tidak boleh dilakukan. Meski itu dilakukan dengan sahabatmu, dengan riang, namun itu tidak bisa disebut bermain. Itu namanya mencuri. Dan dalam hal apapun tidak dibenarkan melakukan hal seperti itu." Katamu, tenang sekali seperti tidak ada kemarahan. Padahal aku tahu dalam hatimu mungkin ada sedikit tidak suka dan marah. Tapi engkau selalu punya cara mengendalikan marahmu. Senyum.
"Tapi bu, yang punyanya juga tidak marah. Saat ketahuan." Aku selalu saja melakukan pembelaan. Itu adalah kebiasaan yang bahkan terbawa sampai kini aku telah beranjak dewasa.
Lagi-lagi engkau akan tersenyum sebelum melanjutkan perkataanmu.
"Betul nak. Mungkin sekali, dua kali yang punyanya tidak akan marah karena kalian masih kanak-kanak. Tapi, yang ibu khawatirkan kebiasaan mencuri itu akan terbawa sampai kamu besar nanti. Meski tidak ada yang memarahi namun bukan berarti kita bebas melakukannya. Sekecil apapun barang orang yang kamu ambil tanpa permisi itu tetap saja mencuri. Dan itu bukan hal yang baik untuk dibiasakan. Kamu mengerti nak?" Saat pertanyaan itu terucap engkau akan menghentikan ritual mengusap kepalaku terlebih dahulu dan menatap wajahku dengan penuh keteduhan menunggu jawabanku.
Aku menangguk. Engkau akan tersenyum dan aku pun tersenyum.
"Ya sudah, sekarang mandi dulu!" Cerita sore hari pun berhenti.
Aku selalu suka dengan caramu menasihatiku. Tidak pernah dengan pemaksaan apalagi kekerasan.
Sebab, aku pernah mendengar sahabatku yang dibentak oleh ibunya karena ketahuan berbuat nakal. Tapi engkau, engkau mempunyai cara sendiri untuk menyampaikan kebaikan padaku.
Bu, hari ini aku ingin lagi bercerita seperti dulu. Saat aku kanak-kanak.
Tapi kini situasinya telah berbeda. Aku telah berada di tanah orang untuk berjuang menggapai masa depanku. Aku tidak bisa lagi membaringkan kepalaku dipangkuanmu. Aku tidka bisa lagi meraskan usapan tanganmu di kepalaku.
Padahal, hari ini aku ingin sekali bercerita. Tentang hari-hariku disini.
Bu, ternyata menjadi orang dewasa itu tidak mudah ya?
Ternyata masalahnya bukan lagi tentang kejahilan teman-teman atau kecurangan saat bermain kartu.
Bu, disini di tanah orang ternyata tidak mudah mencari teman yang benar-benar bisa di jadikan sahabat. Awalnya aku kira semua orang sama-- tidak pernah berniat mencelakakan. Seperti katamu "Jangan pernah memilih-milih teman. Selagi kita baik pasti orang akan baik." Ternyata kata itu tidak berlaku disini bu.
Aku pernah mendengar temanku yang ditipu temannya sendiri. Bahkan, yang lebih mengerikan ada teman yang membunuh temannya sendiri. Mengerikan kan bu? Aku tahu ibu juga sudah tahu karena sering mendengar berita di televisi.
Tapi, tenang saja bu. Aku bercerita bukan untuk membuat ibu khawatir. Karena memang aku tidak ingin membuatmu khawatir. Aku bersyukur masih menemukan teman-teman yang mau menjadi sahabatku. Teman-teman dekatku baik-baik bu. Hari ini saja aku baru merayakan ulang tahun sahabatku dengan melemparkan telur dan menyiramnya dengan air. Seru kan bu? Ternyata benar bu, kejahilan tak melulu karena kebencian. Tapi kadang karena telalu senang. Ibu tidak usah khawatir lagi sekarang. Meski beberapa hari yang lalu aku sempat bercerita bahwa aku ditipu oleh temanku. Tapi, itu cukup menjadi pelajaran bagiku bu. Bahwa aku sedang berada di kota. Dimana kadang nyawa lebih berharga daripada sebungkus nasi kering.
Kalau kemarin aku bercerita tentang kesialanku yang mungkin membuat kening ibu berkerut. Aku harap cerita hari ini bisa membuat ibu kembali tersenyum.
Bu, kalau kemarin aku bercerita di ujung telpon bahwa aku merasa di curangi oleh teman sendiri. Maka hari ini aku ingin mengabarkan pada ibu bahwa ada temanku yang dengan senang hati membantuku. Jadi ibu tidak usah khawatir lagi!
Kalau kemarin aku membuat kening ibu berkerut, maka hari ini aku berharap ibu akan tersenyum lagi. Ciiiiiss...hehe
Tapi, sekarang aku faham bu bahwa ternyata di usia yang semakin dewasa kecurangan itu bukan lagi kecurangan dalam permainan kartu. Karena ternyata dalam kehidupan dewasa kecurangannya lebih mengerikan.
Tadi saja aku mendengar sahabatku yang tidak lulus test kerja hanya karena saingannya menggunakan orang dalam untuk membantunya agar lulus test.
Atau tentang sahabatku yang satu lagi yang pernah melihat transaksi amplop di instansi pemerintah hanya agar diberi kelancaran dalam urusannya.
Ternyata kecurangan di usia dewasa lebih mengerikan ya bu?
Tapi tenang saja bu. Seperti kata ibu "Dalam permainan sekalipun ada hal yang tak boleh di lakukan terutama jika itu melanggar norma dan hukum. Terutama jika hal itu yang merugikan orang lain." Aku akan memegang nasihat itu bu. Karena kini aku mulai menyadari kebenaran nasihat-nasihatmu.
Bu, sebenarnya hari ini aku ingin bercerita banyak. Tapi aku tidak ingin disebut seperti kereta lagi...hehehe
Besok, aku ingin bercerita lebih banyak dari hari ini. Semoga ibu tidak pernah bosan mendengar ceritaku. Seperti dulu ibu tidak pernah bosan mendengar ceritaku saat masih kanak-kanak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar