Minggu, 29 November 2015

Mengintip Masa Depan

Aku, kamu, atau kita semua tidak ad yang mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan. Kita tidak tahu bagaimana kita akan hidup di masa depan. Kita tak tahu bagaimana perjalanan kita di masa yang akan datang.

Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi satu jam, satu menit bahkan satu detik setelah ini. Kenapa?

Karena memang tak perlu. Biarlah itu semua menjadi rahasia Tuhan. Rasanya, hidup juga tidak akan menarik lagi untuk dijalani saat kita sudah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Untuk apa? Bukankah kita sudah yakin dengan masa depan kita?

Saat orang mengetahui masa depan masing-masing tentu kita sudah terbayang reaksi masing-masing orang. Yang mendapati masa depannya akan bahagia tentu mereka akan selalu tersenyum setiap hari. Sedangkan, mereka yang mendapati masa depannya penuh kemalangan mungkin sedang berada di tepian jembatan untuk mengakhiri hidup. Untuk apa hidup juga jika sudah tidak ada harapan lagi untuk bahagia?

Begitulah memang, masa depan akan tetap menjadi rahasia.

Tapi, hari ini aku ingin membisikan sesuatu padamu. Ini adalah rahasiaku.

Aku bisa mengintip masa depan.

Pasti kamu akan mengernyitkan dahi dengan kata-kataku. Bukankah aku sendiri yang mengatakan bahwa kita tak bisa dan tak perlu mengetahui masa depan?

Ya, memang betul kita tak perlu mengetahui masa depan. Tapi,  aku memang bisa mengintip masa depan.

Bagaimana caranya?

Melalui matamu. Pada bening bola matamu aku melihat masa depanku yang akan bahagia. Pada genggaman tanganmu semakin membuatku yakin dengan dugaanku.

Saat melihat bening bola matamu, aku sudah memastikan bahwa masa depanku akan bahagia. Selama tanganmu masih menggenggam erat maka aku bisa memastikan bahwa masa depanku akan bahagia.

Percayalah, bahagia bukan berarti menjalani hidup tanpa ada halangan dan rintangan. Semua perjalanan hidup akan menemui hambatan. Tapi, semua tergantung kita menyikapinya.

Maka, jangan pernah engkau berpikiran untuk melepaskan genggaman tangan ini. Yakinlah selama kita saling berpegangan, masalah yang akan kita hadapi akan menjadi sumber kebahagiaan untuk kita.

Jangan pernah membiarkan matamu berpaling menatap wajah yang lain. Percayalah, kita akan menatap masa depan yang indah. Kita akan bisa menemukan kebahagian-kebahagian pada setiap masalah yang kita hadapi.

Atau kita akan membuat bahagia kita sendiri. Dengan cara kita sendiri.

Genggamlah tanganku! Dan kita mulai melangkah untuk menapaki kehidupan kita dimasa yang akan datang. Menyingkap rahasianya dengan senyuman tulus.

Kita akan sama-sama membuktikan bahwa dugaanku terhadap masa depan kita adalah benar. Selama kita saling berpegangan, maka tak akan ada seorang pun yang berani merusak indahnya masa depan kita.

***

Surat Cinta #6

Ibu...,

Ah, aku selalu saja senang menyebut namamu.

Kali ini, rasanya aku rindu sekali berada di sampingmu. Namun, perjalanan hidup atau engkau menyebutnya proses hidup memaksaku untuk tidak berada di sampingmu.

Beberapa saat yang lalu aku baru saja berbagi cerita dengan sahabat-sahabatku. Setelah itu, tiba-tiba saja aku rindu berbagi cerita denganmu. Membahas hal-hal kecil atau tentang berita yang sedang dibacakan oleh penyiar televisi saat kita sama-sama menonton TV. Tapi, lebih seringnya kita atau lebih tepatnya ibu berbagi cerita tentang kenakalan-kenakalanku waktu kecil. Setiap ibu menutup cerita masa kecilku yang nakal ibu selalu menutup dengan candaan yang sampai sekarang sering membuatku tersenyum sendiri.

"Waktu kecil, kamu tidak ada lucu-lucunya. Yang ada malah selalu bikin ibu kesel. Untung, kamu anak ibu, kalau bukan pasti kamu sudah jadi pepes orok." Katamu diakhiri dengan tertawa yang juga membuatku tertawa.

Ah, aku rindu saat-saat kita berbagi cerita. Bagiku, selain seorang ibu yang paling baik sedunia engkau juga pendongeng ulung yang pernah ada dalam masa kecilku.

Selalu banyak cerita yang keluar dari bibirmu. Terutama tentang memaknai kehidupan ini.

Bu, hari ini, ibu melihat berita televisi tidak?

Hari ini, aku melihat beberapa berita yang membuatku bergidik. Ada ibu yang tega membunuh anaknya karena rewel, ada ibu yang menelantarkan anaknya, ada anak yang disiksa ibunya. Dan masih banyak lagi berita serupa.

Bu, apa pendapat ibu jika ada yang seperti itu?

Apakah mereka memang belum siap menjadi ibu?

Kini, aku tahu bahwa memang mengurus seorang anak itu tidaklah mudah. Apalagi mengurus anak nakal dan rewel sepertiku. Kalau saja Tuhan tidak menakdirkan aku sebagai anakmu mungkin benar bu bahwa aku telah mennjadi "pepes bayi".

Kini, aku mulai mensyukuri hal-hal yang aku anggap sepele. Seperti aku tidak pernah bersyukur terlahir dari rahimmu. Dari rahim seorang ibu yang benar-benar tulus mencintaiku. Padahal di luar sana banyak sekali ibu yang jangankan mencintai dengan tulus justru mereka tega merampas hidup anaknya sendiri.

Aku juga tidak pernah bersyukur di lahirkan dari rahim seorang ibu yang memiliki segudang kasih sayang yang tak pernah habis. Sementara di luar sana banyak sekali ibu yang jangankan menyayangi anaknya, mereka justru dengan tega menyiksa darah dagingnya sendiri.

Akhirnya, aku percaya dengan kata-katamu dulu :

"Ibu tidak bisa mewariskan harta yang banyak padamu. Ibu tidak bisa memanjakanmu dengan harta. Ibu juga tidak terlalu memiliki ilmu yang banyak hingga bisa memberimu banyak pengetahuan. Tapi, percayalah bahwa ibu memiliki cinta kasih yang bisa ibu wariskan padamu. Ibu memiliki ilmu kasih sayang, kesabaran, ketabahan dan senyum yang akan selalu ibu ajarkan padamu. Harta, Ilmu, dan semua pengalaman lainnya bisa kamu dapatkan di luar suatu saat nanti. Tapi, percayalaha kamu tidak akan mendapatkan pelajaran kasih sayang yang tulus selain dari ibumu." Katamu pada suatu malam dna dengan kebiasaanmu mengelus rambutku saat itu aku belum memasuki bangku sekolah.

Awalnya,aku kira itu hanyalah alibimu karena kita memang berasal dari keluarga yang sederhana. Tapi, kini aku menganggap lain nasihatmu itu. Ternyata kita bukan keluarga sederhana. Kini, aku menemukan hal lain bahwa kasih sayang adalah kekayaan yang sesungguhnya yang tak pernah ternilai.

Itu baru aku sadari saat aku menemukan kenyataan bahwa orang yang mengatakan cinta ternyata tak selalu benar-benar cinta. Orang yang mengatakan sayang tak selalu tulus. Selalu saja ada maksud lain yang tersembunyi.

Bahkan, untuk beberapa kasus yang pernah aku lihat. Ternyata kebanyakan cinta dan kasih telah mati dalam hati manusia. Apa mungkin mereka tak mendapatkan 'warisan' kasih sayang dari ibu mereka dulu?

Bu, apakah yang ibu rasakan saat mendengar ada seorang bayi yang dibunuh oleh ibunya?

Tentu, ibu akan lebih bergidik daripadaku.

Ah, aku ingat pada pertanyaan konyolku saat ibu menceritakan kenakalan-kenakalanku.

"Apakah ibu pernah kesal atau marah saat aku nakal dan rewel?" Tanyaku polos.

Seperti biasa, satu senyum mengembang di bibirmu. Lalu termenung sebentar. Berusaha mengingat dan sesekali tersenyum lagi sebelum berbicara.

"Nak, ibu hanyalah manusia biasa. Tentu ibu pernah merasa kesal dan marah. Namun ibu berusaha untuk tidak melampiaskan marah ibu padamu, apalagi sampai memukulmu. Tangan ibu tidak sanggup untuk melakukan itu. Bahkan, untuk marah pun ibu tidak sanggup." Engkau diam sejenak dan tersenyum. Menatap wajahku yang mulai serius memperhatikan.

"Dengarlah nak, saat ibu marah rasanya yang sakit justru hati ibu. Saat ibu hendak memukulmu justru ibu sendiri yang merasa ketakutan. Kau tau kenapa?"

Aku yang masih polos hanya menggeleng.

" Karena kamu adalah darah daging ibu. Kalau ibu marah padamu itu sama saja ibu sedang memarahi diri ibu sendiri. Maka, saat ada yang membuatmu bersedih dan kecewa tentu ibulah yang pertama merasakannya. Kelak, engkau akan membuktikan keterikatan anatara dirimu dan ibu. Satu hal yang juga paling penting kenapa ibu tidak pernah melampiaskan marah ibu padamu, karena ibu tidak ingin mengajarkanmu mengumbar amarah... ." Engkau membiarkan kata-katamu menggantung di langit-langit rumah. Seperti biasa engkau mengelus kepala anakmu yang masih kecil dan polos. Itu semacam ritual agar apa yang engkau sampaikan meresap kedalam kepalaku.

Dan kemarin-kemarin saat aku jatuh sakit di tanah rantau engkau melemparkan pertanyaan dari seberang sana yang membuatku kaget.

"Kamu sakit nak?" Katamu di ujung telepon. Tentu saja aku merasa kaget karena aku tidak pernah mengatakan bahwa aku sedang sakit.

"Tidak." Kataku dengan berbohong.

"Kamu bisa membohongi siapapun tapi tidak akan pernah mampu membohongi ibumu." Katamu dengan tegas dari ujung telepon.

"Meskipun ibu tidak melihatmu tapi ibu bisa merasakannya." Tambahmu.

Tentu, aku tidak bisa mengelak lagi. Karena aku sadar bahwa aku adalah darah dagingmu. Hati dan perasaanku juga dibentuk dari air susumu. Itulah mungkin yang membuat keterikatan jiwa diantara kita benar-benar ada. Bahkan kita memiliki rasa yang sama.

Itulah mungkin sebabnya agama dan medis menyarankan agar semua bayi harus mendapatkan ASI. Agar terjalin keterikatan antara ibu dan anak.

Pada suatu kesempatan engkau pun pernah bertutur seperti ini,

Kemarahan adalah salah satu penyakit gila. Semua orang yang mengikuti kemarahannya akan membabi buta melakukan apa saja. Namun, semua kemarahan yang seperti itu hanya berujung pada penyesalan.

Mungkin, itu jugalah yang terjadi dengan para ibu yang tega membunuh atau menyiksa anaknya.

Bu, hari ini aku benar-benar mensyukuri nikmat terbesar yang aku lupakan. Aku bersyukur bahwq aku terlahir dari ibu yang luar biasa sepertimu.

Meski aku selalu menyusahkan namun engkau selalu menghadiahiku dengan senyuman.

Meski aku sering membuat kesalahan namun engkau selalu memberikanku semangat untuk berubah pada kebaikan.

Ah, tiba-tiba saja aku teringat dengan dongeng yang pernah engkau ceritakan dulu. Mungkin, ibu sudah lupa dengan cerita ini tapi aku masih mengingatnya denga jelas. Baiklah, hari ini kembali aku akan belajar menjadi pendongeng seperti ibu. Semoga kelak, aku juga bisa berbagi cerita dengan anak-anakku tentang dongeng-dongengmu. Dan ibu, ibu akan menjadi pendengar dongengku yang pertama agar ibu bisa menilai apakah aku sudah pantas untuk berbagi cerita dengan anak-anakku.

Aku ingin menceritakan kembali apa yang pernah ibu ceritakan padaku dulu. Dulu, ibu pernah bercerita begini :

Dahulu kala, di kaki pegunungan ada sebuah desa yang amat subur dan makmur. Rakyatnya pun sejatera. Awalnya, desa tersebut sangat aman dan tentram. Namun, keadaannya berubah saat ada segerombolan perampok yang meneror desa tersebut. Hasil pertanian dan peternakan dari desa yang subur tersebut amat tersohor hingga ke tanah yang jauh. Dan keadaan tersebut justru mendatangkan tamu yang tak di undang yakni segerombolan perampok.

Pada suatu malam, para perampok tersebut beraksi menjarah harta, hasil panen dan ternak warga. Tidak hanya itu, perampok juga menculik seorang bayi berumur sepuluh bulan. Dahulu, bayi laki-laki sangat laku untuk di jual dengan harga yang mahal karena bisa di jadikan budak jika sudah besar. Atau di jual pada orang tua yang menginginkan anak pada pernikahan mereka.

Para perampok tersebut membawa bayi mungil itu ke salah satu pegunungan yang melingkari desa yabg kondisinya sangat sulit untuk ditempuh dan dipenuhi semak belukar serta hewan-hewan buas.

Kepala desa dan penduduk yang lain bertekad untuk merebut kembali bayi yang di culik perampok. Kalau hanya harta yang di rampok tentu kita bisa mengikhlaskannya tapi kalau bayi yang diculik maka kita harus merebutnya, kata kepala desa dengan berapi-api. Maka, dibentuklah beberapa kelompok dari jumlah warga yang hadir yang akan berpencar menyusuri gunung yang di duga tempat bersembunyi para perampok.

Namun, belum sampai setengah perjalanan mendaki, mereka sudah tersesat di tengah hutan belantara. Semua anggota kelompok yang semuanya laki-laki desa itu kembali ke balai desa dengan tangan hampa.

Setelah menyusun rencana yang lebih matang, kelompok kedua pun berangkat mendaki dengan misi yang sama. Namun, saat mereka telah melewati setengah pendakian semuanya lari pontang panting karena banyak binatang buas yang menghalangi jalan mereka. Akhirnya, kelompok kedua pun kembali dengan tangan kosong.

Karena sudah banyak yang terluka dan kelelahan maka kepala desa tidak bisa memaksa dan hanya mengajak warga yang masih mampu saja untuk menyisir gunung yang di maksud. Mereka semuanya berpencar dan akan bertemu di satu tiitk yang telah di tentukan. Namun, setelah dilakukan penyisiran pun hasilnya tetap tidak bisa menemukan jejak perampok tersebut. Akibatnya, semua warga sudah banyak yang putus asa untuk mencari si bayi yang di culik.

Di tengah kesibukan yang melanda desa. Justru ada sebuah keanehan. Penduduk merasa heran karena mereka sudah mati-matian mencari namun sang ibu bayi justru tidak kelihatan bahkan seolah tenang-tenang saja di rumahnya.

Ketika hari menjelang sore dan warga sudah putus asa hendak membubarkan diri dari balai desa, tiba-tiba dari ujung desa tepatnya dari kaki gunung nampak seorang ibu turun menyusuri gunung menuju ke balai desa. Pakaian si ibu itu lusuh, tangan, kaki, bahkan wajahnya penuh dengan luka. Bahkan di beberapa bagian nampak masih menetes darah segar seperti gigitan binatang.

Tentu,hal tersebut membuat kaget semua warga, bagaimana mungkin seorang perempuan bisa mendaki ke gunung yang merupakan belantara dan di penuhi binatang buas. Sedangkan laki-laki saja semuanya menyerah karena tak sanggup. Bahkan, yang lebih mencengangkannya lagi perempuan itu menggendong seorang bayi yang di culik perampok yang bengis. Semua warga melontarkan pertanyaan yang sam bagaimana bisa melakukannya? Perempuan itu berusaha tersenyum dan dengan tenang dia menjawab "Ini adalah anak saya". Kata si ibu sambil mencium bayinya yang tertidur pulas dipelukannya.

Begitulah cerita yang pernah engkau kisahkan padaku dulu. Engkau mengatakan bahwa itu hanyalah cerita dongeng. Namun, entah kenapa aku merasa bahwa itu adalah cerita itu adalah sungguhan. Dan aku pun menyimpulkan bahwa perempuan itu adalah engkau. Bukankah desa kita juga subur dan di kelilingi bukit barisan yang indah?

Tapi terlepas dari itu aku selalu percaya bahwa cintamu lebih dari apapun. Aku juga masih ingat dengan kata-katamu saat mengakhiri cerita itu.

"Begitulah cinta seorang ibu, bahkan mereka rela mempertaruhkan nyawa demi anaknya."

Aku setuju. Bahkan, bukankah saat engkau juga telah menaruh separuh nyawamu di pintu surga saat hendak melahirkanku? Antara hidup dan mati.

Lalu, engkau menutup cerita malam itu dengan sebuah kata penuh makna :

Di dunia ini tidak ada yang bisa mengalahkan kekuatan cinta keculi kekuatan Tuhan yang Maha Cinta. Sedangkan, cinta sejati adalah cinta yang tak pernah mengharapkan balasan dari orang yang menerima curahan hati,cinta dan kasih kita. Dan itu ada pada seorang ibu. Maka, mulailah untuk belajar menebarkan cinta kasih dalam hidupmu!

Ah, tiba-tiba kerinduan ini kian membuncah untuk kembali bertemu denganmu dan berbagi cerita langsung denganmu. Bercerita tentang apa yang telah engkau ceritakan padaku di waktu kecil.

Akhirnya, aku hanya bisa merapalkan doa untuk kebahagiaanmu.

Sekali lagi, aku bersyukur telah dilahirkan dari rahim seorang ibu yang telah membesarkanku dengan cinta kasih bukan dengan siksa dan amarah.

Semoga engkau tetap menunggu kepulanganku. Aku sudah merindukan untuk berbagi kisah dan merasakan masakanmu.

Karena hari ini pun aku yang bercerita. Berarti nanti saat aku pulang pun harusnya aku yang memasak untukmu. Kini aku sudah siap dengan ledekanmu padaku tentang masakan yang pernah aku buat.

"Kamu masak sayur apa masak garam? Asin banget. Jangan-jangan sudah kepingin nikah." Itu adalah ledekan yang pernah keluar dari bibirmu. Responku saat itu hanya nyengir dan menepuk jidat. Lalu engkau tertawa . Aku pun tertawa.

Ibu pasti juga sedang tersenyum sekarang dengan tingkah anakmu yang semakin aneh ini. Tapi, tak apa pepatah juga mengatakan Buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Jadi...? hehehe

***

Senin, 23 November 2015

Surat Cinta #5

Ibu...,

Maafkan aku bu.
Maafkan aku bu.
Maafkan aku.
Aku memang anak yang durhaka.

Pasti ibu kaget kan dengan apa yang aku ucapkan?
Pasti ibu merasa aneh kan dengan semua ucapan itu?

Tidak mengapa bu. Ibu pantas merasa kaget dan keheranan dengan apa yang aku katakan barusan. Karena memang sebelumnya kata-kata seperti itu tak pernah keluar dari bibirku.

Hari ini, aku merasa berdosa sekali. Harusnya, kata-kata seperti itu aku ucapkan di hadapanmu langsung sambil bersimpuh atau dengan mencium tanganmu yang suci. Bukan justru melalui surat ini.

Bu, aku baru menyadari hari ini. Bahwa aku adalah anakmu. Yang keluar dari rahimmu dengan pertaruhan nyawamu sendiri. Bukan. Bukan berarti kemarin aku tidak mengakuimu sebagai ibuku.

Tapi, hari ini aku menyadarinya dengan keutuhan hati.

Mungkin, ibu bertanya-tanya dalam hati. Apa gerangan yang membuat anakmu ini menjadi aneh. Tidak mengapa bu. Aku akan dengan senang hati menjelaskannya.

Begini bu:

Hari ini, temanku yang juga sedang berada jauh dari tanah kelahirannya. Jauh dari orang tuanya sedang bersedih. Bahkan, aku melihat di sudut matanya ada linangan bening air mata. Lantas, sebagai teman tentu saja aku berniat untuk menghiburnya. Karena dugaanku pasti karena masalah cinta.

"Kau kenapa?" Tanyaku.

Dia hanya menggeleng. Itu tidak seperti biasanya. Dia selalu terbuka denganku.

"Kau kenapa? Masalah cinta lagi? Mulai kapan kau menjadi cengeng hanya karena cinta?" Kembali aku bertanya dengan sedikit meledeknya.

"Tidak. Bukan karena itu." Jawabnya dengan suara lemah.

"Lantas, kenapa kau bersedih?"

Di hanya diam tak menanggapi.

Aku menatapnya serius. Menunggu jawaban.

"Sudah beberapa hari ini, aku tidak mendengar kabar dari orang tuaku. Di SMS tidak ada balasan di telepon pun tidak aktif." Tuturnya tetap dengan nada yang lemah.

"Hahaha..." Aku tertawa mendengar jawabannya. "Aku kira masalah apa. Dasar anak mamah, baru beberapa hari saja tidak mendapat kabar dan tidak mendengar suaranya saja sudah sedih. Kau ini laki-laki, tidak perlu lah berlebihan seperti itu!" Ledekku.

Dia menatapku tajam. Itu membuatku sedikit kikuk.

"Terserah kau mau berkata apa." Tukasnya dengan malas.

Aku diam.

"Kau menyebut aku anak mamah atau anak manja sekalipun aku tidak peduli." Tambahnya lagi dengan nada yang serius.

Lagi-lagi aku tidak menanggapinya. Karena aku tahu tidak ada gunanya.

Dia mengusap air mata di sudut matanya.

"Bagiku, ibuku tetaplah ibuku. Sekalipun aku telah tumbuh dewasa atau bahkan mungkin saat aku telah menjadi orang tua aku tetaplah seorang anak bagi ibuku. Maka, aku wajib tahu kabar orang tuaku terutama ibu. Aku harus memastikan bahwa ibuku selalu sehat dan selalu baik-baik saja. Untuk saat ini, mungkin aku belum bisa membahagiakan mereka. Tapi, seperti anak-anak yang lain, semua anak pasti bercita-cita untuk membahagiakan orang tuanya. Meskipun orang tua tak menuntut untuk itu. Bagi mereka, melihat anaknya sudah bahagia saja mereka sudah senang. Tidak mengapa jika orang mengatakan bahwa aku anak yang manja meskipun telah bertumbuh dewasa. Karena memang begitu adanya. Aku bisa saja menjadi dewasa dan bersikap tegas jika berhadapan dengan orang lain. Tapi dengan ibu, aku tidak bisa. Tetap saja aku hanyalah anaknya yang manja. Maka, sangat penting bagiku untuk sekedar mendengar suaranya, mengetahui kabarnya. Untuk memastikan bahwa orang tuaku baik-baik saja... ." Dia menghentikan sejenak kata-katanya untuk sekedar menarik nafas panjang.

Aku. Aku hanya diam. Kata-katanya telah membuatku membisu. Aku tak menyangka kalau kawanku yang selalu terlihat dewasa itu akan berkata demikian.

"Disini, aku asyik dengan duniaku. Aku menikmati proses perjalanan hidupku. Hingga tak terasa umurku kian bertambah. Tapi, di sisi lain umur orang tuaku juga bertambah dan usia mereka berkurang. Aku tidak pernah tahu kapan Tuhan akan memanggil orang tuaku. Yang aku tahu hal itu pasti akan terjadi. Siap atau tidak siap, mereka pasti akan dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Yang aku takutkan bukan kepergian mereka. Justru, yang aku takutkan adalah aku tak sempat membuat mereka bahagia di masa tuanya. Aku tak sempat membahagiakan mereka di akhir usianya. Atau bahkan aku tak sempat membahagiakan mereka seumur hidupnya. Jika sampai hal itu terjadi maka sudah dipastikan bahwa hidupku akan sulit. Salah satunya karena penyesalan. Maka, penting bagiku untuk mengetahui kabar mereka. Mereka sudah sering sakit-sakitan. Dan aku takut sekarang pun mereka dalam keadaan sakit karena tak bisa di hubungi. Walau aku selalu berpikir bahwa ibuku akan selalu baik-baik saja. Kedua orang tuaku sudah renta, harusnya aku bisa menemani mereka. Berada di samping mereka dan melayani mereka sebagaimana mereka selalu memenuhi keingianku... ." Kata-katanya terhenti. Kini yang terdengar darinya hanyalah isakan yang tertahan.

Aku tak kuasa untuk tidak ikut menitikan air mata. Bukan semata-mata karena terharu dengan kata-katanya. Tapi lebih dari itu aku menangisi diriku sendiri.

Tiba-tiba saja wajah ibu berkelebatan di pikiranku. Lengkap dengan gambar diri yang selalu membangkang.

Beberapa hari yang lalu, ibu sempat meneleponku namun tidak aku angkat. Karena aku sedang sibuk dengan duniaku. Aku tidak ingin di ganggu. Sampai beberapa kali hpku berdering namun tak pernah aku hiraukan.

Kalau memang ada yang penting nanti juga kirim pesan. Atau kalau sekedar ingin menanyakan kabar bukankah baru kemarin sore ibu menelpon. Atau juga hanya sekedar menanyakan 'apakah aku sudah makan?'. Aku bukan lagi anak kecil yang harus selalu di atur-atur. Pikirku.

Sebelumnya, aku juga pernah terpaksa menerima teleponmu karena hpku tak pernah berhenti berdering. Aku hanya menanggapi setiap pertanyaan ibu dengan malas dan bahkan dengan nada yang marah sebab merasa terganggu. Mungkin, ibu juga merasakannya. Sebab, beberapa kali engkau menghentikan perkataanmu saat aku menaikan suaraku. Aku yakin disana pasti ibu sedang mengelus dada menahan sakit hati akibat sikapku.

Aku selalu saja merasa terganggu jika ibu sering menelponku. Bagiku, perhatian ibu padaku terlalu berlebihan.

Tapi, hari ini. Saat aku mendengar apa yang dikatakan sahabatku tiba-tiba saja hatiku terbuka. Betapa durhakanya diriku.

Temanku selalu berharap dan gelisah jika tak mendengar suara ibunya. Sementara aku, aku selalu menghindar dan mengacuhkan setiap panggilan darimu.

Ternyata, aku sudah terlalu jauh dalam bersikap. Aku telah lupa dari mana aku berasal.

Maafkan aku bu.

Tiba-tiba saja, aku teringat dengan kenakalan-kenakalanku. Jangankan untuk membahagiakanmu. Yang ada justru aku hanya membuatmu susah dan membuatmu menitikan air mata kecewa.

Dulu, saat aku kecil. Aku pernah tidak makan beberapa hari hanya karena permintaanku tidak kau penuhi. Namun, engkau selalu dengan sabar mengetuk pintu kamarku. Merayuku untuk makan. Engkau akan terus sabar merayuku. Dengan mengusap-usap rambutku engkau membujukku dan berjanji akan memenuhi permintaaanku.

Saat menginjak remaja, aku juga sering marah padamu hanya karena engkau tak menuruti permintaanku. Aku tidak menjawab saat engkau bertanya. Aku tidak berkata-kata saat kita sama-sama berkumpul makan atau menonton televisi. Aku tidak pernah mencium tanganmu saat pergi ke sekolah. Aku selalu memasang muka masam sebagai bentuk protesku terhadapmu sampai akhirnya engkau luluh untuk menuruti keinginanku.

Dan masih banyak lagi tingkahku yang membuatmu bersedih.

Aku memang selalu egois. Dengan memaksamu menuruti keinginanku. Namun aku tak pernah menuruti keinginanmu. Apalagi mengerti keadaanmu.

Yang aku tahu, engkau adalah orang tuaku dan harus memenuhi semua kebutuhanku sebagai anakmu. Tanpa pernah aku berusaha untuk menyelami kedalaman hatimu. Berusaha mengerti dengan keadaan.

Aku tidak tahu bagaimana caramu memenuhi kebutuhanku. Yang aku tahu, semua keperluanku terpenuhi.

Bahkan, sampai aku beranjak dewasa pun aku tak pernah peduli denganmu. Aku lebih sering berada di dunia maya daripada berada di sampingmu.

Tapi, engkau tak pernah benar-benar marah padaku. Tapi aku tidak pernah menyadari ketulusanmu.

Hingga kini, aku berada jauh darimu pun selalu saja perhatianmu tak pernah hilang. Walaupun lebih sering di kecewakan olehku namun engkau tak pernah untuk tidak perhatian padaku.

Tapi, aku tak pernah menyadarinya.

Yang aku tahu, aku telah berada jauh darimu. Bebas melakukan apapun tanpa harus mendengar ocehanmu. Tanpa harus sering mendengar petuah-petuahmu.

Tapi ternyata aku salah.

Temanku telah mengingatkanku.

Sejauh apapun aku pergi. Aku tetaplah anakmu.

Maafkan aku bu. Yang tak pernah membuatmu bahagia.

Apakah ibu tidak menyesal melahirkan anak durhaka sepertiku?
Yang hanya bisa menyusahkanmu saja.

Aku teringat beberapa bulan yang lalu saat aku jatuh sakit disini. Ibu selalu menceramahiku di ujung telepon. Sehari pun ibu bisa beberapa kali meneleponku hanya untuk mengingatkan ini dan itu. Sampai akhirnya aku merasa risih.

"Bu, aku sedang sakit. Aku butuh istirahat bukan ceramah. Bagaimana aku bisa istirahat jika setiap empat jam ibu selalu menelponku?!" Kataku dengan sedikit membentak.

Di ujung telepon aku mendengar nafas ibu yang tertahan. Mungkin saat itu ibu sedang mengelus dada berusaha menahan emosi. Dengan sedikit tersedu-sedu ibu mengakhiri telepon. Aku tahu pasti disana ibu menangis karena ucapanku.

Maafkan aku bu.
Aku memang anak durhaka.

Engkau yang selalu khawatir terhadap anakmu sedangkan anakmu ini tak pernah sekalipun peduli denganmu.

Engkau adalah orang pertama yang paling khawatir saat aku jatuh sakit. Engkau akan melakukan ini dan itu agar anakmu ini segera sembuh. Engkau melakukan apa saja agar anakmu sembuh.

Bahkan, pernah sekali aku mendengar. Saat aku tergolek sakit, engkau pernah berkata lirih;

Ya Tuhan, daripada anakku yang sakit. Lebih baik aku saja yang sakit. Katamu.

Sampai saat itu pun aku belum mampu menangkap makna pengorbananmu. Aku belum menangkap makna cinta yang kau berikan. Hatiku masih terbutakan.

Yang aku tahu, ibu adalah orang yang paling cerewet. Yang selalu sering melarang.

Saat engkau jatuh sakit. Aku hanya melakukan hal yang sewajarnya saja. Tak benar-benar aku merasa gusar seperti gusarnya engkau saat aku sakit.

Bahkan, aku tak mampu sampai berdoa pada Tuhan agar memindahkan sakit yang ibu derita padaku.

Maafkan aku bu.

Saat temanku bersedih sebab tak bisa menghubungi ibunya aku justru membuatmu bersedih karena aku selalu menolak untuk engkau hubungi.

Jangankan untuk menanyakan kabar ibu.
Menanyakan apakah ibu sudah makan atau belum.
Untuk mengangkat telepon saja aku masih ogah-ogahan karena aku berpikir terlalu sering ibu menghubungiku.

Padahal, harusnya aku tahu. Ibuku tetaplah ibu. Selamanya akan memiliki keterikatan batin yang kuat.

Maafkan aku bu.
Semoga saja engkau berkenan untuk memaafkan kedurhakaan anakmu ini.

Kini, aku benar-benar merindukanmu. Merindukan suaramu.
Merindukan senyummu.

Semoga Tuhan selalu memberikan kebahagiaan pada ibu.

***

Jumat, 20 November 2015

Surat Cinta #4

Ibu...,

Hari ini, saat kembali aku menulis surat ini.

Rasanya, hari-hariku belakangan teramat sangat melelahkan. Aktivitas yang menguras tenaga ternyata juga telah menguras emosiku. Aku merasakan lelah selelah-lelahnya. Kakiku seolah sudah tak sanggup lagi menopang berat badanku sendiri. Jiwaku seolah sudah terlepas dari raga dengan sendirinya sampai aku tidak merasakan kehadiran diriku sendiri. Entahlah.

Tiba-tiba saja, saat aku berada dalam kondisi seperti yang aku rasakan, disudut yang lain yang masih tersisa dalam diri yakni hatiku. Aku merasakan kerinduan pada sosokmu yang berada jauh disana.

Biasanya, jika aku sedang berada dalam kondisi terlemahku engkau akan selalu bersedia menyediakan bahumu untukku. Engkau akan menyediakan kupingmu guna mendengarkan keluh kesahku. Padahal, aku tahu saat engkau memberikan bahumu untuk tempatku bersandar pada bagian bahu yang lain engkau pun sedang memikul beban yang lebih berat dari apa yang aku rasakan. Namun, sekali lagi engkau tetap bersedia membiarkan bahumu sebagai tempatku bersandar. Hanya aku saja memang yang tak tahu diri. Aku juga tahu, saat kupingmu mendengarkan seluruh keluh kesahku dan otakmu mencerna setiap keluhku nmaun disisi yang lain otakmu sedang berusaha memecahkan masalahmu yang lebih rumit dari masalahku. Tapi, engkau memilih tetap mendengarkanku. Hanya aku saja yang tak tahu diri dengan terus membebanimu dengan masalah tanpa pernah aku bertanya apakah engkau juga memiliki masalah.

Engkau tak kan segan untuk memberi masukan terhadap masalah-masalahku.

"Setiap masalah yang datang. Setiap masalah yang menghampiri itu adalah bagian dari proses pendewasaan. Semakin banyak masalah yang kamu hadapi maka akan semakin cepat pula kamu menjadi dewasa." Begitulah kat yang sering kudengar dari bibirmu.

Hari ini, saat aku merasakan lelah yang yang teramat sangat akibat masalah yang datang silih berganti membuatku rindu berada di sampingmu. Menyandarkan kepalaku di bahumu. Menceritakan keluh kesahku. Meski usiaku telah melewati dua dekade namun ternyata aku tak terlalu tangguh untuk tidak mengeluh.

Bu, bolehkan hari ini aku berkeluh kesah kepadamu seperti dulu saat masih menjadi kanak-kanak?

Aku yakin, meski aku tidak sedang berada di hadapanmu pasti engkau sedang mengangguk sambil tersenyum seperti kebiasaanmu.

Ah, engkau memang tak pernah menolak semua keinginan anakmu meski aku sering membuatmu kecewa. Sering membuatmu menangis akibat kenakalan-kenakalanku. Kini, aku merasa menjadi manusia paling berdosa di muka bumi ini. Telah membuat malaikat yang selalu setia menjaga surgaku menangis adalah dosa terbesar. Dan itulah yang sering aku lakukan.

Bu, tadinya aku kira seiring bertambahnya usia maka orang akan menjadi semakin dewasa. Ternyata, anggapanku terpatahkan oleh diriku sendiri. Menjadi dewasa itu ternyata amat sangat sulit. Mudah untuk di ucapkan namun sukar untuk dilaksanakan. Kedewasaan itu bersifat relatif. Kadang, di satu sisi kita telah merasa menjadi seseorang yang dewasa dengan mampu mengatasi persoalan yang di hadapi. Namun, di sisi yang lain kita seperti seorang anak kecil yang sering ceroboh dan terburu-buru dalam memutuskan suatu perkara. Lagi-lagi aku menyadari kebenaran kata-katamu dulu :

Kedewasaan bukan di ukur dari usia.

Memang, aku sering mendengar kata-kata itu dari orang lain, namun bagiku kata-kata itu adalah mantra yang hebat sebab pernah di ucapkan olehmu.

Bu, tadinya aku mengira bahwa aku lebih tahu tentang diriku. Tentang, kemampuanku, tentang kedewasaanku, tentang jalan hidupku. Seperti yang pernah engkau katakan:

Kamu akan mendengar banyak cerita. Kamu akan melihat banyak kejadian. Tapi, tak perlu kamu terpaku pada apa yang kamu lihat dan yang kamu dengar. Cukup ambil pelajarannya dan rasakan dalam hatimu. Sebab, kamu juga akan membuat cerita hidupmu sendiri, kamu yang lebih tahu jalan hidupmu sendiri.

Ya,aku kira memang begitu. Tapi ternyata ada yang lebih tahu tentang diriku yang Dia yang menguasai hidup dan matiku. Aku meupakan pesan terpenting yang pernah engkau sampaikan.

"Jangan lupakan Tuhan!" Itu adalah pesan terakhirmu saat melepaskanku pergi ke tanah yang jauh.

Pesan terakhir justru adalah pesan yang aku lupakan hingga aku menemui jalan buntu sebab mengikuti keegoanku. Hingga hari ini, aku berkeluh kesah kembali padamu sebagai anak yang manja. Pasti engkau juga akan memberikan saran yang selalu engkau berikan padaku saat aku berkeluh kesah.

"Jangan pernah lupa untuk mengadukan setiap masalahmu pada Tuhan. Selain pada ibumu. Sebab, manusia hanya bisa mendengarkan. Sedangkan Tuhan akan melengkapinya dengan solusi terbaik." Itu adalah kata yang sering engkau katakan setelah aku berkeluh kesah padamu.

Namun, aku yang terlalu bodoh kadang sering di butakan oleh keadaan hingga aku lupa padaNya.

Bu, aku tidak ingin segera mengakhiri kesempatan ini. Menceritakan seluruh masalahku padamu.

Bolehkan bu?

Ah,itu hanya pertanyaan sia-sia sebenarnya. Sebab, aku sudah tahu bahwa engkau tidak pernah menolak keinginan anakmu yang tak tahu diri ini.

Bu, tiba-tiba saja aku teringat satu pesanmu tempo hari:

Carilah bahagiamu sendiri. Kemanapun itu. Seperti apapun itu. Carilah!
Tapi, satu hal yang perlu diingat bahwa dalam pencarian itu harus ada batasnya. Jika kamu sudah lelah dengan pencarianmu akan kebahagiaan maka tengoklah di kedalaman hatimu! Jika kamu sudah lelah dan tak kunjung menemukan kebahagiaanmu maka kamu tidak perlu lagi mencari kebahagiaan. Setelah itu, gantilah pencarianmu pada yang lain yakni mencari makna syukur.

Aku yang terlalu bodoh ini pernah melupakan kata-kata yang pernah engkau ucapkan itu. Hingga akhirnya, hari ini saat aku telah lelah dengan kehidupanku mencari kebahagiaan hidup. Aku teringat kembali pada pesanmu itu. Beberapa saat yang lalu, aku merenungi kata-katamu itu. Mencari saripati yang bisa aku cerna dalam diri.

Bu, aku pernah dibutakan dengan apa yang namanya harta, tahta, wanita. Ah, itu adalah yang engkau takutkan dalam kehidupanku tapi akhirnya aku mengalami itu semua. Aku di buat lelah oleh ketiganya. Aku dibuat lemah oleh ketiganya. Aku di buat rendah oleh ketiganya. Aku di buat hina oleh ketiganya. Aku bahkan dibuat jatuh oleh ketiganya sampai aku merasakan sakit yang amat sakit. Hingga aku tersadar bahwa aku telah melewati batas yang seharusnya untuk mengejar itu semua. Aku telah melakukan apa saja untuk mendapatkan itu semua. Ambisiku berlebihan untuk mengejar itu semua. Namun, hanya kekecewaan saja yang aku dapatkan. Kebahagiaan yang aku cita-citakan tak sedikitpun aku peroleh.

Akhirnya, aku menyerah pada keadaan. Merenungi setiap apa yang aku lakukan dan teringat kembali pesan-pesanmu. Saat aku telah lelah mencari kebahagiaan akhirnya aku menengok kedalaman hatiku. Adakah kebahagiaan yang aku rasakan. Seperti saranmu dulu. Ternyata tidak ada. Aku tidak menemukan setitikpun kebahagiaan padahal aku telah mati-matian mencarinya bu. Akhirnya, aku memutuskan untuk mencari makna syukur seperti pesanmu.

Ternyata, benar bu, saat aku mencari makna syukur sedikit demi sedikit aku melihat kebahagiaan di hati. Dengan menerima semua yang ada dan mengusahakan sewajarnya lalu mensyukurinya lagi maka aku telah melihat kebahagiaan di hatiku.

Bu,seiring perjalan waktu. Aku terus bertumbuh. Usiaku bertambah. Aku sendiri kadang ragu apakah aku bisa menjadi dewasa sesuai keinginanmu.

Sementara, engkau semakin bertambah tua. Tak mungkin aku terus membebanimu dengan masalahku. Sedang, sekalipun aku tak pernah mendengar keluh kesahmu.

Bu, semoga suatu saat aku bisa banyak belajar darimu. Tentang kedewasaan sikap.

Aku tiba-tiba saja teringat akan sosokmu terakhir kali saat melepasku pergi. Engkau yang seolah tidak rela melepas kepergianku. Tadinya, aku kira itu hal yang berlebihan. Tapi ternyata, aku menangkap hal lain bahwa saat itu engkau sebenarnya ragu melepas anakmu yang manja ini ke dunia yang lebih luas dimana permasalahan yang di hadapi pun lebih kompleks. Engkau khawatir anakmu tidak bisa bersikap dewasa di tanah orang. Walau akhirnya, engkau mengembangkan senyum di bibirmu pertanda hatimu telah yakin bahwa anakmu ini akan mampu menjalani semuanya.

Aku baru menyadari itu semua saat ini. Maafkan aku anakmu yang tak tahu diri ini bu.

Ah, tiba-tiba saja aku teringat masa kecilku yang penuh dengan kenakalan-kenakalan. Yang sering membuatmu terpaksa mengelus dada menahan emosi. Padahal, urusanmu bukan sekedar mengurusiku. Masalahmu lebih banyak. Pikiranmu harus tercabang-cabang memikirkan semuanya bersamaan. Memikirkan sekolahku, uang jajanku, kebutuhanku, makananku. Meskipun ayah yang mencari nafkah namun engkau yang mengatur semuanya. Sebab, aku tahu pendapatan ayah tidak seberapa hingga engkau harus memutar otak untuk mengatur semuanya agar terpenuhi.

Untuk sekolahku, engkau tidak selalu ingin anakmu merasakan hal yang sama seperti anak-anak yang lain. Lebih tepatnya, aku yang selalu meminta agar engkau menuruti semua keinginanku seperti anak-anak yang lain.

Untuk uang jajanku, engkau tidak ingin uang jajanku kurang atau tidak sama dengan anak-anak yang lain. Walau lebih tepatnya aku yang selalu meminta agar uang jajanku sama dengan yang lain. Engaku selalu menuruti keinginan anakmu yang nakal ini.

Untuk kebutuhanku, engkau selalu mengutamakannya. Sebab, aku selalu ingin agar kebutuhanku terpenuhi tanpa pernah tahu apakah engkau sanggup memenuhinya atau tidak tapi engkau selalu mengusahakannya.

Untuk makan pun engkau tak ingin sembarangan untuk anakmu. Karena engkau tahu anakmu ini akan malas makan jika tidak sesuai dengan keinginannya.

Padahal, anakmu ini sangat nakal namun engakau tak pernah menyebut anakmu ini nakal. Engkau akan berbesar hati terus membimbingku.

Tapi,apakah engkau tidak merasa lelah untuk itu semua bu?
Apakah engkau pernah mengeluh pada Tuhan tentang kenakalanku dan kesulitanmu mengurus keperluan rumah tangga?

Ah, aku tak sempat menanyakan itu semua. Aku memang tak tahu diri.

Yang aku tahu hanyalah semua keperluan terpenuhi. Semua keinginan engkau sanggupi.

Aku tak pernah menengok kedalaman hatimu. Karena yang aku tahu engkau selalu tersenyum.

Padahal, aku tahu engkau telah mengesampingkan kebutuhanmu demi kebutuhanku. Engkau telah mengesampingkan keinginanmu demi keinginanku. Engkau menghilangkan keluh kesahmu demi kebahagiaanku. Engkau menyingkirkan lelahmu demi senyumku.

Itu baru aku sadari hari ini saat aku merasa lelah dalam hidupku.

Padahal, waktu itu aku tahu engkau rela melakukan apapun demi anakmu.

Aku juga ingat saat lebaran beberapa tahun silam saat mengantarku membeli pakaian lebaran. Engkau hanya memilihkan pakaian untukku.

"Ibu tidak membeli pakaian juga?" Tanyaku dengan polosnya.

Engkau hanya menggeleng dan tersenyum.

"Kenapa?" Tanyaku lagi.

"Pakaian ibu masih layak dipakai." Jawabmu dengan tenang.

Aku yang masih polos hanya mengangguk. Tak pernah bertanya lebih jauh lagi. Padahal kalau saja aku teruskan pertanyaan itu mungkin ada banyak jawaban yang bisa saja membuat menangis hatiku.

Aku yang tak tahu diri ini hanya percaya bahwa itu adalah jawaban sebenarnya. Kini, aku menyadari bahwa mungkin saja itu bukan jawaban yang sebenarnya. Lagi-lagi aku baru menyadarinya saat ini.

Atau, saat engkau menyuruhku makan. Dengan sedikit merayu engkau menyuruh anakmu yang nakal ini makan. Engkau dengan tenang menemaniku makan.

"Ibu tidak makan?" Tanyaku dengan mulut masih penuh dengan makanan.

Tapi engkau hanya menggeleng.

"Ibu masih kenyang." Katamu.

Aku yang memang tak mengerti apa-apa memilih melanjutkan makanku dengan lahap. Padahal saat itu aku tahu kapan terakhir ibu makan. Namun, aku tak sampai memikirkan bahwa jawabanmu adalah kebohongan. Padahal kalau saja aku mau bertanya lebih banyak tentu akan ada jawaban lain di sudut matamu.

Ah, ibu. Engkau kadang sulit ku mengerti atau mungkin sebenarnya aku saja yang tak mau tahu.

Itu hanya sebagian ceritaku bersamamu yang bisa aku tangkap maknanya.

Mungkin, saat engkau melihat kenakalanku dan mengelus dada karenanya engkau berada di ujung lelah. Hingga engkau berusaha membuatku tersenyum. Seperti katamu:

Kebahagiaan akan mudah di dapat dengan cara yang mudah. Salah satunya dengan membuat orang lain tersenyum.

Dan engkau tidak sekedar mengucapkannya namun juga mencontohkannya.

Ah, andai saja waktu bisa di putar bu. Mungkin aku memilih menjadi anakmu yang penurut. Tak banyak meminta. Tak menyusahkanmu. Dan tak pernah membuatmu terpaksa mengelus dada apalagi berurai air mata. Atau, setidaknya aku lebih peka terhadap perasaanmu dan keadaanmu mungkin itu bisa sedikit mengurangi bebanmu. Tapi, kini semuanya sudah berlalu. Aku tidak lagi menjadi seorang anak kecil yang selalu merengek meminta sesuatu. Aku bukan lagi seorang anak kecil yang selalu ingin mendengar cerita-ceritamu sambil mennyisir rambutku dengan jarimu. Bahkan kini aku tak lagi berada di sampingmu.

Aku telah tumbuh menjadi anak yang selalu engkau harapkan dapat membuatmu bangga. Aku telah berada jauh darimu untuk menjalani sesuatu yang engkau sebut 'proses' kehidupan. Aku kini telah berada di dunia yang sebenarnya. Yang harus menimba ilmu hidup sendiri, menciptakan cerita hidup sendiri.

Namun, sampai usiaku sekarang aku masih tetap anakmu. Yang kadang melupakan keberadaanmu saat aku bersama teman-temanku. Aku yang kadang lupa akan usiamu yang semakin bertambah seiring bertambahnya usiaku. Kadang, aku sering melupakan nasihat-nasihatmu dan baru teringat saat aku telah kehilangan semangat. Tapi, meskipun demikian aku belum bisa untuk tidak berbagi cerita padamu. Lebih tepatnya berbagi keluh kesah. Seperti sekarang.

Padahal, seharusnya saat ini aku berbagi kebahagiaan padamu dan membuatmu bahagia. Sebab, dengan berbagi cerita seperti ini tentu akan membuatmu khawatir atau bahkan meneteskan air mata untuk anakmu. Untuk dirimu yang tidak bisa memberikan bahumu padaku. Aku tahu itu.

Bu,
Apakah ibu tidak pernah merasa lelah dengan semua kehidupan?
Apakah ibu pernah juga berkeluh kesah seperti anakmu ini?

Ternyata, saat ini aku bukan lagi ingin mendengarkan cerita-ceritamu. Atau mendapatkan bahumu tempat ku bersandar. Untuk saat ini, saat kita tidak lagi berada di tempat yang sama, mendengar suaramu telah cukup bagiku.

Maafkan anakmu jika apa yang aku ceritakan membuatmu khawatir. Percayalah, aku tak akan menyerah.

Dan, seperti pesanmu :

Kita boleh merasa lelah, merasa berat dengan keadaan namun jangan sekalipun menyerah!

Ah, apa yang aku ceritakan padamu jangan terlalu membuatmu khawatir. Percayalah, aku mewarisi ketegaranmu dalam menghadapi masalah.

Kapan-kapan, aku juga ingin mendengar ibu berkeluh kesah tentang kehidupan. Atau mungkin tentang sulitnya mengurus anakmu yang tak tahu diri ini. Hehehe.

***

Bukan Kamu Tidak Istimewa

Aku tidak ingin berharap banyak pada hubungan yang kita jalani. Sebab, aku mengetahui dan telah belajar banyak dari pengalaman bahwa :

Semakin banyak kita berharap. Semakin banyak pula kita akan menanggung kecewa.

Bukan aku tidak ingin kita melangkah pada jalan yang lebih serius. Bukan pula aku tidak ingin kita menjadi lebih dari apa yang kita jalani sekarang. Aku hanya ingin agar semua berjalan apa adanya tanpa ada yang perlu di paksakan. Aku ingin semuanya mengalir sebagaimana takdir menggiring. Kemanapun takdir menggiring, aku hanya berharap bahwa itu akan bermuara pada kebahagiaan. Itu saja.

Percayalah, meski itu terdengar acuh namun bukan berarti kamu tidak istimewa dalam hidupku. Bagiku, seseorang istimewa dalam kehidupan kita bukan didasarkan pada seberapa sering kita mengumbar kebahagiaan kita, bukan pada seberapa banyak janji yang terucap. Ada satu hal yang dilakukan seseorang terhadap orang yang istimewa dalam hidupnya.

Kamu mau tahu?

Ya. Membawa orang yang kita anggap istimewa dalam setiap doa adalah puncak dari mengistimewakan orang yang memang istimewa. Semua harapan tercurah dalam setiap doa bukan pada setiap janji.

Maka, tak perlu risau jika aku seolah tak terlalu peduli dengan hubungan kita. Karena aku selalu berusaha menggiring takdir agar membawa cinta kita pada muara kebahagiaan. Bukankah kamu juga pernah mendengar bahwa takdir dapat berubah dengan kekuatan doa?

Marilah kita merayakan kebahagiaan kita dengan cara yang lebih indah! Tidak harus dengan memposting foto-foto kebersamaan kita di lini masa. Tidak dengan status-status lebay di lini masa. Mari kita sama-sama merayakan kebahagiaan dengan saling mendoakan. Dengan begitu, kalaupun di depan takdir berkata lain maka kita tak akan terlalu kecewa. Karena memang kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di depan.

Marilah kita menumpahkan harapan-harapan kita dalam doa. Seperti aku yang selalu berharap pada Tuhan. Semoga kelak, kamu bukan sekedar menjadi pilihan bagiku tapi menjadi kepastian dalam hidupku.

Mungkin, hanya itu harapan terbesarku. Selebihnya biarkan takdir yang menentukan.

***

Rabu, 18 November 2015

Surat Cinta #3

Ibu...,

Hari ini, untuk pertama kalinya hujan turun di tempatku berada. Apakah disana juga hujan bu?

Saat menuliskan surat ini, aku sedang berada di dekat jendela. Menatap ribuan tetes air hujan yang jatuh ke bumi. Seperti kebiasaan yang pernah kita lakukan dulu. Saat hujan sore menjelang, ibu sering mengajakku menikmati tetesan-tetesan air yang jatuh dari langit itu melalui jendela. Meski kadang embun kerap menghalangi pandangan kita namun ibu selalu saja menatap dari balik jendela. Ibu selalu saja menyelipkan cerita-cerita atau pesan-pesan yang bahkan saat ini masih ku ingat. Meski ceritamu sangatlah sederhana namun dibalik itu semua selalu tersirat pesan yang amat mendalam bagiku.

Suatu hari, saat aku masih menjadi anak kecil ibu yang nakal, ibu pernah bercerita bagaimana terjadinya hujan.

"Nak, kamu mau tahu bagaimana proses terjadinya hujan?" Tanyamu.

Aku yang sebenarnya sudah tahu bagaimana proses hujan itu terjadi sebab pernah diajarkan di sekolah tetap mengangguk. Karena aku tahu ibu tidak sekedar menjelaskan bagaimana proses terjadinya hujan seperti yang diajarkan di sekolah. Bagiku, selalu ada yang istimewa dari setiap ceritamu.

Melihatku mengangguk, engkau pun tersenyum. Engkau menarik perlahan kepalaku agar rebah di bahumu.

Saat itu, engkau mulai bercerita bagaimana proses hujan itu bisa terjadi. Tidak jauh berbeda dari apa yang diajarkan di sekolah. Engkau menjelaskannya sampai usai. Tapi, ceritamu tak habis sampai disana.

"Nak, engkau harus banyak belajar dari hujan!" Katamu dengan lembut.

Aku yang masih terlalu polos hanya mendongakkan kepala menatapmu dengan kebingungan.

"Engkau tahu nak, bahwa hujan itu adalah air yang juga berasal dari bumi. Entah itu dari laut, danau, sungai dan sumber air lainnya yang mengalami penguapan akibat sinar matahari. Lalu air itu akan bergumul di langit bersama awan sebelum akhirnya jatuh kembali ke bumi...." Engkau menghentikan sejenak ceritamu dan membiarkan aku meresapi setiap penjelasanmu.

"Saat ini, engkau seumpama air yang berada di bumi. Kelak kamu akan mengalami proses sebagaimana air menguap oleh cahaya matahari. Dan proses itu tidak akan mudah kamu jalani. Air akan menguap jika ia mengalami pemanasan oleh cahaya matahari. Dan kamu, kamu harus mengalami proses yang juga tidak mudah. Perjalananmu tidak akan mudah dalam mengarungi kehidupan. Namun, jika kamu bisa melewati semua prosesnya kamu akan mampu berada di atas sebagaimana air yang tadinya berada di bumi telah berada di langit karena proses. Tapi, saat kamu berada di atas jangan pernah lupa akan asalmu. Jangan pernah lupa darimana kamu berasal. Karena, suatu saat nanti kamu akan kembali kemana kamu berasal. Entah itu dengan terpaksa atau dengan kesadaran sendiri. Suatu saat nanti, kamu akan pergi jauh dari tempat asalmu. Merantau. Entah itu untuk menuntut ilmu, bekerja, atau keperluan lainnya. Itu akan menjadi bagian dari proses hidupmu. Disana kamu akan bisa melihat dunia lebih luas lagi sebagaimana air yang berada di langit bisa menatap bumi lebih luas lagi. Namun, kamu jangan pernah lupa pada tempat dimana saat ini berada. Sebab, disinilah asalmu jadi jangan pernah sekalipun kamu lupa pada tempat asalmu. Jika pun suatu saat nanti kamu harus tinggal di tempat yang baru namun bukan berarti kamu harus melupakan tempat asalmu. Tengoklah tempat asalmu, tengoklah ibumu yang mungkin saat itu telah renta. Sebagaimana bumi yang selalu merindukan air hujan, ibu pun akan selalu merindukan kehadiranmu... ." Saat itu engaku mulai terisak. Satu dua tetes air matamu mulai jatuh.

Aku yang masih terlalu belia belum mampu memahami setiap ceritamu. Namun, engaku menatapmu dengan lembut dan berusaha tersenyum meski dipaksakan. Aku masih dalam kebingungan.

"Saat ini, kamu tidak harus mengerti dengan apa yang ibu ceritakan. Cukup dengan mengingatnya saja. Kelak, kamu akan mengerti sendiri makna dari cerita ibu." Tambahmu dengan senyum yang engkau paksakan.

Bu,

Hari ini, saat aku berada jauh darimu. Untuk mengalami sesuatu yang engkau sebut "proses", aku mulai memahami apa yang pernah kau ceritakan dulu. Aku mulai bisa meresapi makna di balik cerita-ceritamu. Mungkinkah, saat ini engkau sedang merindukanku sebagaimana bumi merindukan hujan? Seperti katamu.

Ah, itu adalah pertanyaan yang konyol bu. Bukankah saat engkau melepaskanku pergi juga aku melihat hujan yang jatuh di pipimu. Itu adalah air mata kesedihan, bagaimana engkau harus berberat hati melepas anakmu yang manja dan nakal ini pergi untuk menjalani proses kehidupan. Melihat dunia lebih luas lagi. Saat ini, mungkin rindumu telah menggunung terhadap anakmu yang tak tahu diri ini. Kerinduanku pasti akan kalah oleh kerinduanmu padaku.

Bu,

Hujan ternyata tidak sekedar menumbuhkan tanaman-tanaman atau membuat kuncup-kuncup bunga bermekaran. Lebih dari itu, hujan juga telah menumbuhkan kerinduan padamu.

Aku rindu akan masa-masa kecilku bersamamu. Aku yang nakal selalu saja menyusahkanmu.

Aku masih ingat, bagaimana sewaktu kecil aku sering bermain hujan bersama kawan-kawanku sampai aku jatuh sakit. Saat itu, ayah akan memarahiku --walau aku tahu dia tidak benar-benar marah. Tapi, engkau dengan kelembutan hatimu masih bisa tersenyum. Meski gurat ke khawatiranmu tidak bisa disembunyikan. Itu hanya sebagian caramu agar aku tidak terlalu merasa bersalah. Engkau akan memberikan perhatian padaku dengan sepenuh hatimu. Nalurimu sebagai ibu yang merasa khawatir akan kesehatan anaknya akan melakukan apapun agar aku cepat sembuh. Engkau akan setia mendampingiku, menuruti kemauanku, bahkan engkau rela terjaga karena sakitku. Padahal, sakitku justru karena kenakalanku yang tidak menuruti perintahmu untuk tidak bermain hujan.

Setelah beberapa hari aku sembuh dari sakitku akibat beemain hujan, aku sudah merajuk lagi padamu untuk mengijinkanku bermain hujan bersama kawan-kawanku. Bahkan, aku sampai menangis hanya agar engkau mengijinkanku bermain hujan. Sampai, akhirnya engkau pun mengalah untuk mengijinkanku bermain hujan. Senyum mengembang dari bibirmu. Namun kekhawatiran muncul di matamu.

"Jangan lama-lama." Itu pesanmu sebelum aku berlari ke tanah lapang menemui kawan-kawanku.

Baru sebentar saja aku bermain hujan namun engkau sudah memanggilku untuk masuk ke rumah. Aku berusaha menurutimu meski dengan jengkel.

Lalu, beberapa saat kemudian, ayah pulang ke rumah setelah seharian bekerja. Dan aku baru tahu alasanmu memanggilku masuk ke rumah. Engkau tidak ingin melihat anakmu yang nakal ini ketahuan bermain hujan oleh ayah setelah beberapa hari yang lalu sakit akibat bermain hujan. Engkau takut aku di marahi ayah. Ah, saat itu aku masih terlalu polos untuk memahami rasa sayangmu terhadapku. Larangan-laranganmu selalu membuatku jengkel, padahal dibalik itu semua ada rasa sayangmu yang amat besar.

Esoknya lagi, saat hujan tiba aku pun merajuk untuk mendapat izin bermain hujan. Namun, engkau menahanku dan mengajakku kembali bercerita. Bermain hujan dan mendengarkan ceritamu adalah dua pilihan yang membingungkan. Walaupun akhirnya aku memilih mendengarkan ceritamu.

Seperti biasa, kita akan duduk mengahadap jendela yang sudah tertutup embun.

"Ibu tidak melarang kamu bermain hujan. Karena ibu tahu itu adalah cara anak-anak seusiamu mensyukuri turunnya hujan dan ibu pun dulu pernah melakukan itu. Hanya saja, semua ada batasnya." Katamu membuka cerita.

"Satu hal yang harus kamu tahu nak. Segala sesuatu yang di lakukan secara berlebihan tidaklah baik. Kamu harus tahu batasan dari setiap perbuatan yang kamu lakukan. Kamu juga harus tahu dengan konsekuensi atau lebih mudahnya akibat dari perbuatanmu. Kamu masih ingat saat kamu sakit akibat dari bermain hujan?" Tanyamu dengan lembut menatapaku.

Aku mengangguk dengan pelan.

"Lalu, kenapa saat kemarin kamu bermain hujan tidak jatuh sakit?" Tanyamu lagi.

Aku hanya bisa menggeleng.

"Saat beberapa hari yang lalu kamu terjatuh sakit akibat bermain hujan, itu karena kamu bermain hujan tanpa ada batasnya. Kamu melakukannya dengan berlebihan. Akibatnya kamu jatuh sakit. Sedangkan kemarin, kamu membatasi bermain hujan dan kamu tidak jatuh sakit. Saat kamu hujan-hujanan risiko sakit memang tidak bisa dihindari, namun saat kamu membatasinya itu juga telah mengurangi risiko itu." Engkau menghentikan dahulu perkataanmu. Seperti biasa, membiarkanku meresapi setiap kata yang engkau ucapkan.

"Kelak, saat kamu sudah beranjak dewasa, dalam melakukan hal apapun kamu tidak boleh melakukannya secara berlebihan. Karena memang itu tidak baik. Lakukan saja sebagaimana mestinya. Karena segala sesuatu pasti ada batasannya. Sekali lagi, kamu tidak harus mengerti kata-kata ibu cukup saat ini kamu mengingatnya saja. Sebab, ada waktunya kamu akan mengerti sendiri dengan apa yang ibu katakan."

"Prihal, mensyukuri hujan. Kamu juga harus belajar mensyukuri dengan cara yang lain selain bermain di tanah lapang saat hujan yang sebenarnya akan membahayakanmu sendiri. Kelak, ibu akan mengajarimu mensyukuri hujan dengan cara yang lebih indah." Engkau menatapku dengan senyuman dan berhasil membuatku penasaran.

"Tapi, kawan-kawanku juga bermain hujan dan mereka tidak pernah di larang apalagi dimarahi seperti ayah memarahiku." Tukasku.

"Kamu tidak harus sama dengan orang lain nak. Jika kamu mampu lebih baik kenapa harus sama dengan mereka. Kamu juga harus tahu satu hal nak. Jika ada orang yang melarangmu, memberimu nasihat itu bukan berarti mereka membencimu justru karena mereka peduli padamu. Kelak, kamu akan merasakannya sendiri saat kamu beranjak dewasa. Peringatan dan nasihat itu akan kamu butuhkan untuk kebaikanmu. Justru, kamu harus bersedih saat sudah tidak ada lahi orang yang melarangmu, memperingatimu, menasihatimu karena itu artinya sudah tidak ada lagi yang peduli terhadapmu. Dan satu hal lagi, tidak semua orang yang marah adalah orang yang membencimu. Justru, bisa saja orang yang marah padamu adalah orang yang paling sayang padamu. Kemarahan mereka adalah puncak dari kekhawatiran mereka karena takut terjadi apa-apa pada orang tersayangnya. Itu juga lah yang di lakukan ayahmu. Kamu jangan pernah menilai sesuatu hanya karena sekilasan mata. Tapi lihatlah sorot matanya, kelak kamu akan mengetahui apa yang ada dalam hatiny."

Aku mengangguk dan ingat akan pesanmu beberapa saat yang lalu saat aku berbohong padamu. Dan engkau dengan lembut mengatakan :

Mata tidak akan pernah bisa berbohong. Jika ingin melihat kejujuran hati seseorang maka lihatlah matanya. Begitu katamu.

"Engkau sudah mengerti nak?" Tanyamu sambil mengelus kepalaku dengan lembut.

Aku mengangguk dan berusaha tersenyum engkau pun membalas senyumku.

Cerita sore itu pun berakhir saat dari kejauhan terlihat ayah sudah menuju ke rumah.

Bu,

Ah, saat ini rasanya rindu akan masa-masa itu. Menjadi anakmu yang nakal yang selalu mendengarkan ceritamu saat hujan tiba.

Satu hal lagi, yang baru aku ketahui prihal kebiasaanmu menatap jendela saat hujan turun. Ternyata engkau tidak sekedar menatap jendela. Lebih dari itu, engkau sedang menunggu ayah pulang dengan hati penuh ke khawatiran sebab saat hujan lebat ayah belum pulang. Kesimpulan ini aku ambil karena engkau akan berhenti menatap jendela saat engkau sudah melihat sosok ayah di kejauhan sedang menuju ke rumah. Rasa khawatirmu terhadap ayah sangat besar seperti rasa khawatirmu padaku darah dagingmu. Meski tidak pernah terucap namun aku selalu suka dengan caramu mencintai kami.

Kini, aku sudah faham terhadap janjimu untuk mengajariku cara mensyukuri hujan. Dengan menikmati setiap tetes yang jatuh serta menantikan seseorang yang kita cintai. Seraya tak hentinya hati kita merapalkan doa-doa memuji sang pemilik cinta sejati.

Dan saat ini, aku menatap jendela ini dengan harapan melihat wajahmu yang sedang tersenyum.

Ah, semoga saja kelak aku akan mendapatkan pendamping sepertimu. Yang dengan diam selalu menyanyangi anak-anak dan menyayangiku. Dia yang selalu setia menungguiku dari balik jendela saat aku belum pulang ke rumah. Dia yang memiliki kasih sayang sepertimu bu.

Semoga, engkau selalu berada dalam kasih sayangNya. Sebagaimana engkau yang selalu menyayangiku.

***

Minggu, 15 November 2015

Hal-hal Yang Tak Perlu Diperdebatkan

"Apakah hubungan kita akan berjalan baik dengan perbedaan yang kita miliki?" Tanyamu suatu hari saat kita berada di taman dan kamu menyandarkan kepalamu di bahuku.

Aku tidak segera menjawab apa yang kamu tanyakan. Bukan karena aku tak bisa menjawab. Tapi, aku hanya tak ingin terburu-buru menjawab saja.

Aku tetap membiarkanmu menyandarkan kepalamu di bahuku. Memandangi orang yang berlalulalang di taman. Dan sampai pertanyaanmu terlupakan. Aku suka kamu yang tak pernah memaksakanku untuk menjawab semua pertanyaan.

Tapi, hari ini. Aku akan menjawab pertanyaan yang yang belum sempat terjawab itu.

Dengarlah,

Tidak semua perbedaan harus diperdebatkan. Tidak semua perbedaan harus diperselisihkan. Tidak semua perbedaan harus dibicarakan.

Kita dilahirkan kedunia ini dengan berbagai macam perbedaan. Tentu itu tak bisa kita pungkiri. Semua orang memiliki prinsip hidup masing-masing. Aku tidak akan mempermasalahkan prinsipmu yang berlainan denganku. Sebab, semua orang memiliki prinsip masing-masing. Kalaupun diantara kita ada persamaan mungkin hanya persamaan rasa. Kita memiliki rasa yang sama. Itu saja.

Lalu, bagaimana menyikapi perbedaan itu?

Begini, saat kita memutuskan untuk hidup bersama dengan perbedaan dan prinsip masing-masing, maka saat itu juga prinsip dan perbedaan itu telah hilang.

Seperti, aku, kamu yang telah menjelma kita--cinta. Maka perbedaan prinsip yang kita miliki telah melebur dengan sendirinya.
Bukankah kita sudah berikrar tuk saling setia?
Itu juga prinsip.
Saat kita menjalin hidup berdua. Maka saat itu pula lah kita mulai menentukan prinsip kita berdua dan melupakan prinsip masing-masing.

Maka, untuk pertama-tama marilah kita menyatukan hati kita dahulu sebelum membicarakan prinsip hidup kita. Jika kita sudah saling setia, perbedaan itu akan hilang dengan sendirinya. Tak perlu kau risaukan itu!

Mari kita membuat prinsip hidup kita. Bukan lagi aku atau kamu.

***

Senin, 02 November 2015

Tenang saja!

Jembatan ternyata bukan hanya berfungsi menghubungkan dua tempat yang berbeda, menyatukan dua tebing yang berjauhan. Lebih dari itu, jembatan juga telah menghubungkan dua hati yang saling mengagumi. Khususnya bagi kita. Setelah kita saling mengutarakan isi hati masing-masing di atas jembatan, maka jembatanpun kini menjadi tempat favorit kita berdua. Kita akan senang berlama-lama menyandar di besi tepian jembatan.

Kita akan saling berpegangan tangan sambil menatap air sungai yang tak begitu deras. Tak banyak yang kita bicarakan. Sebab kita memilih diam dan membiarkan hati kita yang saling merasa.

Aku tidak ingin jauh darimu. Aku tidak ingin kehilanganmu. Aku mencintaimu.Katamu suatu hari di atas jembatan.

Aku tahu kata yang kamu ucapkan benar-benar dari hatimu. Aku bisa merasakannya melalui genggaman tanganmu yang semakin erat.

Aku akan mendiamkanmu sesaat. Membiarkan ketakutanmu hanyut terbawa air sungai.

Aku tidak berjanji. Tapi aku akan berusaha berada disampingmu.Itu saja yang keluar dari bibirku.

Lalu kau akan menatapku. Mencari kesungguhan disudut mataku. Kamu akan tersenyum setelah aku menganggukkan kepalaku.

Sebenarnya kita tak harus khawatir dengan masa depan hubungan kita. Semuanya sudah ada yang mengatur. Kita hanya bisa menjalaninya dengan kesungguhan hati. Tanpa pernah ada niatan untuk saling menyakiti. Itu saja yang bisa kita lakukan.

Barangkali memang benar apa yang di katakan sahabatku :

Cinta itu hanyalah tentang ketepatan dan ketetapan.

Sekuat apapun kita mempertahankan hubungan jika memang dia bukan orang yang tepat tetap saja kita tidak akan mampu. Dan sekuat apapun kita mempertahankan agar hubungan kita tetap terjalin kalau memang ketetapanNya berkata lain tentu kita tidak punya kuasa untuk mempertahankan.

Jadi, tidak ada yang perlu di khawatirkan dalam sebuah hubungan. Jalani saja dengan kesungguhan hati. Ikuti kemana ia akan berlabuh.

Tenang saja! Kalau memang engkau adalah orang yang tepat sesuai ketetapanNya maka tidak ada yang akan mampu memisahkan kita. Percayalah!!!

****

Surat Cinta #2

Ibu...,

Hari ini aku ingin sekali berbagi cerita denganmu.

Seperti dulu saat aku masih kanak-kanak. Menyandarkan kepalaku di pangkuanmu sambil melemaskan badanku setelah seharian bermain bersama kawan-kawanku. Dan engkau akan dengan senang hati mendengarkan cerita-ceritaku. Dari mulai cerita kenakalanku menjahili kawan-kawan, seharian bermain petak umpet, bermain kartu, bermain kelereng, bercerita tentang kecurangan teman-teman atau bahkan aku sampai membuka mulut bahwa tadi siang aku mencuri mangga milik tetangga. Tapi engkau tidak buru-buru marah meski aku dengan terang-terangan mengaku telah mencuri mangga tetangga. Engkau memilih terus mendengarkan celotehku yang tak kunjung henti seperti gerbong kereta api. Ah, padahal waktu itu aku belum tahu kereta api itu panjangnya seperti apa. Yang aku tahu saat itu bahwa kereta api itu panjang. Dan engkau, sekali lagi engkau akan terus setia mendengarkan ceritaku meski beberapa cerita ada yang aku ulang-ulang tapi engkau tidak pernah menyanggah apalagi protes. Engkau memilih terus mendengarkan dengan penuh perhatian. Sesekali engkau tersenyum saat aku bercerita tentang kenakalanku, atau tentang cerita lucu lainnya. Dan keningmu sesekali berkerut saat aku bercerita tentang kenakalan kawan-kawanku, atau saat aku bercerita bahwa tadi aku hampir celaka. Ah, waktu itu aku tidak tahu bahwa itu adalah isyarat kekhawatiranmu. Yang aku tahu saat itu engkau sedang mendengarkan ceiritaku yang seru. Ada hal lain yang aku suka dan betah berlama-lama bercerita denganmu. Aku suka saat engkau terus mengelus-elus kepalaku sesekali menyisir rambutku dengan tanganmu. Itu adalah relaksasi yang engkau berikan setelah seharian aku lelah bermain. Lalu, saat aku berhenti bercerita baru engkau akan memberikan tanggapan dan masukan terhadap ceritaku.

"Anak ibu, ceritanya sudah seperti kereta. Panjaaaaaang sekali. Sampai-sampai ibu tidak bisa menghentikannya." Itu adalah tanggapan yang engkau ucapkan pertama. Tentu dengan senyum yang khas darimu. Senyum yang memberikan ketenangan bagiku.

Aku pun hanya membalasnya dengan senyum. Seperti kuda. Memamerkan gigi-gigi kecilku yang tidak rapi karena ada ompongnya.

"Ibu senang mendengar ceritamu. Sepertinya kamu senang dengan kawan-kawanmu. Dan memang seharusnya begitu. Sepertinya kawan-kawanmu baik." Tambahmu. Tanpa pernah melepaskan senyum di bibirmu.

"Tapi, tadi ada kawanku yang nakal bu. Jadi, tidak semuanya baik. Aku tidak mau main lagi dengan teman yang jahat." Aku menyanggah pujianmu terhadap kawan-kawanku. Tentu aku langsung memasang wajah tidak suka.

Engkau akan tersenyum lagi melihatku memasang wajah masam. Sebelum engkau melanjutkan perkataanmu.

"Nak, dalam persahabatan itu wajar jika ada perselisihan. Tapi, jika benar mereka sahabat maka mereka tidak akan pernah benar-benar membuatmu kecewa apalagi sakit hati. Kenakalan dan kejahilan mereka hanyalah salah satu cara agar persahabatan kalian tidak membosankan. Ibu yakin, aslinya semua sahabatmu itu baik. Dalam bersahabat itu tidak perlu pilih-pilih. Selagi mereka masih berbuat sesuatu dalam kawajaran maka tidak ada alasan untuk tidak berteman dengan mereka."

Setelah perkataan itu biasanya engkau akan mengelus dulu kepalaku--rambutku. Aku tahu itu agar aku merasa tenang lagi sebelum menerima kata-kata darimu selanjutnya.

"Ibu tidak melarang kamu bermain dengan siapapun dan dimanapun. Hanya saja, dalam bermain bukan berarti semua boleh dilakukan. Seperti apa yang kamu ceritakan bahwa kamu tadi mencuri mangga tetangga. Itu adalah salah satu hal yang tidak boleh dilakukan. Meski itu dilakukan dengan sahabatmu, dengan riang, namun itu tidak bisa disebut bermain. Itu namanya mencuri. Dan dalam hal apapun tidak dibenarkan melakukan hal seperti itu." Katamu, tenang sekali seperti tidak ada kemarahan. Padahal aku tahu dalam hatimu mungkin ada sedikit tidak suka dan marah. Tapi engkau selalu punya cara mengendalikan marahmu. Senyum.

"Tapi bu, yang punyanya juga tidak marah. Saat ketahuan." Aku selalu saja melakukan pembelaan. Itu adalah kebiasaan yang bahkan terbawa sampai kini aku telah beranjak dewasa.

Lagi-lagi engkau akan tersenyum sebelum melanjutkan perkataanmu.

"Betul nak. Mungkin sekali, dua kali yang punyanya tidak akan marah karena kalian masih kanak-kanak. Tapi, yang ibu khawatirkan kebiasaan mencuri itu akan terbawa sampai kamu besar nanti. Meski tidak ada yang memarahi namun bukan berarti kita bebas melakukannya. Sekecil apapun barang orang yang kamu ambil tanpa permisi itu tetap saja mencuri. Dan itu bukan hal yang baik untuk dibiasakan. Kamu mengerti nak?" Saat pertanyaan itu terucap engkau akan menghentikan ritual mengusap kepalaku terlebih dahulu dan menatap wajahku dengan penuh keteduhan menunggu jawabanku.

Aku menangguk. Engkau akan tersenyum dan aku pun tersenyum.

"Ya sudah, sekarang mandi dulu!" Cerita sore hari pun berhenti.

Aku selalu suka dengan caramu menasihatiku. Tidak pernah dengan pemaksaan apalagi kekerasan.

Sebab, aku pernah mendengar sahabatku yang dibentak oleh ibunya karena ketahuan berbuat nakal. Tapi engkau, engkau mempunyai cara sendiri untuk menyampaikan kebaikan padaku.

Bu, hari ini aku ingin lagi bercerita seperti dulu. Saat aku kanak-kanak.

Tapi kini situasinya telah berbeda. Aku telah berada di tanah orang untuk berjuang menggapai masa depanku. Aku tidak bisa lagi membaringkan kepalaku dipangkuanmu. Aku tidka bisa lagi meraskan usapan tanganmu di kepalaku.

Padahal, hari ini aku ingin sekali bercerita. Tentang hari-hariku disini.

Bu, ternyata menjadi orang dewasa itu tidak mudah ya?

Ternyata masalahnya bukan lagi tentang kejahilan teman-teman atau kecurangan saat bermain kartu.

Bu, disini di tanah orang ternyata tidak mudah mencari teman yang benar-benar bisa di jadikan sahabat. Awalnya aku kira semua orang sama-- tidak pernah berniat mencelakakan. Seperti katamu "Jangan pernah memilih-milih teman. Selagi kita baik pasti orang akan baik." Ternyata kata itu tidak berlaku disini bu.

Aku pernah mendengar temanku yang ditipu temannya sendiri. Bahkan, yang lebih mengerikan ada teman yang membunuh temannya sendiri. Mengerikan kan bu? Aku tahu ibu juga sudah tahu karena sering mendengar berita di televisi.

Tapi, tenang saja bu. Aku bercerita bukan untuk membuat ibu khawatir. Karena memang aku tidak ingin membuatmu khawatir. Aku bersyukur masih menemukan teman-teman yang mau menjadi sahabatku. Teman-teman dekatku baik-baik bu. Hari ini saja aku baru merayakan ulang tahun sahabatku dengan melemparkan telur dan menyiramnya dengan air. Seru kan bu? Ternyata benar bu, kejahilan tak melulu karena kebencian. Tapi kadang karena telalu senang. Ibu tidak usah khawatir lagi sekarang. Meski beberapa hari yang lalu aku sempat bercerita bahwa aku ditipu oleh temanku. Tapi, itu cukup menjadi pelajaran bagiku bu. Bahwa aku sedang berada di kota. Dimana kadang nyawa lebih berharga daripada sebungkus nasi kering.

Kalau kemarin aku bercerita tentang kesialanku yang mungkin membuat kening ibu berkerut. Aku harap cerita hari ini bisa membuat ibu kembali tersenyum.

Bu, kalau kemarin aku bercerita di ujung telpon bahwa aku merasa di curangi oleh teman sendiri. Maka hari ini aku ingin mengabarkan pada ibu bahwa ada temanku yang dengan senang hati membantuku. Jadi ibu tidak usah khawatir lagi!

Kalau kemarin aku membuat kening ibu berkerut, maka hari ini aku berharap ibu akan tersenyum lagi. Ciiiiiss...hehe

Tapi, sekarang aku faham bu bahwa ternyata di usia yang semakin dewasa kecurangan itu bukan lagi kecurangan dalam permainan kartu. Karena ternyata dalam kehidupan dewasa kecurangannya lebih mengerikan.

Tadi saja aku mendengar sahabatku yang tidak lulus test kerja hanya karena saingannya menggunakan orang dalam untuk membantunya agar lulus test.

Atau tentang sahabatku yang satu lagi yang pernah melihat transaksi amplop di instansi pemerintah hanya agar diberi kelancaran dalam urusannya.

Ternyata kecurangan di usia dewasa lebih mengerikan ya bu?

Tapi tenang saja bu. Seperti kata ibu "Dalam permainan sekalipun ada hal yang tak boleh di lakukan terutama jika itu melanggar norma dan hukum. Terutama jika hal itu yang merugikan orang lain." Aku akan memegang nasihat itu bu. Karena kini aku mulai menyadari kebenaran nasihat-nasihatmu.

Bu, sebenarnya hari ini aku ingin bercerita banyak. Tapi aku tidak ingin disebut seperti kereta lagi...hehehe

Besok, aku ingin bercerita lebih banyak dari hari ini. Semoga ibu tidak pernah bosan mendengar ceritaku. Seperti dulu ibu tidak pernah bosan mendengar ceritaku saat masih kanak-kanak.

Surat Cinta #1

Ibu,

Entah kenapa tiba-tiba saja hari ini aku ingin menuliskan surat ini untukmu.

Oh iya, bagaimana kabarmu disana ibu? Aku anakmu disini masih dengan keadaan seperti kemarin. Masih baik-baik saja, Alhamdulillah. Aku berharap keadaanmu disana juga baik atau bahkan lebih baik dari keadaanku karena memang itu yang aku harapkan setiap saat sesuai doaku yang selalu kupanjatkan pada Yang Maha Kuasa agar Dia senantiasa memberimu kesehatan dan kebahagiaan. Sampai aku bisa membahagiakanmu suatu saat nanti.

Ah, sebenarnya aku tahu, doa yang aku panjatkan untukmu masih terlalu pendek dibandingkan dengan doa-doamu yang engkau panjatkan pada Yang Maha Kuasa untukku. Aku tahu, didalam doa panjangmu hanya namaku--anakmu-- yang selalu engkau sebut. Namaku selalu mengalir dalam setiap tetes air matamu yang jatuh dihadapan Yang Maha Kuasa. Aku tahu itu bu. Meski aku baru mengetahuinya beberapa hari yang lalu sebelum aku memutuskan menulis surat ini.

Aku tahu bu, saat aku menyebut namamu satu kali dalam setiap doaku engkau telah menyebut namaku 10 kali dalam doa panjangmu. Dan saat aku menyebut namamu 10 kali dalam doaku, engkau telah menyebut namaku 100 kali dalam doa-doamu. Begitulah seterusnya. Seberapa banyakpun aku mendoakanmu tapi selalu kalah oleh banyaknya doa yang engkau panjatkan untukku. Engkau menyebut namaku dalam kerendahan hati dan lirih kekhusyuan. Sementara aku, aku masih dengan kesombongan dan keangkuhan. Suatu saat nanti aku ingin lebih banyak belajar kepadamu tentang kerendahhatian dan ketulusan.

Entah kenapa, tiba-tiba saja aku ingin menuliskan surat ini untukmu. Mungkin jawabanku hanya satu. Kerinduan.

Ya, setelah kini aku jauh darimu. Setelah lama aku berpisah darimu. Rasanya, aku baru tahu arti kerinduan yang sesungguhnya.

Meski aku tahu, rasa rinduku masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan rindumu padaku--darah dagingmu. Seperti doa, saat aku rindu satu kali engkau telah memendam rindu ribuan kali padaku. Hanya aku saja yang terlalu bodoh untuk tidak merasakan kerinduan yang engkau rasakan. Aku terlalu asyik dengan dunia dan lingkunganku hingga aku lupa bahwa di belahan dunia sana ada yang sedang menanti kabar dariku, ada yang sedang khawatir menantikan kabar dari seorang anak yang sudah beberapa hari tak kunjung memberi kabar. Maafkan aku ibu, yang membiarkanmu larut dalam kekhawatiran.

Sebenarnya, engkau bisa saja menanyakan kabarku terlebih dahulu memalui pesan singkat atau melalui telpon. Tapi, aku tahu engkau pasti tidak ingin mengganggu anakmu. Engkau pasti takut mengganggu anakmu. Dan setelah itu anakmu yang durhaka ini marah padamu karena engkau menggangguku. Aku tahu itu bu. Engkau pasti takut aku marah dan membiarkanmu beberapa hari tanpa memberi kabar seperti yang aku lakukan beberapa bulan yang lalu. Aku tahu bu, tapi aku baru menyadarinya hari ini saat aku memutuskan untuk menuliskan surat ini.

Hari ini, rasanya aku rindu padamu. Sekali lagi aku tahu pasti rindumu telah tumbuh dari kemarin-kemarin saat telepon terkahir kita. Engkau pasti sudah merindukan kehadiranku. Seperti aku juga merindukan hadirmu.

Maafkan aku bu yang sedikit terlambat menyadari bahwa di belahan bumi yang lain ada seseorang yang istimewa yang sedang mondar-mandir sesekali melihat handphone hanya untuk melihat adakah kabar dariku--anakmu.

Sementara disini aku sedang tertawa dengan teman-teman baruku. Menikmati suasana baru yang jauh dari rumah. Menikmati lingkungan baruku. Tapi disana engkau sedang khawatir karena sudah beberapa hari tidak menerima kabar dariku. Hingga tidurmu tidak nyenyak. Makanmu tidak enak. Hanya karena belum mendapatkan kabar dari anakmu yang durhaka ini.

Maafkan aku bu yang telah membuatmu khawatir disana...

Minggu, 01 November 2015

Tak Ada Gunanya Meratapi Kesedihan

Entah ini sudah hari keberapa dari sejak aku mendengar kata PUTUS darimu. Yang aku tahu, hari-hariku menjadi lebih sepi, tak ada semangat untukku menjalani hari.

Untuk hari ini pun entah sudah berapa kali aku mengetik kata "selamat pagi", "jangan lupa makan". Namun, kata-kata itu hanya berakhir di draft saja tak pernah benar-benar aku kirimkan padamu. Entah sudah berapa kali juga aku membuka kontak namamu di hapeku yang masih tersimpan spesial namun aku tak mampu untuk menelponmu. Sebenarnya, aku ingin sekedar menanyakan kabarmu disana. Tapi, kenyataan bahwa kita tak lagi memiliki ingatan selalu saja menghentikan keinginan itu.

Kalau kamu berpikir aku terlalu lemah mungkin memang ada benarnya. Karena kenyataannya begitu. Aku belum siap untuk kehilanganmu. Perhatian-perhatianmu selalu aku rindukan.

Tapi, aku menyadari bahwa penyesalan itu tak ada lagi gunanya. Membiarkanku larut dalam kesedihan hanya akan menutup jalan orang lain yang telah menunggu untuk memasuki hatiku. Mengisi hari-hariku setelah kepergianmu.

Meratapi kepergian seseorang yang tak mencintaimu hanya akan membuatmu sakit. Akan lebih baik jika setelah kepergianya, kamu memperbaiki diri dan memantaskan diri. Agar kelak orang yang meninggalkanmu menyesal.

Kata-kata itu menguatkanku. Ya, aku akan berusaha bangkit. Aku akan menunjukan padamu bahwa hidup ini akan tetap indah meski tanpamu. Dan jangan pernah kembali padaku suatu saat nanti. Karena esok hari tidak akan kamu temukan sosokku yang dulu kamu kenal.

Esok hari aku telah berubah. Penyesalanmu dan kehadiranmu mungkin sudah tidak ada gunanya lagi. Karena aku sudah bangkit dari keterpurukan yang kamu ciptakan.

***

Menyikapi Kekurangan

Aku tidak tahu siapa yang akan menjadi pendamping hidupku esok. Karena memang itu rahasia langit yang sulit bagi kita untuk membuka tirainya. Tapi, satu hal yang aku tahu bahwa hari ini ada dirimu yang setia disampingku. Tugasku adalah membahagiakanmu yang telah memilihku menjadi pengisi hari-harimu dan juga hatimu.

Semua orang memiliki kekurangan dan kelebihan. Begitu juga dengan kita. Kita bukanlah manusia yang sempurna karena yang sempurna bukan manusia. Jangan pernah mempermasalahkan kekurangan yang kita miliki!

Aku akan menerima kekuranganmu seperti kamu menerima kekuranganku. Itu adalah cara yang sempurna untuk menyikapi kekurangan. Karena memang aku memiliki sebuah prinsip dalam menyikapi kekurangan:

Bisa saja orang yang kamu anggap sempurna ternyata lebih banyak memiliki kekurangan dibanding dengan seseorang yang kini ada disampingmu.

Itulah prinsip yang aku pegang. Memang, sesekali aku suka merasa iri dengan hubungan orang lain yang terlihat sempurna. Tapi, aku selalu berusaha membunuh semua perasaan itu dengan mengatakan bahwa Bisa saja mereka memiliki banyak kekurangan, namun mereka bisa menutupinya dengan cara yang indah.

Maka, saat aku menatap wajahmu untuk kesekian kalinya, aku hanya berharap kamu pun akan mau berusaha bersamaku menjadikan hubungan yang kita jalani menjadi sempurna diatas kekurangan masing-masing.

***