Minggu, 13 Desember 2015

Surat Cinta #8

Ibu...,

Nasihatmu adalah embun yang menyejukan.
Ridhamu adalah cahaya yang kan menemaniku dalam menapaki setiap langkah perjalanan hidup.
Doamu adalah kunci untuk membuka pintu-pintu langit.

Aku teringat dengan bekal yang engkau berikan padaku saat engkau melepaskanku untuk berjuang menjalani proses hidup jauh dari tempatmu berada. Bekal yang sempat aku lupakan tapi bekal itu ternyata tak basi sampai saat ini aku baru membukanya. Sebuah bekal hidup yang harusnya aku jadikan pegangan saat aku tak bisa lagi mendengarkan nasihatmu secara langsung.

"Berangkatlah! Melangkahlah! Pergilah! Ibu tidak bisa selalu berada di sampingmu, tapi percayalah bahwa ibu telah mempercayakan untuk menjaga dirimu pada doa. Di luar sana, bukan hanya kerikil yang akan mengahalangi setiap langkah yang akan kamu tempuh melainkan banyak batu-batu besar yang setiap saat akan menimpamu. Diluar sana, bukan hanya duri-duri kecil yang akan menghalangi setiap perjalananmu tetapi akan kau temukan juga paku-paku berkarat yang siap menusuk telapak kakimu. Di luar sana, bukan hanya kelelahan yang akan melemahkan perjuanganmu namun juga ada kebebasan yang dapat melenakanmu. Disana, di luar sana kamu akan menemui semuanya. Dan ibu tidak bisa mengingatkanmu saat ada batu besar yang akan menimpamu. Ibu tidak bisa mengingatkan saat ada paku-paku berkarat yang akan kamu injak. Ibu tidak bisa mengingatkanmu saat kamu terbawa arus kebebasan yang tak kenal batas. Tapi tenang saja, ibu akan selalu berdoa untukmu. Dari jauh, ibu akan memohon pada Yang Maha Kuasa agar senantiasa melindungimu. Kalau nanti di tempatmu berjuang akan ada 'batu besar' yang menimpamu, percayalah bahwa akan ada doa ibu yang menahan batu itu agar tidak menimpamu. Saat kakimu akan menginjak 'paku-paku berkarat' yang hendak menghentikan langkahmu maka doa ibu akan segera menyingkirkan 'paku-paku' itu. Saat engkau hendak terbawa arus yang tidak baik, doa ibumu juga akan menjadi penghalang setiap langkah itu. Memang, engkau tidak akan melihat bagaimana doa itu bekerja. Tapi percayalah, doa ibumu ini akan senantiasa berada di depan, di belakang, di samping dan di atasmu untuk senantiasa melindungimu.

Jangan pernah berhenti berbuat baik di tempatmu berada! Karena, doa ibumu tak selalu kuat untuk melindungimu. Untuk itu, ibu membutuhkan bantuan tenaga untuk melindungimu. Salah satunya yaitu dengan kebaikan yang kau tebarkan. Jangan sekalipun menyimpang dari kebaikan! Karena kalau saja itu terjadi, maka sama saja kamu melemahkan kekuatan doa ibu.

Pergilah bersama ridha ibumu! Melangkahlah dengan keikhlasan ibumu!
Ibu akan senantiasa menanti kabar bahagiamu." Itu adalah bekal yang engkau berikan padaku saat melepaskanku pergi untuk menjalani sesuatu yang engkau sebut proses hidup.

Aku kembali membuka bekal yang sempat aku lupakan saat hari ini aku merasakan kelelahan berjuang. Sampai aku tiba pada satu kesimpulan bahwa aku sudah jauh dari garis yang harusnya menjadi jalur hidupku. Aku terlalu banyak menyimpang. Aku tidak pandai BERSYUKUR.

Padahal, sebelum hari ini. Sebelum lelah ini. Betapa banyak kemudahan-kemudahan yang telah aku dapatkan. Betapa banyak kebahagiaan-kebahagiaan yang aku raih.

Keadaan demikian, justru membuatku terlena. Sampai aku lupa pada satu atau beberapa hal. Mungkin, kemudahan-kemudahan yang selama ini aku dapatkan adalah buah dari doamu yang telah mengubah kesukaran itu menjadi kemudahan.

Mungkin, kebahagiaan-kebahagiaan yang aku rasakan adalah buah dari doamu. Kekuatan doamu telah mengubah sesuatu yang harusnya menjadi duka namun berganti menjadi bahagia.

Tapi, justru keadaan itu membuatku lupa pafa pesanmu agar aku selalu berbuat baik pada sesama. Serta, aku lupa untuk senantiasa berbagi kabar denganmu.

Hingga akhirnya, hari ini aku berada di ujung lelah. Mungkin, ini juga cara doamu bekerja untuk menghentikan langkahku yang sudah terlalu jauh menyimpang.

Maafkan aku bu.

Kini aku sadar, bahwa segala sesuatu yang aku banggakan sebagai jerih payahku ternyata tidak lain adalah karena doa-doamu yang tak pernah berhenti mengalir.

Hari ini, aku ingin kembali memulainya dari titik awal perjuangan. Walaupun tidak mudah, namun setidaknya aku akan mencoba. Seperti katamu:

Perjuangan itu tidak ada yang mudah, di butuhkan sesuatu yang bukan sekedar niat. Untuk menggapai mimpimu, yang dibutuhkan bukan sekedar tekad melainkan tindakan dan ke istiqamahan. Maka, saat kamu menginginkan sesuatu, saat itu juga kamu harus siap berjibaku dengan halangan, rintangan, kesulitan dan semua yang akan menghambatmu dalam menggapai inginmu itu. Jangan pernah kamu kira bahwa tidak semua orang memiliki keinginan. Semua orang memiliki keinginan, cita-cita, mimpi, namun tidak semua berada persis seperti apa yang mereka impikan. Kebanyakan dari mereka telah memutuskan untuk berhenti berjuang saat sebenarnya jarak mereka dengan impian sudah dekat. Mereka sudah putus asa.

Ya, benar bu semua orang memiliki mimpi. Namun, tidak semua bisa mewujudkannya.

Orang yang tak pernah merasa lelah dalam berjuang tidak akan merasakan kepuasan. Katamu menutup nasihat malam itu.

Mungkinkah lelah ini adalah bagian dari perjuangan itu atau justru lelah ini adalah bentuk kekalahan?

Ah, aku teringat juga akah pesanmu. "Kamu memang harus berjuang sekeras dan secerdas mungkin, namun bukan berarti kamu bebas melanggar sesuatu yang sudah di tetapkan Tuhan. Karena, bisa saja, dengan kamu tidak berhasil menggapai mimpimu itu adalah yang terbaik menurut Yang Maha Kuasa. Mungkin Yang Maha Kuasa tahu bahwa jika kamu berhasil menjadi seperti apa yang kamu impikan maka kamu akan berubah dari sifat aslimu. Kamu akan menjadi orang yang sombong dan tamak. Maka, jika melihat dari sini, sesungguhnya perjuangan yang kamu anggap gagal sesungguhnya telah mencapai puncak keberhasilannya. Karena Tuhan tidak ingin kamu terjerumus pada hal yang tidak baik. Bukankah kamu sering menyaksikan watak seseorang yang berubah setelah segala sesuatunya mereka miliki? Namun, yang harus kamu ingat adalah bahwa kamu jangan pernah berhenti berjuang." Katamu saat aku mengeluh lelah dan malas.

Maka, hari ini aku harus mengakui bahwa perjuanganku ternyata belum dimulai bu.

Seperti katamu, setiap perjuangan tidak ada yang mudah.

Maka, jangan pernah khawatir dengan semua luka yang ada padaku. Sebab itu bagian dari perjuangan.

Jangan pernah mengkhawatirkan derita yang menimpa anakmu. Sebab itu bagian dari perjuangan.

Jangan merasa khawatir dengan dengan kesedihan yang aku alami. Sebab itu bagian dari perjuangan.

Jangan pernah khawatir dengan gundah dan kesedihan yang aku rasakan. Sebab itu bagian dari perjuangan.

Jangan khawatir bu...!

Anakmu ini adalah seorang pejuang yang mewarisi keteguhanmu.

Anakmu ini seorang petarung yang meneladani keberanianmu.

Harusnya, engkau bangga telah melahirkanku. Karena aku mewarisi kegigihanmu.

Ah, aku teringat dengan sebuah cerita yang pernah diceritakan oleh pencerita ulung dalam hidupku. Yakni dirimu. Ibu tidak keberatan kan kalau hari ini aku juga akan bercerita kembali? Lebih tepatnya menceritakan kembali ceritamu. Bukan, bukan untuk mengguruimu. Namun, hanya untuk sekedar mengingatkan ibu bahwa dulu ibu pernah bercerita. Cerita ibu telah menyulut api semangat dalam jiwaku. Jadi, semoga ibu tidak khawatir dengan bara semangat yang menyala-nyala di dadaku sebab itu karenamu. Cerita tentang 'Seekor Rajawali'. Ibu masih ingat dengan cerita itu? Cerita yang pernah ibu bagi padaku sebelum aku tidur. Dulu, saat engkau akan bercerita, pernah berujar begini "Ibu tidak bisa mengantarkanmu ke alam mimpi, semoga saja si Rajawali bisa mengantarkanmu".

Kurang lebih, ibu pernah bercerita begini :
Rajawali adalah salah satu hewan yang berumur panjang. Burung pemburu dan pemakan daging ini bisa hidup sampai usia tujuh puluh tahun.

Namun, jangan pernah kira bahwa Rajawali menjalani usia panjangnya dengan mudah. Di usia rajawali yang ke empat puluh tahun, dia mengalami perubahan pada fisiknya yang secara tidak langsung menurunkan produktivitasnya. Cakar yang biasa digunakan mencengkram mangsa kini sudah bengkok karena terlalu panjang. Hingga membuatnya tak mampu lagi mencengkram mangsa dengan kuat.

Paruh yang biasa dia gunakan untuk merobek-robek mangsanya, kini sudah melengkung sehingga sulit baginya untuk merobek makanan menjadi bagian-bagian kecil hingga membuatnya mudah dimakan.

Semua perubahan itu membuat rajawali kesulitan untuk menjalani hidupnya. Dia kesulitan untuk mencari mangsa bahkan untuk terbangpun dia tak sanggup.

Memang, jika kita melihatnya sepintas tentu tak terlalu nampak perubahan itu dari luar. Semua yang melihatnya dari luar akan mengira bahwa rajawali itu masih perkasa, masih sebagai predator yang menakutkan. Padahal, kenyataannya rajawali sedang merasa tersiksa dengan perubahan dalam hidupnya. Karena untuk makan pun dia sudah tidak sanggup lagi. Sesuatu yang sangat mengerikan. Namun, mereka yang melihatnya tak pernah tahu dan tak mau tahu. Mereka hanya menyimpulkan bahwa rajawali adalah burung yang perkasa.

Dalam keadaan seperti itu, rajawali dihadapkan pada dua pilihan. Memilih mati di separuh usianya atau berusaha bertahan hidup dengan sisa-sisa kemampuannya.

Kau tahu pilihan yang dipilih oleh rajawali?

Rajawali memilih untuk bertahan hidup dengan jalan yang amat menyakitkan.

Dengan sisa tenaganya, rajawali memutuskan untuk terbang ke puncak gunung yang sepi. Disana dia akan bersemayam. Melewati hari-hari yang menyakitkan selama kurang lebih lima bulan. Itu adalah waktu yang teramat lama untuk sebuah pertaruhan hidup dan mati.

Sesampainya di sebuah puncak gunung, dia mencari sebuah dinding batu yang biasa terdapat di atas pegunungan. Dia mematuk-matukkan paruhnya yang sudah bengkok itu pada dinding batu. Itu adalah hal yang mengerikan dan membuat ngilu jika kita menyaksikannya secara langsung. Darah segar mengalir dari sekitar paruhnya, namun rajawali tidak menyerah karena dia berpikir sekalipun paruhnya tidak dia patahkan itu akan menjadi hal yang percuma karena dia tak bisa makan dengan paruh yang bengkok. Akhirnya, setelah melewati proses yang amat menyakitkan itu, paruhnya berhasil dipatahkan. Rajawali harus menunggu beberapa hari agar muncul paruh barunya.

Setelah paruh barunya muncul, perjuangannya belum berakhir. Masih ada proses yang harus ia jalani. Prosenya pun tidak kalah mengerikan. Dengan paruh barunya, dia mencabuti kukunya yang mulai memanjang hingga ke akarnya. Darahpun tak bisa dibendung lagi. Jika kita menyaksikannya, kita akan dibuat menutup mata karena ketakutan. Itu seumpama kita menyayat kulit kita sendiri dengan pisau. Dan itu amat mengerikan. Dan setelah melewati proses yang mengerikan itu, kukunya berhasil dipatahkan semua. Rajawali pun harus menunggu waktu yang lama agar kukunya kemabli tumbuh dengan kuku baru.

Setelah itu, apakah perosesnya sudah selasai?

Belum.

Masih ada proses yang lebih menyakitkan lagi. Proses yang ketiga dari persemayamannya itu adalah mencabuti semua bulu yang ada di seluruh tubuhnya. Dia sangat telaten mencabuti satu per satu bulunya hingga tak tersisa.

Jika kita melihat keadaan burung rajawali saat itu, tentu kita tidak akan berpikir bahwa rajawali adalah burung yang menakutkan. Semuanya pasti akan meremehkan sang burung karena penampilannya seperti burung gundul. Bukankah pesona rajawali selain dari lengkingannya yang tajam, paruhnya yang juga tajam serta cakarnya yang kuat, burung rajawali juga terlihat gagah dengan bulu-bulunya. Namun, dia menanggalkan bulunya yang indah demi keindahan yang melebihi semua.

Akhirnya, setelah melewati masa lima bulan persemayaman, rajawali yang kemarin lemah, rajawalai yang kemarin diambang prustasi, rajawali yang sudah berada di gerbang kematian itu seolah terlahir kembali dengan tampilan yang baru.

Kini, dia sudah terbang mengangkasa dengan lengkingan yang menyayat urat mangsanya.

"Jadilah seperti Rajawali yang mau menjalani proses meskipun itu harus mengorbankan dirimu. Orang lain tidak pernah tahu dengan apa yang kau alami. Tapi engkau mengetahuinya. Orang lain tidak akan pernah mampu memberikan jalan keluar yang tepat untuk setiap masalahmu tapi kamu bisa. Kelak, kamu akan mengerti makna Rajawali yang ibu ceritakan hari ini." Katamu.

Aku hanya mengangguk waktu itu.

"Ya sudah lebih baik kamu tidur! Awas, nanti malah mencium tembok karena mengigau seperti rajawali yang sedang mematahkan paruhnya di dinding batu!" Tambahmu sambil tersenyum.

Aku hanya tersenyum dan menepuk jidatku. Ahh...

Apakah ibu masih ingat dengan cerita itu?

Pasti ibu sedang berpikir keras untuk mengingatnya. Karena terlalu banyak cerita yang pernah engkau bagi padaku hingga tak mungkin engkau mengingat satu per satu ceritamu. Apalagi itu adalah cerita yang engkau dongengkan di masa kecilku yang selalu memaksamu untuk bercerita.

Aku tidak tahu cerita itu bersumber darimana karena setelah itu aku juga mendengar beberapa orang yang menceritakan kisah yang hampir serupa. Yang aku tahu bahwa itu pernah keluar dari bibirmu dan mengendap di hati dan pikiranku. Itu saja.

Aku ingin menjadi rajawalimu, bu.

Yang tak pernah menyerah meski sudah berada di ambang prustasi bahkan di gerbang kematian.

Yang tak pernah menyerah meski harus berjibaku dengan rasa sakit dan siksa.

Benar katamu, bahwa orang lain tidak tahu dengan apa yang terjadi dalam diri kita. Orang lain hanya melihat apa yang nampak dari diri kita. Orang lain hanya akan menilai hasilnya bukan proses. Karena sejatinya, yang mengetahui proses itu ialah kita sendiri.

Jadi, ibu tidak perlu khawatir dengan keadaanku disini.

Percayalah, aku bercerita begini bukan karena mengeluh. Namun lebih kepada mengingatkanmu agar tak hentinya mendoqkan anakmu ini. Meski sebenarnya aku tahu bahwa doamu tak pernah berhenti meski tak pernah aku pinta sekalipun.

Ah, aku baru teringat sesuatu. Bahwa ternyata, setelah mendengar cerita ibu tentang rajawali sebelum tidur, aku malah mengigau. Bukan mencium tembok seperti yang engkau takutkan. Tapi aku justru memotong kukuku.

Dan saat aku terbangun, engkau senyum-senyum sendiri menatapku yang baru bangun.

"Kamu tidur sudah seperti orang cacingan, tidur kok sambil gigit kuku kaki. Apa tidak ada lagi cara mengigau yang lebih menarik buat dipandang?" Katamu meledekku.

Aku menyadari bahwa ternyata aku mengigau setelah mendengar ceritamu.

"Memang ada mengigau bisa milih-milih." Kataku ketus karena ledekannmu.

Dan engkau tertawa melihat wajahku yang kesal.

Ah, aku rindu masa-masa itu.

***

Minggu, 06 Desember 2015

Namamu Akan Tetap Abadi

Apa yang hendak dibanggakan lagi dari sebuah hubungan jika sudah hilang kepercayaan diantara kita? Apakah masih bisa disebut sebagai cinta? Entahlah aku sendiri ragu untuk menjawabnya.

Sedari awal, aku sudah menegaskan bahwa hubungan yang kita jalin tak akan mudah di jalani jika tak ada kepercayaan. Sebab, cinta kita memang terpisahkan jarak. Maka, untuk mempertahankan hubungan itu tidak lain ialah dengan kepercayaan.

Untuk menjalani hubungan yang terpisahkan jarak, kita akan sering dipaksa untuk menjadi seseorang yang kejam dengan selalu membunuh setiap rindu yang muncul tidak tepat waktu. Setiap hari kita harus memupuk kesabaran untuk bisa bertemu.

Hanya orang-orang yang kuat saja untuk menjalaninya. Dan nyatanya kita tak mampu untuk menjalaninya.

Beginilah jadinya. Hubungan hanya di isi dengan perselisihan-perselisihan untuk hal-hal yang sepele. Engkau akan dengan mudah untuk mencurigai. Kenapa kamu tidak pernah bisa bersabar untuk sebentar saja? Kenapa kamu memilih untuk meninggalkanku hanya karena kita tak bisa saling bersama? Kenapa memilih pergi dengan mengatakan aku tak serius? Apakah hanya karena aku mementingkan kepentinganku dan memilih tetap berada jauh darimu itu sudah menjadi alasan untuk mengatakan bahwa aku tidak serius?

Ah, andai saja engkau mau sedikit saja bersabar tentu semuanya tidak akan seperti ini.

Ada hal yang harus kamu tahu, meskipun sudah terlambat namun tidak ada salahnya aku tetap memberitahu. Disini, aku hidup dalam siksaan karena harus tega membunuh setiap rindu yang mulai tumbuh. Pada malam yang sepi, aku selalu menyusun rencana-rencana masa depan yang akan kita jalani. Bahkan, aku sudah memutuskan sebuah keputusan yang besar, yakni akan tinggal tak jauh dari tempatmu berada dan meninggalkan kepentinganku ditempat ini. Tanpa pernah engkau tahu. Karena aku pikir aku akan memberikan sebuau kejutan kepadamu.

Tapi, lagi-lagi kamu tidak bisa bersabar sebentar saja. Setidaknya sampai semua urusanku disini selesai dan memulai hidup baru ditempat yang sama ditempatmu berada.

Tapi sudahlah! Semuanya sudah terlanjur. Kamu sudah menentukan pilihan. Aku bisa apa selain menerima semua keputusanmu. Jangan tanya perasaanku! Sebab, aku sudah tidak bisa menjelaskan apa-apa tentang perasaanku selain rasa sakit.

Cita-cita sederhanaku agar bisa bersanding denganmu dalam ikatan suci sudah aku hapus dari seluruh catatan rencana masa depanku.

Keinginanku untuk bisa mencintaimu sampai suatu saat nanti aku melihat uban pertama di kepalamu pun sudah aku hilangkan dari angan-angan bahagiaku. Kepergianmu sudah merenggut semua angan itu.

Tadinya, aku berpikir bahwa aku akan segera memperkenalkanmu pada orang-orang terdekatku. Tadinya, aku kira aku akan berbangga hati dengan mengatakan pada mereka bahwa engkaulah bidadariku. Engkaulah malaikat ketiga dalam hidupku. selain dua malaikat pencatat amal baik dan buruk, engkau akan menjadi malaikat ke tiga yang akan mengingatkanku untuk tetap bahagia, engkau akan mengingatkan ku untuk bersyukur saat nendapat kebahagiaan dan engkau akan mengingatkan saat aku berada dalam kesalahan.

Aku kira semuanya akan indah. Tapi ternyata engkau tak bisa bersabar untuk sebentar saja.
Tapi, percayalah! Meskipun engkau tak lagi bersama denganku. Namun cintaku masih untukmu sampai aku menemukan seseorang yang tulus mencintaiku. Namamu akan abadi dalam setiap puisi yang aku tulis. Cinta kita akan tetap abadi dalam setiap lembaran-lembaran sejarah masa lalu.

Terimakasih telah menjadi bagian dari bahagiaku.

***

Surat Cinta #7

Ibu...,

Sengaja aku menulis namamu pada setiap permulaan surat ini. Bukan tanpa alasan. Sebab, bagiku dengan mengingatmu cukup untuk memberikan banyak inspirasi. Saat menyebut namamu, maka saat itu pula lah kenangan-kenangan yang pernah tercipta diantara kita menari-nari di pikiranku. Engkaulah sumber inspirasi yang tak pernah habis.

Seperti yang pernah aku katakan bu, entah sampai kapan surat ini akan berakhir. Karena aku sendiri pun tak bisa menahan tangan ini untuk menuliskan semua kenangan, pelajaran dan kerinduan. Rasanya, aku tak pernah menginginkan suratku ini sampai pada ujungnya. Sebab, dengan aku memaksakan surat ini berakhir itu sama saja dengan aku mengubur semua yang pernah engkau bagi denganku. Entah itu cerita, pelajaran, maupun teladan. Aku tidak ingin kebahagiaan yang aku alami terkubur begitu saja tanpa pernah ada yang tahu.

Aku ingin agar dunia tahu bahwa aku adalah anak yang bahagia telah memiliki ibu sepertimu.

Aku ingin membantu menyadarkan semua anak yang pernah, sedang atau akan membenci ibunya bahwa ibu adalah sosok yang istimewa. Agar mereka tak pernah menyesal sebab belum membahagiakan ibu mereka. Meski aku sendiri belum pernah membahagiakanmu.

Aku juga ingin berbagi cerita kepada mereka yang kurang beruntung hingga tak sempat berjumpa dengan ibunya. Bukan untuk membuat mereka bersedih yapi untuk meyakinkan mereka bahwa dimanapun ibunya berada pasti selalu menyayangi mereka.

Semoga saja, ibu bisa menjadi inspirasi bagi ibu-ibu di luar sana yang tak pernah memperdulikan anaknya. Sebagaimana aku terinspirasi untuk menulis surat ini karenamu.

Semoga....

Bu, tadi pagi aku meneteskan air mata.

Tapi tenang saja bu, itu bukan air mata kesedihan, melainkan air mata kerinduan.

Air mataku menetes karena melihat seorang ibu yang berlari menuju ke sekolah anaknya yang masih duduk di sekolah dasar. Ketika ditanya apa alasannya sampai dia berlari sebegitu rupa,
Ibu itu menjawab "Topi sekolah anakku ketinggalan. Hari ini hari Senin, saya takut anakku di hukum gara-gara tidak memakai topi." Katanya dengan nafas masih memburu.

Bagi sebagian orang mungkin itu adalah hal yang biasa dan sepele. Tapi tidak bagiku.

Dulu, ibu juga pernah melakukan hal yang serupa dengan apa yang ibu tadi lakukan. Dan itu membuatku tidak mendapatkan hukuman karena tak memakai topi. Maka, saat aku melihat seorang ibu yang melakukan seperti tadi, bayanganku langsung terlintas pada wajahmu. Padahal, jarak dari sekolah ke rumah kita lebih jauh dari pada jarak si ibu tadi dengan sekolah anaknya.

Dulu, aku juga menganggap hal yang dilakukan ibu adalah sepele. Tapi, saat melihat wajah ibu tadi aku berpikir lain. Aku melihat bagaimana ekspresi si ibu saat akan mengantar topi yang ketakutan dan ekspresi setelah mengantar topi yang sangat bahagia. Dia bahkan lupa dengan nafasnya yang terburu.

Ah, ibu memang sosok yang luar biasa. Engkau bahkan sangat peduli dengan hal-hal kecil pada anakmu yang kadang terlupakan.

Aku jadi teringat saat-saat pertama kali aku berpamitan untuk memulai hari menjadi anak sekolah. Aku melihat raut wajahmu yang berubah-ubah. Kadang terlihat sedih, bahagia bahkan ketakutan.
Awalnya aku tidak tertarik untuk menerjemahkan arti dari raut wajahmu itu.

Namun, hari ini aku ingin menerjemahkan arti raut wajahmu.

Saat aku mencium tanganmu di gerbang sekolah engkau tampak bahagia sebab engkau menyadari bahwa anak yang beberapa waktu lalu masih dalam gendongau ternyata kini telah menggendong tas sekolah yang lebih besar dari badannya. Dalam hatimu berharap bahwa kelak anakmu akan menjadi seseorang yang mampu mengangkat derajatmu, menjadi kebangganmu. Engkau menaruh harapan dalam dadamu agar kelak anakmu menjadi orang yang berguna.

Saat aku mencium punggung tanganmu di gerbang sekolah untuk pertama kali, dan aku melihat gurat kesedihan. Aku tahu, dalam hatimu memang ada kesedihan. Selama anakmu berada di sekolah, maka engkau akan merasa kesepian. Tak ada lagi anak kecil yang sering membuatmu jengkel namun sering juga membuatmu tertawa karena tingkahnya. Engkau bersedih karena saat emgkau mwlwpas anakmu di gerbang sekolah, itu artinya engkau juga melepas sebagian waktu yang biasa engkau habiskan bersama anakmu.

Saat aku mencium tanganmu dan mulai melangkahkan kaki ke kelas maka aku menyaksikan raut ketakutan di wajahmu. Engkau takut anakmu yang masih kecil itu belum mampu mengikuti semua pelajaran di sekolah yang sukar, meski ketakutanmu berlebihan. Engkau juga takut anakmu yang baik itu akan terbawa pergaulan yang tak baik hingga membuat harapanmu padanya hilang. Dan yang paling penting yang engkau takutkan adalah setelah anakmu masuk bangku sekolah maka hanya menghitung waktu saja anakmu akan segera berada di tempat yang jauh darimu. Meski sebenarnya masih lama namun engkau sudah merasa takut akan kehilangan sosok anakmu.

Benar kan bu apa yang aku ungkapkan?

Tentu engkau akan menganggukkan kepala sambil mengusap cairan bening di sudut matamu. Karena itu semua aku tahu dari perempuan-perempuan yang baru saja mengalami hal yang demikian. Dan itu juga mampu membuat hatiku bergetar.

Ah, tiba-tiba saja aku merasa bersalah terhadapmu.

Engkau adalah orang yang paling perhatian dengan semua kebutuhanku. Namun, aku sering mengabaikan perhatian-perhatianmu.

Dulu, saat aku hendak sekolah, pagi sekali ibu sudah bangun hanya untuk menyiapkan sarapan pagi untukku sebelum sekolah. Engkau ingin agar anakmu ini bisa fokus belajar tanpa merasa lapar. Namun, lagi-lagi aku sering mengabaikan ajakan sarapanmu. Aku sering mengabaikan makanan yang tersaji di atas meja makan. Aku memilih untuk berangkat ke sekolah tanpa pernah menyentuh makanan yang engkau siapkan. Padahal, engkau sudah bersusah payah menyiapkan semuanya. Tapi, aku tak pernah tahu diri.

Konon, seorang ibu akan bersedih jika anaknya tidak sarapan pagi saat hendak ke sekolah. Bukan karena usahanya untuk menyiapkan sarapan tidak di hargai anaknya namun justru seorang ibu bersedih karena takut anaknya merasa lapar di sekolah.

Ah, ibu memang seorang malaikat. Alih-alih menggerutu karena usahanya yang tak di hargai tapi justru malah mengkhawatirkan anaknya. Dan setelah itu, seorang ibu akan menatap makanan yang tersaji di meja makan yang belum di sentuh anaknya. Selera makan seorang ibu akan hilang karena memikirkan anaknya yang bisa saja kelaparan di sekolah.

Bu, apakah memang begitu kenyataannya?
Kenapa ibu tidak pernah menegurku dan memberitahu akan hal ini?

Mungkin, aku bisa sedikit saja menghargai usahamu untuk bangun pagi dan menyiapkan sarapan untukku. Aku juga mungkin tidak membuatmu khawatir.

Itu hanya hal-hal kecil saja. Masih banyak hal-hal besar yang kadang membuatmu harus mengelus dada oleh tingkah anakmu ini. Untuk hal-hal kecil saja aku masih abai dengan perasaanmu.

Alih-alih memarahi anakmu, engkau justru memberiku motivasi agar terus semangat bersekolah dan mengejar cita-cita.

Aku masih ingat saat awal-awal masuk sekolah aku sempat mogok dan tak mau melanjutkan. Namun, engkau dengan kelembutan terus membujukku. Seperti biasa, engkau akan mengeluarkan jurus ampuhmu yakni bercerita.

Satu cerita yang masih aku ingat sampai saat ini setelah beberapa tahun berlalu. Mungkin, ibu sudah lupa dengan cerita ini tapi aku akan selalu mengingat semua ceritamu.

Aku tidak tahu siapa yang membuat cerita ini, karena setelah beberapa tahun berlalu aku juga mendengar beberapa cerita yang hampir sama. Namun, yang aku tahu bahwa cerita ini pernah engkau ceritakan padaku.

Sekedar untuk mengingat saja, aku ingin berbagi cerita yang pernah ibu ceritakan padaku. Kurang lebih begini:

Di sebuah negeri, ada seorang janda yang tinggal di pinggiran kota dengan seorang anak laki-lakinya yang sedang duduk dibangku sekolah. Sang ibu bersusah payah bekerja siang dan malam tanpa henti seolah lupa untuk istirahat untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sekolah anaknya.

Satu hari, ibu ini menderita sakit rematik akut. Penyakit itu membuatnya sulit berjalan, apalagi untuk bekerja.

Satu saat, sekolah si anak mengeluarkan kebijakan yang mengharuskan muridnya membayar 30 kilogram beras sebagai pengganti biaya sekolah.

Mendengar kebijakan sekolah yang seperti itu, si anak dan ibunya sangat kaget. Mana mungkin dengan kondisi saat ini bisa memenuhi kewajiban sekolah?

Namun, sang ibu tetap tegar dan akan terus menyekolahkan anaknya. Tapi, justru si anaklah yang merasa kasihan dengan keadaan ibunya. Dia merasa ibunya pasti tidak akan sanggup memenuhi kewajiban sekolah. Mencari satu karung beras setiap bulan bukan perkara mudah bagi keluarga tersebut. Apalagi dengan sakit yang diderita, ibunya tidak mungkin bisa bekerja di sawah orang untuk mendapatkan sekarung beras yang dipinta sekolah.

Anak ini pun mengajukan diri pada ibunya untuk berhenti sekolah. Namun, sang ibu menjawab " ketika ibu sanggup menyekolahkanmu, itu berarti ibu yang akan menyiapkan segala sesuatunya. Ibu tidak setengah hati untuk menyuruhmu sekolah. Kau harus menjadi orang yang berhasil. Jangan cengeng! Jika benar-benar ibusudah tidak mampu, pasti ibu akan mengatakannya padamu."

Mendengar jawaban ibunya,si anak tak bisa menolak. Dia pun bertekad untuk berskolah sungguh-sungguh agar tidak mengecewakan ibunya.

Hari berganti hari. Dan tibalah saat semua orang tua mengumpulkan beras iuran sekolah. Semua beras dari orang tua harus di tuangkan di hadapan petugas sekolah. Ketika tiba karung si ibu dibuka, tampaklah beras yang sedikit kotor dan nampak itu adalah beras lama tidak sesuai dengan keinginan sekolah.

Melihat hal tersebut, petugas sekolah pun kesal pada si ibu. "Hai ibu, kami sudah memberikan yang terbaik pada anakmu. Mengapa engkau berikan beras seperti ini untuk sekolah anakmu? Bulan depan berikan yang terbaik!" Hardik petugas sekolah. Si ibu sedikit bersedih sebab hardikan pihak sekolah.

Bulan berikutnya pun tak jauh berbeda. Si ibu masih memberikan beras yang tidak bersih bahkan banyak yang masi dalam bentuk gabah. Pihak sekolah pun semakin kesal pada si ibu dan mengancam akan mengeluarkan si anak jika si ibu masih membeeikan beras yang sama pada bulan depan.

Bulan ketiga, si ibu pasrah dihadapan pihak sekolah dengan menyerahkan beras yang kulaitasnya lebih buruk dari bulan kemarin. Petugas sekolah yang sudah habis kesabaran akhirnya membawa si ibu kehadapan kepala sekolah dan guru senior.
Dihadapan kepala sekolah, si ibu ibu mengatakan dengan tersedu-sedu bahwa semua beras yang diserahkan kepada pihak sekolah adalah hasil mengemis hanya agar anaknya bisa tetap sekolah. Bahkan si ibu juga menunjukan kakinya yang bengkak akibat rematik kronis kepada kepala sekolah.

Melihat kondisi demikian, pihak sekolah pun merasa iba pada si ibu. Akhirnya, pihak sekolah membebaskan si ibu dari menyetor beras kepada pihak sekolah. Apalagi, anaknya adalah siswa yang berprestasi.

Si ibu tentu sangat bersyukur, namun dia juga mengajukan permintaan kepada pihak sekolah agar anaknya jangan pernah diberitahu tentang kejadian ini. Dia tidak mau anaknya menjadi sedih, malu, dan konsentrasi belajarnya terganggu. Dengan syarat tersebut, pihak sekolah pun menyetujuinya.

Beberapa tahun kemudian, tibalah saatnya sang anak lulus dan di wisuda. Pada kesempatan yang berbahagia itu, tampak ada yang aneh dari dekorasi aula sekolah yang dipakai untuk acara perpisahan dan wisuda, yakni ada tiga buah karung besar.

Ketika kepala sekolah memberikan sambutan, sambil menitikan air mata, ia berkata "Hadirin yang saya hormati dan anak-anak yang saya cintai, hari ini merupakan hari bahagia bagi kalian semua karena telah berhasil menyelesaikan salah satu tahap pembelajaran dalam dunia pendidikan. Kita ucap syukur kepada Tuhan karenaNya kita bisa menjadi saat ini. Juga kepada orang tua yang sudah bersusah payah membiayai, membimbing kalian setiap harinya. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan apresiasi, penghargaan, kehormatan kepada seorang ibu, orang tua murid yang telah berjuang keras menyekolahkan anaknya dengan tiga karung beras ini, beras yang diperoleh dengan susah payah setiap hari."

Lalu, pada kesempatan itu, kepala sekolah memanggil si ibu tadi maju ke depan dan menerima ungkapan tanda kasih dari sekolah. Melihat sang ibu maju ke depan, tiba-tiba sang anak berlari dan menubruk ibunya, memeluknya dengan erat sambil menangis tersedu-sedu. Kejadian tersebut menjadi sangat mengharukan dan membuat seisi ruangan aula turut menangis.

"Begitulah nak, jangan pernah menyerah. Syukurilah semua kesempatan yang kamu miliki saat ini. Karena tidak semua orang mampu berada di posisimu. Di luar sana, banyak sekali yang cemburu dengan apa yang sedang kamu keluhkan. Jangan pernah mengeluh hanya karena lelah, jangan menyerah hanya karena kesulitan. Di luar sana banyak sekali anak seusiamu yang sedang berlelah-lelah bahkan lebih lelah darimu bukan untuk sekolah namun untuk mencari nafkah. Mereka dipaksa keadaan untuk tidak berada di bangku sekolah. Di luar sana masih banyak anak seusiamu yang lebih sulit. Bukan karena sulit mengikuti pelajaran atau mengerjakan tugas-tugas sekolah. Mereka justru kesulitan untuk sekedar mencari sesuap nasi. Mereka kesulitan untuk sekedar membiayai hidupnya sendiri karena mereka hidup sebatang kara. Jangan pernah menyerah!" Katamu menutup cerita.

Waktu itu aku hanya mengangguk lemah.

"Bagi orang tua, tidak ada yang lebih membanggakan selain melihat anaknya bahagia. Semua orang tua menitipkan nama baiknya pada seorang anak. Jika anaknya baik, maka orang tua akan terbawa baik. Jika anaknya tidak baik, maka orang tua lah yang pertama menanggung malu. Jika anaknya berprestasi, percayalah bahwa orang tua akan menjadi orang yang pertama memberikan tepuk tangan yang paling keras untukmu." Tambahmu.

Aku menatap wajahmu dan engkaupun menganggukan kepala seraya tersenyum.

Sebegitu besarkah pengorbanan seorang ibu untuk ananya?

Kenapa aku tidak pernah peka terhadap semuanya.

Tiba-tiba saja aku teringat saat aku mendapatkan prestasi di sekolah. Tapi hari itu ibu tidak tepuk tangan saat yang lain memberikan tepuk tangan. Bukankah kata ibu, ibu akan menjadi orang yang pertama untuk memberikan tepuk tangan yang paling keras?

Justru aku melihat ibu berada di pojok. Hanya berdiri tanpa memberikan tepuk tangan bahkan tersenyum pun tidak. Yang aku lihat justru engkau beberapa kali mengusap air mata di pipimu dari jauh aku melihat bola matamu yang memerah sembab dan engkau sibuk mengusap air mata yang meronta untuk jatuh di pipimu.

Bagiku, itu lebih mengharukan daripada tepukan tangan yang paling keras sekalipun.

Kebiasaan Baruku

Kita adalah sepasang kekasih yang unik. Dengan latar belakang yang berbeda, dengan kepribadian yang berbeda dan tentu dengan hobi yang berbeda. Tapi, kesamaan rasa mampu menyatukan cinta. Aku tidak memahami bagaimana cinta bekerja menyatukan perbedaan diantara kita. Yang aku tahu, saat ini aku merasa bahagia menjadi bagian dari hari-harimu.

Selain itu, kita juga memiliki kesibukan masing-masing yang kadang membuat kita sulit memilih waktu untuk bertemu selain hari libur. Kita akan menghabiskan waktu yang kita miliki dengan aktivitas yang membahagiakan. Kita akan melakukan apa saja seolah tak ada lagi hari esok.

Akhirnya, aku memiliki kebiasaan yang baru setiap hari yakni menghitung tanggal. Berharap akan segera di pertemukan dengan hari libur. Lebih tepatnya dipertemukan denganmu.

Meskipun kita memiliki banyak hobi yang berbeda namun kita memiliki satu hobi yang sama yakni berpetualang.

Kita akan menghabiskan hari libur kita dengan mengunjungi tempat-tempat yang indah. Dari mulai pegunungan, pantai, dan tempat-tempat indah lainnya. Sebelum akhirnya kita kembali ke rutinitas masing-masing.

Kamu kembali pada rutinitasmu. Aku kembali pada rutinitas dan hobiku. Salah satu hobi yang aku lakukan saat kita saling berjauhan adalah memikirkanmu,membayangkan senyummu, sampai aku tersenyum sendiri.

Begitulah kita. Hubungan kita tak pernah membosankan. Semoga saja selalu begitu.

***

Sabtu, 05 Desember 2015

Kadang Memang Lucu

Kadang lucu ya jika kita mengingat kembali perjalanan cinta kita.

Awalnya, kita adalah dua orang yang tak pernah saling mengenal. Kita memang sering ketemu tapi tidak ada yang aneh dengan pertemuan kita. Aku selalu tersenyum, engkau pun selalu tersenyum saat kita berpapasan. Itu adalah hal wajar yang biasa aku lakukan kepada orang-orang yang aku temui. Kita juga hanya saling menyapa sekadarnya saja sebagaimana yang biasa dilakukan pada orang lain. Bahkan, untuk beberapa kali kita juga pernah saling acuh.

Tapi, kenapa tiba-tiba kita bisa hidup bersama sebagai sepasang kekasih?

Aku tidak tahu siapa yang menyemai benih cinta diantara kita. Yang aku tahu, benih-benih itu telah mengakar dalam hati. Setelah itu, cerita kita menjadi berubah.

Senyum yang senantiasa kita bagi bukan lagi senyum biasa tapi senyum bahagia. Senyum yang selalu membuatku rindu. Begitupun sapaan kita. Kadang, aku sering tak bisa tidur hanya karena seharian belum mendengar suaramu. Sebegitu hebatkah cinta yang telah tumbuh diantara kita?

Kita banyak menghabiskan waktu berdua saja. Mencuri-curi kesempatan hanya untuk bertemu. Hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya. Kadang, aku juga tak bisa tidur hanya karena belum bertemu denganmu sehari saja.

Tapi, cerita itu kini tinggal kenangan. Benih cinta yang tumbuh diantara kita ternyata tak mampu bertahan saat musim berubah.

Memang, kita masih berusaha untuk saling tersenyum saat kita bertemu. Namun semuanya terasa hambar. Sapaan kita pun rasanya seperti tak ikhlas terucap. Hingga akhirnya kita seolah menjadi dua orang yang tidak saling mengenal. Apakah memang cinta hanya sebuah siklus?

Kadang memang lucu jika mengingat semuanya. Tapi, mengingat apa yang pernah kita jalani berdua kadang membuatku harus mengusap lelehan air mata di pipiku.

Ya begitulah, cinta memang tak pernah masuk akal. Karena memang sejatinya cinta adalah perkara hati yang tak bisa diterjemahkan akal.

Kini, aku menyadari banyak hal prihal cinta.
Saat kita memutuskan jatuh cinta maka saat itu kita juga harus berdamai dengan duka. Cinta tak selalu berujung pada ikatan serius sebuah pernikahan. Karena, cinta juga hadir hanya untuk mengajarkan kita kedewasaan, melatih kita dalam duka dan kesedihan. Agar kelak saat kita sudah bersama orang yang tepat kita tak akan melakukan kesalahan-kesalahan yang berujung pada kesedihan karena cinta. Agar kelak kita bisa menghargai seseorang yang tulus mencintai kita karena kita pernah merasakan bagaimana rasanya ketulusan yang tak dihargai.

Sebenarnya, yang membuatku kecewa dan bersedih bukan karena caramu meninggalkan atau keputusanmu yang memilih pergi. Namun, yang membuatku merasa kecewa adalah dengan caramu mencintaiku. Cintamu sangat menggebu-gebu di awal waktu, janjimu banyak yang kau umbar seolah benar-benar tulus mencintaiku namun semuanya menjadi hambar, semuanya menjadi dingin.

***

Minggu, 29 November 2015

Mengintip Masa Depan

Aku, kamu, atau kita semua tidak ad yang mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan. Kita tidak tahu bagaimana kita akan hidup di masa depan. Kita tak tahu bagaimana perjalanan kita di masa yang akan datang.

Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi satu jam, satu menit bahkan satu detik setelah ini. Kenapa?

Karena memang tak perlu. Biarlah itu semua menjadi rahasia Tuhan. Rasanya, hidup juga tidak akan menarik lagi untuk dijalani saat kita sudah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Untuk apa? Bukankah kita sudah yakin dengan masa depan kita?

Saat orang mengetahui masa depan masing-masing tentu kita sudah terbayang reaksi masing-masing orang. Yang mendapati masa depannya akan bahagia tentu mereka akan selalu tersenyum setiap hari. Sedangkan, mereka yang mendapati masa depannya penuh kemalangan mungkin sedang berada di tepian jembatan untuk mengakhiri hidup. Untuk apa hidup juga jika sudah tidak ada harapan lagi untuk bahagia?

Begitulah memang, masa depan akan tetap menjadi rahasia.

Tapi, hari ini aku ingin membisikan sesuatu padamu. Ini adalah rahasiaku.

Aku bisa mengintip masa depan.

Pasti kamu akan mengernyitkan dahi dengan kata-kataku. Bukankah aku sendiri yang mengatakan bahwa kita tak bisa dan tak perlu mengetahui masa depan?

Ya, memang betul kita tak perlu mengetahui masa depan. Tapi,  aku memang bisa mengintip masa depan.

Bagaimana caranya?

Melalui matamu. Pada bening bola matamu aku melihat masa depanku yang akan bahagia. Pada genggaman tanganmu semakin membuatku yakin dengan dugaanku.

Saat melihat bening bola matamu, aku sudah memastikan bahwa masa depanku akan bahagia. Selama tanganmu masih menggenggam erat maka aku bisa memastikan bahwa masa depanku akan bahagia.

Percayalah, bahagia bukan berarti menjalani hidup tanpa ada halangan dan rintangan. Semua perjalanan hidup akan menemui hambatan. Tapi, semua tergantung kita menyikapinya.

Maka, jangan pernah engkau berpikiran untuk melepaskan genggaman tangan ini. Yakinlah selama kita saling berpegangan, masalah yang akan kita hadapi akan menjadi sumber kebahagiaan untuk kita.

Jangan pernah membiarkan matamu berpaling menatap wajah yang lain. Percayalah, kita akan menatap masa depan yang indah. Kita akan bisa menemukan kebahagian-kebahagian pada setiap masalah yang kita hadapi.

Atau kita akan membuat bahagia kita sendiri. Dengan cara kita sendiri.

Genggamlah tanganku! Dan kita mulai melangkah untuk menapaki kehidupan kita dimasa yang akan datang. Menyingkap rahasianya dengan senyuman tulus.

Kita akan sama-sama membuktikan bahwa dugaanku terhadap masa depan kita adalah benar. Selama kita saling berpegangan, maka tak akan ada seorang pun yang berani merusak indahnya masa depan kita.

***

Surat Cinta #6

Ibu...,

Ah, aku selalu saja senang menyebut namamu.

Kali ini, rasanya aku rindu sekali berada di sampingmu. Namun, perjalanan hidup atau engkau menyebutnya proses hidup memaksaku untuk tidak berada di sampingmu.

Beberapa saat yang lalu aku baru saja berbagi cerita dengan sahabat-sahabatku. Setelah itu, tiba-tiba saja aku rindu berbagi cerita denganmu. Membahas hal-hal kecil atau tentang berita yang sedang dibacakan oleh penyiar televisi saat kita sama-sama menonton TV. Tapi, lebih seringnya kita atau lebih tepatnya ibu berbagi cerita tentang kenakalan-kenakalanku waktu kecil. Setiap ibu menutup cerita masa kecilku yang nakal ibu selalu menutup dengan candaan yang sampai sekarang sering membuatku tersenyum sendiri.

"Waktu kecil, kamu tidak ada lucu-lucunya. Yang ada malah selalu bikin ibu kesel. Untung, kamu anak ibu, kalau bukan pasti kamu sudah jadi pepes orok." Katamu diakhiri dengan tertawa yang juga membuatku tertawa.

Ah, aku rindu saat-saat kita berbagi cerita. Bagiku, selain seorang ibu yang paling baik sedunia engkau juga pendongeng ulung yang pernah ada dalam masa kecilku.

Selalu banyak cerita yang keluar dari bibirmu. Terutama tentang memaknai kehidupan ini.

Bu, hari ini, ibu melihat berita televisi tidak?

Hari ini, aku melihat beberapa berita yang membuatku bergidik. Ada ibu yang tega membunuh anaknya karena rewel, ada ibu yang menelantarkan anaknya, ada anak yang disiksa ibunya. Dan masih banyak lagi berita serupa.

Bu, apa pendapat ibu jika ada yang seperti itu?

Apakah mereka memang belum siap menjadi ibu?

Kini, aku tahu bahwa memang mengurus seorang anak itu tidaklah mudah. Apalagi mengurus anak nakal dan rewel sepertiku. Kalau saja Tuhan tidak menakdirkan aku sebagai anakmu mungkin benar bu bahwa aku telah mennjadi "pepes bayi".

Kini, aku mulai mensyukuri hal-hal yang aku anggap sepele. Seperti aku tidak pernah bersyukur terlahir dari rahimmu. Dari rahim seorang ibu yang benar-benar tulus mencintaiku. Padahal di luar sana banyak sekali ibu yang jangankan mencintai dengan tulus justru mereka tega merampas hidup anaknya sendiri.

Aku juga tidak pernah bersyukur di lahirkan dari rahim seorang ibu yang memiliki segudang kasih sayang yang tak pernah habis. Sementara di luar sana banyak sekali ibu yang jangankan menyayangi anaknya, mereka justru dengan tega menyiksa darah dagingnya sendiri.

Akhirnya, aku percaya dengan kata-katamu dulu :

"Ibu tidak bisa mewariskan harta yang banyak padamu. Ibu tidak bisa memanjakanmu dengan harta. Ibu juga tidak terlalu memiliki ilmu yang banyak hingga bisa memberimu banyak pengetahuan. Tapi, percayalah bahwa ibu memiliki cinta kasih yang bisa ibu wariskan padamu. Ibu memiliki ilmu kasih sayang, kesabaran, ketabahan dan senyum yang akan selalu ibu ajarkan padamu. Harta, Ilmu, dan semua pengalaman lainnya bisa kamu dapatkan di luar suatu saat nanti. Tapi, percayalaha kamu tidak akan mendapatkan pelajaran kasih sayang yang tulus selain dari ibumu." Katamu pada suatu malam dna dengan kebiasaanmu mengelus rambutku saat itu aku belum memasuki bangku sekolah.

Awalnya,aku kira itu hanyalah alibimu karena kita memang berasal dari keluarga yang sederhana. Tapi, kini aku menganggap lain nasihatmu itu. Ternyata kita bukan keluarga sederhana. Kini, aku menemukan hal lain bahwa kasih sayang adalah kekayaan yang sesungguhnya yang tak pernah ternilai.

Itu baru aku sadari saat aku menemukan kenyataan bahwa orang yang mengatakan cinta ternyata tak selalu benar-benar cinta. Orang yang mengatakan sayang tak selalu tulus. Selalu saja ada maksud lain yang tersembunyi.

Bahkan, untuk beberapa kasus yang pernah aku lihat. Ternyata kebanyakan cinta dan kasih telah mati dalam hati manusia. Apa mungkin mereka tak mendapatkan 'warisan' kasih sayang dari ibu mereka dulu?

Bu, apakah yang ibu rasakan saat mendengar ada seorang bayi yang dibunuh oleh ibunya?

Tentu, ibu akan lebih bergidik daripadaku.

Ah, aku ingat pada pertanyaan konyolku saat ibu menceritakan kenakalan-kenakalanku.

"Apakah ibu pernah kesal atau marah saat aku nakal dan rewel?" Tanyaku polos.

Seperti biasa, satu senyum mengembang di bibirmu. Lalu termenung sebentar. Berusaha mengingat dan sesekali tersenyum lagi sebelum berbicara.

"Nak, ibu hanyalah manusia biasa. Tentu ibu pernah merasa kesal dan marah. Namun ibu berusaha untuk tidak melampiaskan marah ibu padamu, apalagi sampai memukulmu. Tangan ibu tidak sanggup untuk melakukan itu. Bahkan, untuk marah pun ibu tidak sanggup." Engkau diam sejenak dan tersenyum. Menatap wajahku yang mulai serius memperhatikan.

"Dengarlah nak, saat ibu marah rasanya yang sakit justru hati ibu. Saat ibu hendak memukulmu justru ibu sendiri yang merasa ketakutan. Kau tau kenapa?"

Aku yang masih polos hanya menggeleng.

" Karena kamu adalah darah daging ibu. Kalau ibu marah padamu itu sama saja ibu sedang memarahi diri ibu sendiri. Maka, saat ada yang membuatmu bersedih dan kecewa tentu ibulah yang pertama merasakannya. Kelak, engkau akan membuktikan keterikatan anatara dirimu dan ibu. Satu hal yang juga paling penting kenapa ibu tidak pernah melampiaskan marah ibu padamu, karena ibu tidak ingin mengajarkanmu mengumbar amarah... ." Engkau membiarkan kata-katamu menggantung di langit-langit rumah. Seperti biasa engkau mengelus kepala anakmu yang masih kecil dan polos. Itu semacam ritual agar apa yang engkau sampaikan meresap kedalam kepalaku.

Dan kemarin-kemarin saat aku jatuh sakit di tanah rantau engkau melemparkan pertanyaan dari seberang sana yang membuatku kaget.

"Kamu sakit nak?" Katamu di ujung telepon. Tentu saja aku merasa kaget karena aku tidak pernah mengatakan bahwa aku sedang sakit.

"Tidak." Kataku dengan berbohong.

"Kamu bisa membohongi siapapun tapi tidak akan pernah mampu membohongi ibumu." Katamu dengan tegas dari ujung telepon.

"Meskipun ibu tidak melihatmu tapi ibu bisa merasakannya." Tambahmu.

Tentu, aku tidak bisa mengelak lagi. Karena aku sadar bahwa aku adalah darah dagingmu. Hati dan perasaanku juga dibentuk dari air susumu. Itulah mungkin yang membuat keterikatan jiwa diantara kita benar-benar ada. Bahkan kita memiliki rasa yang sama.

Itulah mungkin sebabnya agama dan medis menyarankan agar semua bayi harus mendapatkan ASI. Agar terjalin keterikatan antara ibu dan anak.

Pada suatu kesempatan engkau pun pernah bertutur seperti ini,

Kemarahan adalah salah satu penyakit gila. Semua orang yang mengikuti kemarahannya akan membabi buta melakukan apa saja. Namun, semua kemarahan yang seperti itu hanya berujung pada penyesalan.

Mungkin, itu jugalah yang terjadi dengan para ibu yang tega membunuh atau menyiksa anaknya.

Bu, hari ini aku benar-benar mensyukuri nikmat terbesar yang aku lupakan. Aku bersyukur bahwq aku terlahir dari ibu yang luar biasa sepertimu.

Meski aku selalu menyusahkan namun engkau selalu menghadiahiku dengan senyuman.

Meski aku sering membuat kesalahan namun engkau selalu memberikanku semangat untuk berubah pada kebaikan.

Ah, tiba-tiba saja aku teringat dengan dongeng yang pernah engkau ceritakan dulu. Mungkin, ibu sudah lupa dengan cerita ini tapi aku masih mengingatnya denga jelas. Baiklah, hari ini kembali aku akan belajar menjadi pendongeng seperti ibu. Semoga kelak, aku juga bisa berbagi cerita dengan anak-anakku tentang dongeng-dongengmu. Dan ibu, ibu akan menjadi pendengar dongengku yang pertama agar ibu bisa menilai apakah aku sudah pantas untuk berbagi cerita dengan anak-anakku.

Aku ingin menceritakan kembali apa yang pernah ibu ceritakan padaku dulu. Dulu, ibu pernah bercerita begini :

Dahulu kala, di kaki pegunungan ada sebuah desa yang amat subur dan makmur. Rakyatnya pun sejatera. Awalnya, desa tersebut sangat aman dan tentram. Namun, keadaannya berubah saat ada segerombolan perampok yang meneror desa tersebut. Hasil pertanian dan peternakan dari desa yang subur tersebut amat tersohor hingga ke tanah yang jauh. Dan keadaan tersebut justru mendatangkan tamu yang tak di undang yakni segerombolan perampok.

Pada suatu malam, para perampok tersebut beraksi menjarah harta, hasil panen dan ternak warga. Tidak hanya itu, perampok juga menculik seorang bayi berumur sepuluh bulan. Dahulu, bayi laki-laki sangat laku untuk di jual dengan harga yang mahal karena bisa di jadikan budak jika sudah besar. Atau di jual pada orang tua yang menginginkan anak pada pernikahan mereka.

Para perampok tersebut membawa bayi mungil itu ke salah satu pegunungan yang melingkari desa yabg kondisinya sangat sulit untuk ditempuh dan dipenuhi semak belukar serta hewan-hewan buas.

Kepala desa dan penduduk yang lain bertekad untuk merebut kembali bayi yang di culik perampok. Kalau hanya harta yang di rampok tentu kita bisa mengikhlaskannya tapi kalau bayi yang diculik maka kita harus merebutnya, kata kepala desa dengan berapi-api. Maka, dibentuklah beberapa kelompok dari jumlah warga yang hadir yang akan berpencar menyusuri gunung yang di duga tempat bersembunyi para perampok.

Namun, belum sampai setengah perjalanan mendaki, mereka sudah tersesat di tengah hutan belantara. Semua anggota kelompok yang semuanya laki-laki desa itu kembali ke balai desa dengan tangan hampa.

Setelah menyusun rencana yang lebih matang, kelompok kedua pun berangkat mendaki dengan misi yang sama. Namun, saat mereka telah melewati setengah pendakian semuanya lari pontang panting karena banyak binatang buas yang menghalangi jalan mereka. Akhirnya, kelompok kedua pun kembali dengan tangan kosong.

Karena sudah banyak yang terluka dan kelelahan maka kepala desa tidak bisa memaksa dan hanya mengajak warga yang masih mampu saja untuk menyisir gunung yang di maksud. Mereka semuanya berpencar dan akan bertemu di satu tiitk yang telah di tentukan. Namun, setelah dilakukan penyisiran pun hasilnya tetap tidak bisa menemukan jejak perampok tersebut. Akibatnya, semua warga sudah banyak yang putus asa untuk mencari si bayi yang di culik.

Di tengah kesibukan yang melanda desa. Justru ada sebuah keanehan. Penduduk merasa heran karena mereka sudah mati-matian mencari namun sang ibu bayi justru tidak kelihatan bahkan seolah tenang-tenang saja di rumahnya.

Ketika hari menjelang sore dan warga sudah putus asa hendak membubarkan diri dari balai desa, tiba-tiba dari ujung desa tepatnya dari kaki gunung nampak seorang ibu turun menyusuri gunung menuju ke balai desa. Pakaian si ibu itu lusuh, tangan, kaki, bahkan wajahnya penuh dengan luka. Bahkan di beberapa bagian nampak masih menetes darah segar seperti gigitan binatang.

Tentu,hal tersebut membuat kaget semua warga, bagaimana mungkin seorang perempuan bisa mendaki ke gunung yang merupakan belantara dan di penuhi binatang buas. Sedangkan laki-laki saja semuanya menyerah karena tak sanggup. Bahkan, yang lebih mencengangkannya lagi perempuan itu menggendong seorang bayi yang di culik perampok yang bengis. Semua warga melontarkan pertanyaan yang sam bagaimana bisa melakukannya? Perempuan itu berusaha tersenyum dan dengan tenang dia menjawab "Ini adalah anak saya". Kata si ibu sambil mencium bayinya yang tertidur pulas dipelukannya.

Begitulah cerita yang pernah engkau kisahkan padaku dulu. Engkau mengatakan bahwa itu hanyalah cerita dongeng. Namun, entah kenapa aku merasa bahwa itu adalah cerita itu adalah sungguhan. Dan aku pun menyimpulkan bahwa perempuan itu adalah engkau. Bukankah desa kita juga subur dan di kelilingi bukit barisan yang indah?

Tapi terlepas dari itu aku selalu percaya bahwa cintamu lebih dari apapun. Aku juga masih ingat dengan kata-katamu saat mengakhiri cerita itu.

"Begitulah cinta seorang ibu, bahkan mereka rela mempertaruhkan nyawa demi anaknya."

Aku setuju. Bahkan, bukankah saat engkau juga telah menaruh separuh nyawamu di pintu surga saat hendak melahirkanku? Antara hidup dan mati.

Lalu, engkau menutup cerita malam itu dengan sebuah kata penuh makna :

Di dunia ini tidak ada yang bisa mengalahkan kekuatan cinta keculi kekuatan Tuhan yang Maha Cinta. Sedangkan, cinta sejati adalah cinta yang tak pernah mengharapkan balasan dari orang yang menerima curahan hati,cinta dan kasih kita. Dan itu ada pada seorang ibu. Maka, mulailah untuk belajar menebarkan cinta kasih dalam hidupmu!

Ah, tiba-tiba kerinduan ini kian membuncah untuk kembali bertemu denganmu dan berbagi cerita langsung denganmu. Bercerita tentang apa yang telah engkau ceritakan padaku di waktu kecil.

Akhirnya, aku hanya bisa merapalkan doa untuk kebahagiaanmu.

Sekali lagi, aku bersyukur telah dilahirkan dari rahim seorang ibu yang telah membesarkanku dengan cinta kasih bukan dengan siksa dan amarah.

Semoga engkau tetap menunggu kepulanganku. Aku sudah merindukan untuk berbagi kisah dan merasakan masakanmu.

Karena hari ini pun aku yang bercerita. Berarti nanti saat aku pulang pun harusnya aku yang memasak untukmu. Kini aku sudah siap dengan ledekanmu padaku tentang masakan yang pernah aku buat.

"Kamu masak sayur apa masak garam? Asin banget. Jangan-jangan sudah kepingin nikah." Itu adalah ledekan yang pernah keluar dari bibirmu. Responku saat itu hanya nyengir dan menepuk jidat. Lalu engkau tertawa . Aku pun tertawa.

Ibu pasti juga sedang tersenyum sekarang dengan tingkah anakmu yang semakin aneh ini. Tapi, tak apa pepatah juga mengatakan Buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Jadi...? hehehe

***

Senin, 23 November 2015

Surat Cinta #5

Ibu...,

Maafkan aku bu.
Maafkan aku bu.
Maafkan aku.
Aku memang anak yang durhaka.

Pasti ibu kaget kan dengan apa yang aku ucapkan?
Pasti ibu merasa aneh kan dengan semua ucapan itu?

Tidak mengapa bu. Ibu pantas merasa kaget dan keheranan dengan apa yang aku katakan barusan. Karena memang sebelumnya kata-kata seperti itu tak pernah keluar dari bibirku.

Hari ini, aku merasa berdosa sekali. Harusnya, kata-kata seperti itu aku ucapkan di hadapanmu langsung sambil bersimpuh atau dengan mencium tanganmu yang suci. Bukan justru melalui surat ini.

Bu, aku baru menyadari hari ini. Bahwa aku adalah anakmu. Yang keluar dari rahimmu dengan pertaruhan nyawamu sendiri. Bukan. Bukan berarti kemarin aku tidak mengakuimu sebagai ibuku.

Tapi, hari ini aku menyadarinya dengan keutuhan hati.

Mungkin, ibu bertanya-tanya dalam hati. Apa gerangan yang membuat anakmu ini menjadi aneh. Tidak mengapa bu. Aku akan dengan senang hati menjelaskannya.

Begini bu:

Hari ini, temanku yang juga sedang berada jauh dari tanah kelahirannya. Jauh dari orang tuanya sedang bersedih. Bahkan, aku melihat di sudut matanya ada linangan bening air mata. Lantas, sebagai teman tentu saja aku berniat untuk menghiburnya. Karena dugaanku pasti karena masalah cinta.

"Kau kenapa?" Tanyaku.

Dia hanya menggeleng. Itu tidak seperti biasanya. Dia selalu terbuka denganku.

"Kau kenapa? Masalah cinta lagi? Mulai kapan kau menjadi cengeng hanya karena cinta?" Kembali aku bertanya dengan sedikit meledeknya.

"Tidak. Bukan karena itu." Jawabnya dengan suara lemah.

"Lantas, kenapa kau bersedih?"

Di hanya diam tak menanggapi.

Aku menatapnya serius. Menunggu jawaban.

"Sudah beberapa hari ini, aku tidak mendengar kabar dari orang tuaku. Di SMS tidak ada balasan di telepon pun tidak aktif." Tuturnya tetap dengan nada yang lemah.

"Hahaha..." Aku tertawa mendengar jawabannya. "Aku kira masalah apa. Dasar anak mamah, baru beberapa hari saja tidak mendapat kabar dan tidak mendengar suaranya saja sudah sedih. Kau ini laki-laki, tidak perlu lah berlebihan seperti itu!" Ledekku.

Dia menatapku tajam. Itu membuatku sedikit kikuk.

"Terserah kau mau berkata apa." Tukasnya dengan malas.

Aku diam.

"Kau menyebut aku anak mamah atau anak manja sekalipun aku tidak peduli." Tambahnya lagi dengan nada yang serius.

Lagi-lagi aku tidak menanggapinya. Karena aku tahu tidak ada gunanya.

Dia mengusap air mata di sudut matanya.

"Bagiku, ibuku tetaplah ibuku. Sekalipun aku telah tumbuh dewasa atau bahkan mungkin saat aku telah menjadi orang tua aku tetaplah seorang anak bagi ibuku. Maka, aku wajib tahu kabar orang tuaku terutama ibu. Aku harus memastikan bahwa ibuku selalu sehat dan selalu baik-baik saja. Untuk saat ini, mungkin aku belum bisa membahagiakan mereka. Tapi, seperti anak-anak yang lain, semua anak pasti bercita-cita untuk membahagiakan orang tuanya. Meskipun orang tua tak menuntut untuk itu. Bagi mereka, melihat anaknya sudah bahagia saja mereka sudah senang. Tidak mengapa jika orang mengatakan bahwa aku anak yang manja meskipun telah bertumbuh dewasa. Karena memang begitu adanya. Aku bisa saja menjadi dewasa dan bersikap tegas jika berhadapan dengan orang lain. Tapi dengan ibu, aku tidak bisa. Tetap saja aku hanyalah anaknya yang manja. Maka, sangat penting bagiku untuk sekedar mendengar suaranya, mengetahui kabarnya. Untuk memastikan bahwa orang tuaku baik-baik saja... ." Dia menghentikan sejenak kata-katanya untuk sekedar menarik nafas panjang.

Aku. Aku hanya diam. Kata-katanya telah membuatku membisu. Aku tak menyangka kalau kawanku yang selalu terlihat dewasa itu akan berkata demikian.

"Disini, aku asyik dengan duniaku. Aku menikmati proses perjalanan hidupku. Hingga tak terasa umurku kian bertambah. Tapi, di sisi lain umur orang tuaku juga bertambah dan usia mereka berkurang. Aku tidak pernah tahu kapan Tuhan akan memanggil orang tuaku. Yang aku tahu hal itu pasti akan terjadi. Siap atau tidak siap, mereka pasti akan dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Yang aku takutkan bukan kepergian mereka. Justru, yang aku takutkan adalah aku tak sempat membuat mereka bahagia di masa tuanya. Aku tak sempat membahagiakan mereka di akhir usianya. Atau bahkan aku tak sempat membahagiakan mereka seumur hidupnya. Jika sampai hal itu terjadi maka sudah dipastikan bahwa hidupku akan sulit. Salah satunya karena penyesalan. Maka, penting bagiku untuk mengetahui kabar mereka. Mereka sudah sering sakit-sakitan. Dan aku takut sekarang pun mereka dalam keadaan sakit karena tak bisa di hubungi. Walau aku selalu berpikir bahwa ibuku akan selalu baik-baik saja. Kedua orang tuaku sudah renta, harusnya aku bisa menemani mereka. Berada di samping mereka dan melayani mereka sebagaimana mereka selalu memenuhi keingianku... ." Kata-katanya terhenti. Kini yang terdengar darinya hanyalah isakan yang tertahan.

Aku tak kuasa untuk tidak ikut menitikan air mata. Bukan semata-mata karena terharu dengan kata-katanya. Tapi lebih dari itu aku menangisi diriku sendiri.

Tiba-tiba saja wajah ibu berkelebatan di pikiranku. Lengkap dengan gambar diri yang selalu membangkang.

Beberapa hari yang lalu, ibu sempat meneleponku namun tidak aku angkat. Karena aku sedang sibuk dengan duniaku. Aku tidak ingin di ganggu. Sampai beberapa kali hpku berdering namun tak pernah aku hiraukan.

Kalau memang ada yang penting nanti juga kirim pesan. Atau kalau sekedar ingin menanyakan kabar bukankah baru kemarin sore ibu menelpon. Atau juga hanya sekedar menanyakan 'apakah aku sudah makan?'. Aku bukan lagi anak kecil yang harus selalu di atur-atur. Pikirku.

Sebelumnya, aku juga pernah terpaksa menerima teleponmu karena hpku tak pernah berhenti berdering. Aku hanya menanggapi setiap pertanyaan ibu dengan malas dan bahkan dengan nada yang marah sebab merasa terganggu. Mungkin, ibu juga merasakannya. Sebab, beberapa kali engkau menghentikan perkataanmu saat aku menaikan suaraku. Aku yakin disana pasti ibu sedang mengelus dada menahan sakit hati akibat sikapku.

Aku selalu saja merasa terganggu jika ibu sering menelponku. Bagiku, perhatian ibu padaku terlalu berlebihan.

Tapi, hari ini. Saat aku mendengar apa yang dikatakan sahabatku tiba-tiba saja hatiku terbuka. Betapa durhakanya diriku.

Temanku selalu berharap dan gelisah jika tak mendengar suara ibunya. Sementara aku, aku selalu menghindar dan mengacuhkan setiap panggilan darimu.

Ternyata, aku sudah terlalu jauh dalam bersikap. Aku telah lupa dari mana aku berasal.

Maafkan aku bu.

Tiba-tiba saja, aku teringat dengan kenakalan-kenakalanku. Jangankan untuk membahagiakanmu. Yang ada justru aku hanya membuatmu susah dan membuatmu menitikan air mata kecewa.

Dulu, saat aku kecil. Aku pernah tidak makan beberapa hari hanya karena permintaanku tidak kau penuhi. Namun, engkau selalu dengan sabar mengetuk pintu kamarku. Merayuku untuk makan. Engkau akan terus sabar merayuku. Dengan mengusap-usap rambutku engkau membujukku dan berjanji akan memenuhi permintaaanku.

Saat menginjak remaja, aku juga sering marah padamu hanya karena engkau tak menuruti permintaanku. Aku tidak menjawab saat engkau bertanya. Aku tidak berkata-kata saat kita sama-sama berkumpul makan atau menonton televisi. Aku tidak pernah mencium tanganmu saat pergi ke sekolah. Aku selalu memasang muka masam sebagai bentuk protesku terhadapmu sampai akhirnya engkau luluh untuk menuruti keinginanku.

Dan masih banyak lagi tingkahku yang membuatmu bersedih.

Aku memang selalu egois. Dengan memaksamu menuruti keinginanku. Namun aku tak pernah menuruti keinginanmu. Apalagi mengerti keadaanmu.

Yang aku tahu, engkau adalah orang tuaku dan harus memenuhi semua kebutuhanku sebagai anakmu. Tanpa pernah aku berusaha untuk menyelami kedalaman hatimu. Berusaha mengerti dengan keadaan.

Aku tidak tahu bagaimana caramu memenuhi kebutuhanku. Yang aku tahu, semua keperluanku terpenuhi.

Bahkan, sampai aku beranjak dewasa pun aku tak pernah peduli denganmu. Aku lebih sering berada di dunia maya daripada berada di sampingmu.

Tapi, engkau tak pernah benar-benar marah padaku. Tapi aku tidak pernah menyadari ketulusanmu.

Hingga kini, aku berada jauh darimu pun selalu saja perhatianmu tak pernah hilang. Walaupun lebih sering di kecewakan olehku namun engkau tak pernah untuk tidak perhatian padaku.

Tapi, aku tak pernah menyadarinya.

Yang aku tahu, aku telah berada jauh darimu. Bebas melakukan apapun tanpa harus mendengar ocehanmu. Tanpa harus sering mendengar petuah-petuahmu.

Tapi ternyata aku salah.

Temanku telah mengingatkanku.

Sejauh apapun aku pergi. Aku tetaplah anakmu.

Maafkan aku bu. Yang tak pernah membuatmu bahagia.

Apakah ibu tidak menyesal melahirkan anak durhaka sepertiku?
Yang hanya bisa menyusahkanmu saja.

Aku teringat beberapa bulan yang lalu saat aku jatuh sakit disini. Ibu selalu menceramahiku di ujung telepon. Sehari pun ibu bisa beberapa kali meneleponku hanya untuk mengingatkan ini dan itu. Sampai akhirnya aku merasa risih.

"Bu, aku sedang sakit. Aku butuh istirahat bukan ceramah. Bagaimana aku bisa istirahat jika setiap empat jam ibu selalu menelponku?!" Kataku dengan sedikit membentak.

Di ujung telepon aku mendengar nafas ibu yang tertahan. Mungkin saat itu ibu sedang mengelus dada berusaha menahan emosi. Dengan sedikit tersedu-sedu ibu mengakhiri telepon. Aku tahu pasti disana ibu menangis karena ucapanku.

Maafkan aku bu.
Aku memang anak durhaka.

Engkau yang selalu khawatir terhadap anakmu sedangkan anakmu ini tak pernah sekalipun peduli denganmu.

Engkau adalah orang pertama yang paling khawatir saat aku jatuh sakit. Engkau akan melakukan ini dan itu agar anakmu ini segera sembuh. Engkau melakukan apa saja agar anakmu sembuh.

Bahkan, pernah sekali aku mendengar. Saat aku tergolek sakit, engkau pernah berkata lirih;

Ya Tuhan, daripada anakku yang sakit. Lebih baik aku saja yang sakit. Katamu.

Sampai saat itu pun aku belum mampu menangkap makna pengorbananmu. Aku belum menangkap makna cinta yang kau berikan. Hatiku masih terbutakan.

Yang aku tahu, ibu adalah orang yang paling cerewet. Yang selalu sering melarang.

Saat engkau jatuh sakit. Aku hanya melakukan hal yang sewajarnya saja. Tak benar-benar aku merasa gusar seperti gusarnya engkau saat aku sakit.

Bahkan, aku tak mampu sampai berdoa pada Tuhan agar memindahkan sakit yang ibu derita padaku.

Maafkan aku bu.

Saat temanku bersedih sebab tak bisa menghubungi ibunya aku justru membuatmu bersedih karena aku selalu menolak untuk engkau hubungi.

Jangankan untuk menanyakan kabar ibu.
Menanyakan apakah ibu sudah makan atau belum.
Untuk mengangkat telepon saja aku masih ogah-ogahan karena aku berpikir terlalu sering ibu menghubungiku.

Padahal, harusnya aku tahu. Ibuku tetaplah ibu. Selamanya akan memiliki keterikatan batin yang kuat.

Maafkan aku bu.
Semoga saja engkau berkenan untuk memaafkan kedurhakaan anakmu ini.

Kini, aku benar-benar merindukanmu. Merindukan suaramu.
Merindukan senyummu.

Semoga Tuhan selalu memberikan kebahagiaan pada ibu.

***

Jumat, 20 November 2015

Surat Cinta #4

Ibu...,

Hari ini, saat kembali aku menulis surat ini.

Rasanya, hari-hariku belakangan teramat sangat melelahkan. Aktivitas yang menguras tenaga ternyata juga telah menguras emosiku. Aku merasakan lelah selelah-lelahnya. Kakiku seolah sudah tak sanggup lagi menopang berat badanku sendiri. Jiwaku seolah sudah terlepas dari raga dengan sendirinya sampai aku tidak merasakan kehadiran diriku sendiri. Entahlah.

Tiba-tiba saja, saat aku berada dalam kondisi seperti yang aku rasakan, disudut yang lain yang masih tersisa dalam diri yakni hatiku. Aku merasakan kerinduan pada sosokmu yang berada jauh disana.

Biasanya, jika aku sedang berada dalam kondisi terlemahku engkau akan selalu bersedia menyediakan bahumu untukku. Engkau akan menyediakan kupingmu guna mendengarkan keluh kesahku. Padahal, aku tahu saat engkau memberikan bahumu untuk tempatku bersandar pada bagian bahu yang lain engkau pun sedang memikul beban yang lebih berat dari apa yang aku rasakan. Namun, sekali lagi engkau tetap bersedia membiarkan bahumu sebagai tempatku bersandar. Hanya aku saja memang yang tak tahu diri. Aku juga tahu, saat kupingmu mendengarkan seluruh keluh kesahku dan otakmu mencerna setiap keluhku nmaun disisi yang lain otakmu sedang berusaha memecahkan masalahmu yang lebih rumit dari masalahku. Tapi, engkau memilih tetap mendengarkanku. Hanya aku saja yang tak tahu diri dengan terus membebanimu dengan masalah tanpa pernah aku bertanya apakah engkau juga memiliki masalah.

Engkau tak kan segan untuk memberi masukan terhadap masalah-masalahku.

"Setiap masalah yang datang. Setiap masalah yang menghampiri itu adalah bagian dari proses pendewasaan. Semakin banyak masalah yang kamu hadapi maka akan semakin cepat pula kamu menjadi dewasa." Begitulah kat yang sering kudengar dari bibirmu.

Hari ini, saat aku merasakan lelah yang yang teramat sangat akibat masalah yang datang silih berganti membuatku rindu berada di sampingmu. Menyandarkan kepalaku di bahumu. Menceritakan keluh kesahku. Meski usiaku telah melewati dua dekade namun ternyata aku tak terlalu tangguh untuk tidak mengeluh.

Bu, bolehkan hari ini aku berkeluh kesah kepadamu seperti dulu saat masih menjadi kanak-kanak?

Aku yakin, meski aku tidak sedang berada di hadapanmu pasti engkau sedang mengangguk sambil tersenyum seperti kebiasaanmu.

Ah, engkau memang tak pernah menolak semua keinginan anakmu meski aku sering membuatmu kecewa. Sering membuatmu menangis akibat kenakalan-kenakalanku. Kini, aku merasa menjadi manusia paling berdosa di muka bumi ini. Telah membuat malaikat yang selalu setia menjaga surgaku menangis adalah dosa terbesar. Dan itulah yang sering aku lakukan.

Bu, tadinya aku kira seiring bertambahnya usia maka orang akan menjadi semakin dewasa. Ternyata, anggapanku terpatahkan oleh diriku sendiri. Menjadi dewasa itu ternyata amat sangat sulit. Mudah untuk di ucapkan namun sukar untuk dilaksanakan. Kedewasaan itu bersifat relatif. Kadang, di satu sisi kita telah merasa menjadi seseorang yang dewasa dengan mampu mengatasi persoalan yang di hadapi. Namun, di sisi yang lain kita seperti seorang anak kecil yang sering ceroboh dan terburu-buru dalam memutuskan suatu perkara. Lagi-lagi aku menyadari kebenaran kata-katamu dulu :

Kedewasaan bukan di ukur dari usia.

Memang, aku sering mendengar kata-kata itu dari orang lain, namun bagiku kata-kata itu adalah mantra yang hebat sebab pernah di ucapkan olehmu.

Bu, tadinya aku mengira bahwa aku lebih tahu tentang diriku. Tentang, kemampuanku, tentang kedewasaanku, tentang jalan hidupku. Seperti yang pernah engkau katakan:

Kamu akan mendengar banyak cerita. Kamu akan melihat banyak kejadian. Tapi, tak perlu kamu terpaku pada apa yang kamu lihat dan yang kamu dengar. Cukup ambil pelajarannya dan rasakan dalam hatimu. Sebab, kamu juga akan membuat cerita hidupmu sendiri, kamu yang lebih tahu jalan hidupmu sendiri.

Ya,aku kira memang begitu. Tapi ternyata ada yang lebih tahu tentang diriku yang Dia yang menguasai hidup dan matiku. Aku meupakan pesan terpenting yang pernah engkau sampaikan.

"Jangan lupakan Tuhan!" Itu adalah pesan terakhirmu saat melepaskanku pergi ke tanah yang jauh.

Pesan terakhir justru adalah pesan yang aku lupakan hingga aku menemui jalan buntu sebab mengikuti keegoanku. Hingga hari ini, aku berkeluh kesah kembali padamu sebagai anak yang manja. Pasti engkau juga akan memberikan saran yang selalu engkau berikan padaku saat aku berkeluh kesah.

"Jangan pernah lupa untuk mengadukan setiap masalahmu pada Tuhan. Selain pada ibumu. Sebab, manusia hanya bisa mendengarkan. Sedangkan Tuhan akan melengkapinya dengan solusi terbaik." Itu adalah kata yang sering engkau katakan setelah aku berkeluh kesah padamu.

Namun, aku yang terlalu bodoh kadang sering di butakan oleh keadaan hingga aku lupa padaNya.

Bu, aku tidak ingin segera mengakhiri kesempatan ini. Menceritakan seluruh masalahku padamu.

Bolehkan bu?

Ah,itu hanya pertanyaan sia-sia sebenarnya. Sebab, aku sudah tahu bahwa engkau tidak pernah menolak keinginan anakmu yang tak tahu diri ini.

Bu, tiba-tiba saja aku teringat satu pesanmu tempo hari:

Carilah bahagiamu sendiri. Kemanapun itu. Seperti apapun itu. Carilah!
Tapi, satu hal yang perlu diingat bahwa dalam pencarian itu harus ada batasnya. Jika kamu sudah lelah dengan pencarianmu akan kebahagiaan maka tengoklah di kedalaman hatimu! Jika kamu sudah lelah dan tak kunjung menemukan kebahagiaanmu maka kamu tidak perlu lagi mencari kebahagiaan. Setelah itu, gantilah pencarianmu pada yang lain yakni mencari makna syukur.

Aku yang terlalu bodoh ini pernah melupakan kata-kata yang pernah engkau ucapkan itu. Hingga akhirnya, hari ini saat aku telah lelah dengan kehidupanku mencari kebahagiaan hidup. Aku teringat kembali pada pesanmu itu. Beberapa saat yang lalu, aku merenungi kata-katamu itu. Mencari saripati yang bisa aku cerna dalam diri.

Bu, aku pernah dibutakan dengan apa yang namanya harta, tahta, wanita. Ah, itu adalah yang engkau takutkan dalam kehidupanku tapi akhirnya aku mengalami itu semua. Aku di buat lelah oleh ketiganya. Aku dibuat lemah oleh ketiganya. Aku di buat rendah oleh ketiganya. Aku di buat hina oleh ketiganya. Aku bahkan dibuat jatuh oleh ketiganya sampai aku merasakan sakit yang amat sakit. Hingga aku tersadar bahwa aku telah melewati batas yang seharusnya untuk mengejar itu semua. Aku telah melakukan apa saja untuk mendapatkan itu semua. Ambisiku berlebihan untuk mengejar itu semua. Namun, hanya kekecewaan saja yang aku dapatkan. Kebahagiaan yang aku cita-citakan tak sedikitpun aku peroleh.

Akhirnya, aku menyerah pada keadaan. Merenungi setiap apa yang aku lakukan dan teringat kembali pesan-pesanmu. Saat aku telah lelah mencari kebahagiaan akhirnya aku menengok kedalaman hatiku. Adakah kebahagiaan yang aku rasakan. Seperti saranmu dulu. Ternyata tidak ada. Aku tidak menemukan setitikpun kebahagiaan padahal aku telah mati-matian mencarinya bu. Akhirnya, aku memutuskan untuk mencari makna syukur seperti pesanmu.

Ternyata, benar bu, saat aku mencari makna syukur sedikit demi sedikit aku melihat kebahagiaan di hati. Dengan menerima semua yang ada dan mengusahakan sewajarnya lalu mensyukurinya lagi maka aku telah melihat kebahagiaan di hatiku.

Bu,seiring perjalan waktu. Aku terus bertumbuh. Usiaku bertambah. Aku sendiri kadang ragu apakah aku bisa menjadi dewasa sesuai keinginanmu.

Sementara, engkau semakin bertambah tua. Tak mungkin aku terus membebanimu dengan masalahku. Sedang, sekalipun aku tak pernah mendengar keluh kesahmu.

Bu, semoga suatu saat aku bisa banyak belajar darimu. Tentang kedewasaan sikap.

Aku tiba-tiba saja teringat akan sosokmu terakhir kali saat melepasku pergi. Engkau yang seolah tidak rela melepas kepergianku. Tadinya, aku kira itu hal yang berlebihan. Tapi ternyata, aku menangkap hal lain bahwa saat itu engkau sebenarnya ragu melepas anakmu yang manja ini ke dunia yang lebih luas dimana permasalahan yang di hadapi pun lebih kompleks. Engkau khawatir anakmu tidak bisa bersikap dewasa di tanah orang. Walau akhirnya, engkau mengembangkan senyum di bibirmu pertanda hatimu telah yakin bahwa anakmu ini akan mampu menjalani semuanya.

Aku baru menyadari itu semua saat ini. Maafkan aku anakmu yang tak tahu diri ini bu.

Ah, tiba-tiba saja aku teringat masa kecilku yang penuh dengan kenakalan-kenakalan. Yang sering membuatmu terpaksa mengelus dada menahan emosi. Padahal, urusanmu bukan sekedar mengurusiku. Masalahmu lebih banyak. Pikiranmu harus tercabang-cabang memikirkan semuanya bersamaan. Memikirkan sekolahku, uang jajanku, kebutuhanku, makananku. Meskipun ayah yang mencari nafkah namun engkau yang mengatur semuanya. Sebab, aku tahu pendapatan ayah tidak seberapa hingga engkau harus memutar otak untuk mengatur semuanya agar terpenuhi.

Untuk sekolahku, engkau tidak selalu ingin anakmu merasakan hal yang sama seperti anak-anak yang lain. Lebih tepatnya, aku yang selalu meminta agar engkau menuruti semua keinginanku seperti anak-anak yang lain.

Untuk uang jajanku, engkau tidak ingin uang jajanku kurang atau tidak sama dengan anak-anak yang lain. Walau lebih tepatnya aku yang selalu meminta agar uang jajanku sama dengan yang lain. Engaku selalu menuruti keinginan anakmu yang nakal ini.

Untuk kebutuhanku, engkau selalu mengutamakannya. Sebab, aku selalu ingin agar kebutuhanku terpenuhi tanpa pernah tahu apakah engkau sanggup memenuhinya atau tidak tapi engkau selalu mengusahakannya.

Untuk makan pun engkau tak ingin sembarangan untuk anakmu. Karena engkau tahu anakmu ini akan malas makan jika tidak sesuai dengan keinginannya.

Padahal, anakmu ini sangat nakal namun engakau tak pernah menyebut anakmu ini nakal. Engkau akan berbesar hati terus membimbingku.

Tapi,apakah engkau tidak merasa lelah untuk itu semua bu?
Apakah engkau pernah mengeluh pada Tuhan tentang kenakalanku dan kesulitanmu mengurus keperluan rumah tangga?

Ah, aku tak sempat menanyakan itu semua. Aku memang tak tahu diri.

Yang aku tahu hanyalah semua keperluan terpenuhi. Semua keinginan engkau sanggupi.

Aku tak pernah menengok kedalaman hatimu. Karena yang aku tahu engkau selalu tersenyum.

Padahal, aku tahu engkau telah mengesampingkan kebutuhanmu demi kebutuhanku. Engkau telah mengesampingkan keinginanmu demi keinginanku. Engkau menghilangkan keluh kesahmu demi kebahagiaanku. Engkau menyingkirkan lelahmu demi senyumku.

Itu baru aku sadari hari ini saat aku merasa lelah dalam hidupku.

Padahal, waktu itu aku tahu engkau rela melakukan apapun demi anakmu.

Aku juga ingat saat lebaran beberapa tahun silam saat mengantarku membeli pakaian lebaran. Engkau hanya memilihkan pakaian untukku.

"Ibu tidak membeli pakaian juga?" Tanyaku dengan polosnya.

Engkau hanya menggeleng dan tersenyum.

"Kenapa?" Tanyaku lagi.

"Pakaian ibu masih layak dipakai." Jawabmu dengan tenang.

Aku yang masih polos hanya mengangguk. Tak pernah bertanya lebih jauh lagi. Padahal kalau saja aku teruskan pertanyaan itu mungkin ada banyak jawaban yang bisa saja membuat menangis hatiku.

Aku yang tak tahu diri ini hanya percaya bahwa itu adalah jawaban sebenarnya. Kini, aku menyadari bahwa mungkin saja itu bukan jawaban yang sebenarnya. Lagi-lagi aku baru menyadarinya saat ini.

Atau, saat engkau menyuruhku makan. Dengan sedikit merayu engkau menyuruh anakmu yang nakal ini makan. Engkau dengan tenang menemaniku makan.

"Ibu tidak makan?" Tanyaku dengan mulut masih penuh dengan makanan.

Tapi engkau hanya menggeleng.

"Ibu masih kenyang." Katamu.

Aku yang memang tak mengerti apa-apa memilih melanjutkan makanku dengan lahap. Padahal saat itu aku tahu kapan terakhir ibu makan. Namun, aku tak sampai memikirkan bahwa jawabanmu adalah kebohongan. Padahal kalau saja aku mau bertanya lebih banyak tentu akan ada jawaban lain di sudut matamu.

Ah, ibu. Engkau kadang sulit ku mengerti atau mungkin sebenarnya aku saja yang tak mau tahu.

Itu hanya sebagian ceritaku bersamamu yang bisa aku tangkap maknanya.

Mungkin, saat engkau melihat kenakalanku dan mengelus dada karenanya engkau berada di ujung lelah. Hingga engkau berusaha membuatku tersenyum. Seperti katamu:

Kebahagiaan akan mudah di dapat dengan cara yang mudah. Salah satunya dengan membuat orang lain tersenyum.

Dan engkau tidak sekedar mengucapkannya namun juga mencontohkannya.

Ah, andai saja waktu bisa di putar bu. Mungkin aku memilih menjadi anakmu yang penurut. Tak banyak meminta. Tak menyusahkanmu. Dan tak pernah membuatmu terpaksa mengelus dada apalagi berurai air mata. Atau, setidaknya aku lebih peka terhadap perasaanmu dan keadaanmu mungkin itu bisa sedikit mengurangi bebanmu. Tapi, kini semuanya sudah berlalu. Aku tidak lagi menjadi seorang anak kecil yang selalu merengek meminta sesuatu. Aku bukan lagi seorang anak kecil yang selalu ingin mendengar cerita-ceritamu sambil mennyisir rambutku dengan jarimu. Bahkan kini aku tak lagi berada di sampingmu.

Aku telah tumbuh menjadi anak yang selalu engkau harapkan dapat membuatmu bangga. Aku telah berada jauh darimu untuk menjalani sesuatu yang engkau sebut 'proses' kehidupan. Aku kini telah berada di dunia yang sebenarnya. Yang harus menimba ilmu hidup sendiri, menciptakan cerita hidup sendiri.

Namun, sampai usiaku sekarang aku masih tetap anakmu. Yang kadang melupakan keberadaanmu saat aku bersama teman-temanku. Aku yang kadang lupa akan usiamu yang semakin bertambah seiring bertambahnya usiaku. Kadang, aku sering melupakan nasihat-nasihatmu dan baru teringat saat aku telah kehilangan semangat. Tapi, meskipun demikian aku belum bisa untuk tidak berbagi cerita padamu. Lebih tepatnya berbagi keluh kesah. Seperti sekarang.

Padahal, seharusnya saat ini aku berbagi kebahagiaan padamu dan membuatmu bahagia. Sebab, dengan berbagi cerita seperti ini tentu akan membuatmu khawatir atau bahkan meneteskan air mata untuk anakmu. Untuk dirimu yang tidak bisa memberikan bahumu padaku. Aku tahu itu.

Bu,
Apakah ibu tidak pernah merasa lelah dengan semua kehidupan?
Apakah ibu pernah juga berkeluh kesah seperti anakmu ini?

Ternyata, saat ini aku bukan lagi ingin mendengarkan cerita-ceritamu. Atau mendapatkan bahumu tempat ku bersandar. Untuk saat ini, saat kita tidak lagi berada di tempat yang sama, mendengar suaramu telah cukup bagiku.

Maafkan anakmu jika apa yang aku ceritakan membuatmu khawatir. Percayalah, aku tak akan menyerah.

Dan, seperti pesanmu :

Kita boleh merasa lelah, merasa berat dengan keadaan namun jangan sekalipun menyerah!

Ah, apa yang aku ceritakan padamu jangan terlalu membuatmu khawatir. Percayalah, aku mewarisi ketegaranmu dalam menghadapi masalah.

Kapan-kapan, aku juga ingin mendengar ibu berkeluh kesah tentang kehidupan. Atau mungkin tentang sulitnya mengurus anakmu yang tak tahu diri ini. Hehehe.

***

Bukan Kamu Tidak Istimewa

Aku tidak ingin berharap banyak pada hubungan yang kita jalani. Sebab, aku mengetahui dan telah belajar banyak dari pengalaman bahwa :

Semakin banyak kita berharap. Semakin banyak pula kita akan menanggung kecewa.

Bukan aku tidak ingin kita melangkah pada jalan yang lebih serius. Bukan pula aku tidak ingin kita menjadi lebih dari apa yang kita jalani sekarang. Aku hanya ingin agar semua berjalan apa adanya tanpa ada yang perlu di paksakan. Aku ingin semuanya mengalir sebagaimana takdir menggiring. Kemanapun takdir menggiring, aku hanya berharap bahwa itu akan bermuara pada kebahagiaan. Itu saja.

Percayalah, meski itu terdengar acuh namun bukan berarti kamu tidak istimewa dalam hidupku. Bagiku, seseorang istimewa dalam kehidupan kita bukan didasarkan pada seberapa sering kita mengumbar kebahagiaan kita, bukan pada seberapa banyak janji yang terucap. Ada satu hal yang dilakukan seseorang terhadap orang yang istimewa dalam hidupnya.

Kamu mau tahu?

Ya. Membawa orang yang kita anggap istimewa dalam setiap doa adalah puncak dari mengistimewakan orang yang memang istimewa. Semua harapan tercurah dalam setiap doa bukan pada setiap janji.

Maka, tak perlu risau jika aku seolah tak terlalu peduli dengan hubungan kita. Karena aku selalu berusaha menggiring takdir agar membawa cinta kita pada muara kebahagiaan. Bukankah kamu juga pernah mendengar bahwa takdir dapat berubah dengan kekuatan doa?

Marilah kita merayakan kebahagiaan kita dengan cara yang lebih indah! Tidak harus dengan memposting foto-foto kebersamaan kita di lini masa. Tidak dengan status-status lebay di lini masa. Mari kita sama-sama merayakan kebahagiaan dengan saling mendoakan. Dengan begitu, kalaupun di depan takdir berkata lain maka kita tak akan terlalu kecewa. Karena memang kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di depan.

Marilah kita menumpahkan harapan-harapan kita dalam doa. Seperti aku yang selalu berharap pada Tuhan. Semoga kelak, kamu bukan sekedar menjadi pilihan bagiku tapi menjadi kepastian dalam hidupku.

Mungkin, hanya itu harapan terbesarku. Selebihnya biarkan takdir yang menentukan.

***

Rabu, 18 November 2015

Surat Cinta #3

Ibu...,

Hari ini, untuk pertama kalinya hujan turun di tempatku berada. Apakah disana juga hujan bu?

Saat menuliskan surat ini, aku sedang berada di dekat jendela. Menatap ribuan tetes air hujan yang jatuh ke bumi. Seperti kebiasaan yang pernah kita lakukan dulu. Saat hujan sore menjelang, ibu sering mengajakku menikmati tetesan-tetesan air yang jatuh dari langit itu melalui jendela. Meski kadang embun kerap menghalangi pandangan kita namun ibu selalu saja menatap dari balik jendela. Ibu selalu saja menyelipkan cerita-cerita atau pesan-pesan yang bahkan saat ini masih ku ingat. Meski ceritamu sangatlah sederhana namun dibalik itu semua selalu tersirat pesan yang amat mendalam bagiku.

Suatu hari, saat aku masih menjadi anak kecil ibu yang nakal, ibu pernah bercerita bagaimana terjadinya hujan.

"Nak, kamu mau tahu bagaimana proses terjadinya hujan?" Tanyamu.

Aku yang sebenarnya sudah tahu bagaimana proses hujan itu terjadi sebab pernah diajarkan di sekolah tetap mengangguk. Karena aku tahu ibu tidak sekedar menjelaskan bagaimana proses terjadinya hujan seperti yang diajarkan di sekolah. Bagiku, selalu ada yang istimewa dari setiap ceritamu.

Melihatku mengangguk, engkau pun tersenyum. Engkau menarik perlahan kepalaku agar rebah di bahumu.

Saat itu, engkau mulai bercerita bagaimana proses hujan itu bisa terjadi. Tidak jauh berbeda dari apa yang diajarkan di sekolah. Engkau menjelaskannya sampai usai. Tapi, ceritamu tak habis sampai disana.

"Nak, engkau harus banyak belajar dari hujan!" Katamu dengan lembut.

Aku yang masih terlalu polos hanya mendongakkan kepala menatapmu dengan kebingungan.

"Engkau tahu nak, bahwa hujan itu adalah air yang juga berasal dari bumi. Entah itu dari laut, danau, sungai dan sumber air lainnya yang mengalami penguapan akibat sinar matahari. Lalu air itu akan bergumul di langit bersama awan sebelum akhirnya jatuh kembali ke bumi...." Engkau menghentikan sejenak ceritamu dan membiarkan aku meresapi setiap penjelasanmu.

"Saat ini, engkau seumpama air yang berada di bumi. Kelak kamu akan mengalami proses sebagaimana air menguap oleh cahaya matahari. Dan proses itu tidak akan mudah kamu jalani. Air akan menguap jika ia mengalami pemanasan oleh cahaya matahari. Dan kamu, kamu harus mengalami proses yang juga tidak mudah. Perjalananmu tidak akan mudah dalam mengarungi kehidupan. Namun, jika kamu bisa melewati semua prosesnya kamu akan mampu berada di atas sebagaimana air yang tadinya berada di bumi telah berada di langit karena proses. Tapi, saat kamu berada di atas jangan pernah lupa akan asalmu. Jangan pernah lupa darimana kamu berasal. Karena, suatu saat nanti kamu akan kembali kemana kamu berasal. Entah itu dengan terpaksa atau dengan kesadaran sendiri. Suatu saat nanti, kamu akan pergi jauh dari tempat asalmu. Merantau. Entah itu untuk menuntut ilmu, bekerja, atau keperluan lainnya. Itu akan menjadi bagian dari proses hidupmu. Disana kamu akan bisa melihat dunia lebih luas lagi sebagaimana air yang berada di langit bisa menatap bumi lebih luas lagi. Namun, kamu jangan pernah lupa pada tempat dimana saat ini berada. Sebab, disinilah asalmu jadi jangan pernah sekalipun kamu lupa pada tempat asalmu. Jika pun suatu saat nanti kamu harus tinggal di tempat yang baru namun bukan berarti kamu harus melupakan tempat asalmu. Tengoklah tempat asalmu, tengoklah ibumu yang mungkin saat itu telah renta. Sebagaimana bumi yang selalu merindukan air hujan, ibu pun akan selalu merindukan kehadiranmu... ." Saat itu engaku mulai terisak. Satu dua tetes air matamu mulai jatuh.

Aku yang masih terlalu belia belum mampu memahami setiap ceritamu. Namun, engaku menatapmu dengan lembut dan berusaha tersenyum meski dipaksakan. Aku masih dalam kebingungan.

"Saat ini, kamu tidak harus mengerti dengan apa yang ibu ceritakan. Cukup dengan mengingatnya saja. Kelak, kamu akan mengerti sendiri makna dari cerita ibu." Tambahmu dengan senyum yang engkau paksakan.

Bu,

Hari ini, saat aku berada jauh darimu. Untuk mengalami sesuatu yang engkau sebut "proses", aku mulai memahami apa yang pernah kau ceritakan dulu. Aku mulai bisa meresapi makna di balik cerita-ceritamu. Mungkinkah, saat ini engkau sedang merindukanku sebagaimana bumi merindukan hujan? Seperti katamu.

Ah, itu adalah pertanyaan yang konyol bu. Bukankah saat engkau melepaskanku pergi juga aku melihat hujan yang jatuh di pipimu. Itu adalah air mata kesedihan, bagaimana engkau harus berberat hati melepas anakmu yang manja dan nakal ini pergi untuk menjalani proses kehidupan. Melihat dunia lebih luas lagi. Saat ini, mungkin rindumu telah menggunung terhadap anakmu yang tak tahu diri ini. Kerinduanku pasti akan kalah oleh kerinduanmu padaku.

Bu,

Hujan ternyata tidak sekedar menumbuhkan tanaman-tanaman atau membuat kuncup-kuncup bunga bermekaran. Lebih dari itu, hujan juga telah menumbuhkan kerinduan padamu.

Aku rindu akan masa-masa kecilku bersamamu. Aku yang nakal selalu saja menyusahkanmu.

Aku masih ingat, bagaimana sewaktu kecil aku sering bermain hujan bersama kawan-kawanku sampai aku jatuh sakit. Saat itu, ayah akan memarahiku --walau aku tahu dia tidak benar-benar marah. Tapi, engkau dengan kelembutan hatimu masih bisa tersenyum. Meski gurat ke khawatiranmu tidak bisa disembunyikan. Itu hanya sebagian caramu agar aku tidak terlalu merasa bersalah. Engkau akan memberikan perhatian padaku dengan sepenuh hatimu. Nalurimu sebagai ibu yang merasa khawatir akan kesehatan anaknya akan melakukan apapun agar aku cepat sembuh. Engkau akan setia mendampingiku, menuruti kemauanku, bahkan engkau rela terjaga karena sakitku. Padahal, sakitku justru karena kenakalanku yang tidak menuruti perintahmu untuk tidak bermain hujan.

Setelah beberapa hari aku sembuh dari sakitku akibat beemain hujan, aku sudah merajuk lagi padamu untuk mengijinkanku bermain hujan bersama kawan-kawanku. Bahkan, aku sampai menangis hanya agar engkau mengijinkanku bermain hujan. Sampai, akhirnya engkau pun mengalah untuk mengijinkanku bermain hujan. Senyum mengembang dari bibirmu. Namun kekhawatiran muncul di matamu.

"Jangan lama-lama." Itu pesanmu sebelum aku berlari ke tanah lapang menemui kawan-kawanku.

Baru sebentar saja aku bermain hujan namun engkau sudah memanggilku untuk masuk ke rumah. Aku berusaha menurutimu meski dengan jengkel.

Lalu, beberapa saat kemudian, ayah pulang ke rumah setelah seharian bekerja. Dan aku baru tahu alasanmu memanggilku masuk ke rumah. Engkau tidak ingin melihat anakmu yang nakal ini ketahuan bermain hujan oleh ayah setelah beberapa hari yang lalu sakit akibat bermain hujan. Engkau takut aku di marahi ayah. Ah, saat itu aku masih terlalu polos untuk memahami rasa sayangmu terhadapku. Larangan-laranganmu selalu membuatku jengkel, padahal dibalik itu semua ada rasa sayangmu yang amat besar.

Esoknya lagi, saat hujan tiba aku pun merajuk untuk mendapat izin bermain hujan. Namun, engkau menahanku dan mengajakku kembali bercerita. Bermain hujan dan mendengarkan ceritamu adalah dua pilihan yang membingungkan. Walaupun akhirnya aku memilih mendengarkan ceritamu.

Seperti biasa, kita akan duduk mengahadap jendela yang sudah tertutup embun.

"Ibu tidak melarang kamu bermain hujan. Karena ibu tahu itu adalah cara anak-anak seusiamu mensyukuri turunnya hujan dan ibu pun dulu pernah melakukan itu. Hanya saja, semua ada batasnya." Katamu membuka cerita.

"Satu hal yang harus kamu tahu nak. Segala sesuatu yang di lakukan secara berlebihan tidaklah baik. Kamu harus tahu batasan dari setiap perbuatan yang kamu lakukan. Kamu juga harus tahu dengan konsekuensi atau lebih mudahnya akibat dari perbuatanmu. Kamu masih ingat saat kamu sakit akibat dari bermain hujan?" Tanyamu dengan lembut menatapaku.

Aku mengangguk dengan pelan.

"Lalu, kenapa saat kemarin kamu bermain hujan tidak jatuh sakit?" Tanyamu lagi.

Aku hanya bisa menggeleng.

"Saat beberapa hari yang lalu kamu terjatuh sakit akibat bermain hujan, itu karena kamu bermain hujan tanpa ada batasnya. Kamu melakukannya dengan berlebihan. Akibatnya kamu jatuh sakit. Sedangkan kemarin, kamu membatasi bermain hujan dan kamu tidak jatuh sakit. Saat kamu hujan-hujanan risiko sakit memang tidak bisa dihindari, namun saat kamu membatasinya itu juga telah mengurangi risiko itu." Engkau menghentikan dahulu perkataanmu. Seperti biasa, membiarkanku meresapi setiap kata yang engkau ucapkan.

"Kelak, saat kamu sudah beranjak dewasa, dalam melakukan hal apapun kamu tidak boleh melakukannya secara berlebihan. Karena memang itu tidak baik. Lakukan saja sebagaimana mestinya. Karena segala sesuatu pasti ada batasannya. Sekali lagi, kamu tidak harus mengerti kata-kata ibu cukup saat ini kamu mengingatnya saja. Sebab, ada waktunya kamu akan mengerti sendiri dengan apa yang ibu katakan."

"Prihal, mensyukuri hujan. Kamu juga harus belajar mensyukuri dengan cara yang lain selain bermain di tanah lapang saat hujan yang sebenarnya akan membahayakanmu sendiri. Kelak, ibu akan mengajarimu mensyukuri hujan dengan cara yang lebih indah." Engkau menatapku dengan senyuman dan berhasil membuatku penasaran.

"Tapi, kawan-kawanku juga bermain hujan dan mereka tidak pernah di larang apalagi dimarahi seperti ayah memarahiku." Tukasku.

"Kamu tidak harus sama dengan orang lain nak. Jika kamu mampu lebih baik kenapa harus sama dengan mereka. Kamu juga harus tahu satu hal nak. Jika ada orang yang melarangmu, memberimu nasihat itu bukan berarti mereka membencimu justru karena mereka peduli padamu. Kelak, kamu akan merasakannya sendiri saat kamu beranjak dewasa. Peringatan dan nasihat itu akan kamu butuhkan untuk kebaikanmu. Justru, kamu harus bersedih saat sudah tidak ada lahi orang yang melarangmu, memperingatimu, menasihatimu karena itu artinya sudah tidak ada lagi yang peduli terhadapmu. Dan satu hal lagi, tidak semua orang yang marah adalah orang yang membencimu. Justru, bisa saja orang yang marah padamu adalah orang yang paling sayang padamu. Kemarahan mereka adalah puncak dari kekhawatiran mereka karena takut terjadi apa-apa pada orang tersayangnya. Itu juga lah yang di lakukan ayahmu. Kamu jangan pernah menilai sesuatu hanya karena sekilasan mata. Tapi lihatlah sorot matanya, kelak kamu akan mengetahui apa yang ada dalam hatiny."

Aku mengangguk dan ingat akan pesanmu beberapa saat yang lalu saat aku berbohong padamu. Dan engkau dengan lembut mengatakan :

Mata tidak akan pernah bisa berbohong. Jika ingin melihat kejujuran hati seseorang maka lihatlah matanya. Begitu katamu.

"Engkau sudah mengerti nak?" Tanyamu sambil mengelus kepalaku dengan lembut.

Aku mengangguk dan berusaha tersenyum engkau pun membalas senyumku.

Cerita sore itu pun berakhir saat dari kejauhan terlihat ayah sudah menuju ke rumah.

Bu,

Ah, saat ini rasanya rindu akan masa-masa itu. Menjadi anakmu yang nakal yang selalu mendengarkan ceritamu saat hujan tiba.

Satu hal lagi, yang baru aku ketahui prihal kebiasaanmu menatap jendela saat hujan turun. Ternyata engkau tidak sekedar menatap jendela. Lebih dari itu, engkau sedang menunggu ayah pulang dengan hati penuh ke khawatiran sebab saat hujan lebat ayah belum pulang. Kesimpulan ini aku ambil karena engkau akan berhenti menatap jendela saat engkau sudah melihat sosok ayah di kejauhan sedang menuju ke rumah. Rasa khawatirmu terhadap ayah sangat besar seperti rasa khawatirmu padaku darah dagingmu. Meski tidak pernah terucap namun aku selalu suka dengan caramu mencintai kami.

Kini, aku sudah faham terhadap janjimu untuk mengajariku cara mensyukuri hujan. Dengan menikmati setiap tetes yang jatuh serta menantikan seseorang yang kita cintai. Seraya tak hentinya hati kita merapalkan doa-doa memuji sang pemilik cinta sejati.

Dan saat ini, aku menatap jendela ini dengan harapan melihat wajahmu yang sedang tersenyum.

Ah, semoga saja kelak aku akan mendapatkan pendamping sepertimu. Yang dengan diam selalu menyanyangi anak-anak dan menyayangiku. Dia yang selalu setia menungguiku dari balik jendela saat aku belum pulang ke rumah. Dia yang memiliki kasih sayang sepertimu bu.

Semoga, engkau selalu berada dalam kasih sayangNya. Sebagaimana engkau yang selalu menyayangiku.

***