Minggu, 13 Desember 2015

Surat Cinta #8

Ibu...,

Nasihatmu adalah embun yang menyejukan.
Ridhamu adalah cahaya yang kan menemaniku dalam menapaki setiap langkah perjalanan hidup.
Doamu adalah kunci untuk membuka pintu-pintu langit.

Aku teringat dengan bekal yang engkau berikan padaku saat engkau melepaskanku untuk berjuang menjalani proses hidup jauh dari tempatmu berada. Bekal yang sempat aku lupakan tapi bekal itu ternyata tak basi sampai saat ini aku baru membukanya. Sebuah bekal hidup yang harusnya aku jadikan pegangan saat aku tak bisa lagi mendengarkan nasihatmu secara langsung.

"Berangkatlah! Melangkahlah! Pergilah! Ibu tidak bisa selalu berada di sampingmu, tapi percayalah bahwa ibu telah mempercayakan untuk menjaga dirimu pada doa. Di luar sana, bukan hanya kerikil yang akan mengahalangi setiap langkah yang akan kamu tempuh melainkan banyak batu-batu besar yang setiap saat akan menimpamu. Diluar sana, bukan hanya duri-duri kecil yang akan menghalangi setiap perjalananmu tetapi akan kau temukan juga paku-paku berkarat yang siap menusuk telapak kakimu. Di luar sana, bukan hanya kelelahan yang akan melemahkan perjuanganmu namun juga ada kebebasan yang dapat melenakanmu. Disana, di luar sana kamu akan menemui semuanya. Dan ibu tidak bisa mengingatkanmu saat ada batu besar yang akan menimpamu. Ibu tidak bisa mengingatkan saat ada paku-paku berkarat yang akan kamu injak. Ibu tidak bisa mengingatkanmu saat kamu terbawa arus kebebasan yang tak kenal batas. Tapi tenang saja, ibu akan selalu berdoa untukmu. Dari jauh, ibu akan memohon pada Yang Maha Kuasa agar senantiasa melindungimu. Kalau nanti di tempatmu berjuang akan ada 'batu besar' yang menimpamu, percayalah bahwa akan ada doa ibu yang menahan batu itu agar tidak menimpamu. Saat kakimu akan menginjak 'paku-paku berkarat' yang hendak menghentikan langkahmu maka doa ibu akan segera menyingkirkan 'paku-paku' itu. Saat engkau hendak terbawa arus yang tidak baik, doa ibumu juga akan menjadi penghalang setiap langkah itu. Memang, engkau tidak akan melihat bagaimana doa itu bekerja. Tapi percayalah, doa ibumu ini akan senantiasa berada di depan, di belakang, di samping dan di atasmu untuk senantiasa melindungimu.

Jangan pernah berhenti berbuat baik di tempatmu berada! Karena, doa ibumu tak selalu kuat untuk melindungimu. Untuk itu, ibu membutuhkan bantuan tenaga untuk melindungimu. Salah satunya yaitu dengan kebaikan yang kau tebarkan. Jangan sekalipun menyimpang dari kebaikan! Karena kalau saja itu terjadi, maka sama saja kamu melemahkan kekuatan doa ibu.

Pergilah bersama ridha ibumu! Melangkahlah dengan keikhlasan ibumu!
Ibu akan senantiasa menanti kabar bahagiamu." Itu adalah bekal yang engkau berikan padaku saat melepaskanku pergi untuk menjalani sesuatu yang engkau sebut proses hidup.

Aku kembali membuka bekal yang sempat aku lupakan saat hari ini aku merasakan kelelahan berjuang. Sampai aku tiba pada satu kesimpulan bahwa aku sudah jauh dari garis yang harusnya menjadi jalur hidupku. Aku terlalu banyak menyimpang. Aku tidak pandai BERSYUKUR.

Padahal, sebelum hari ini. Sebelum lelah ini. Betapa banyak kemudahan-kemudahan yang telah aku dapatkan. Betapa banyak kebahagiaan-kebahagiaan yang aku raih.

Keadaan demikian, justru membuatku terlena. Sampai aku lupa pada satu atau beberapa hal. Mungkin, kemudahan-kemudahan yang selama ini aku dapatkan adalah buah dari doamu yang telah mengubah kesukaran itu menjadi kemudahan.

Mungkin, kebahagiaan-kebahagiaan yang aku rasakan adalah buah dari doamu. Kekuatan doamu telah mengubah sesuatu yang harusnya menjadi duka namun berganti menjadi bahagia.

Tapi, justru keadaan itu membuatku lupa pafa pesanmu agar aku selalu berbuat baik pada sesama. Serta, aku lupa untuk senantiasa berbagi kabar denganmu.

Hingga akhirnya, hari ini aku berada di ujung lelah. Mungkin, ini juga cara doamu bekerja untuk menghentikan langkahku yang sudah terlalu jauh menyimpang.

Maafkan aku bu.

Kini aku sadar, bahwa segala sesuatu yang aku banggakan sebagai jerih payahku ternyata tidak lain adalah karena doa-doamu yang tak pernah berhenti mengalir.

Hari ini, aku ingin kembali memulainya dari titik awal perjuangan. Walaupun tidak mudah, namun setidaknya aku akan mencoba. Seperti katamu:

Perjuangan itu tidak ada yang mudah, di butuhkan sesuatu yang bukan sekedar niat. Untuk menggapai mimpimu, yang dibutuhkan bukan sekedar tekad melainkan tindakan dan ke istiqamahan. Maka, saat kamu menginginkan sesuatu, saat itu juga kamu harus siap berjibaku dengan halangan, rintangan, kesulitan dan semua yang akan menghambatmu dalam menggapai inginmu itu. Jangan pernah kamu kira bahwa tidak semua orang memiliki keinginan. Semua orang memiliki keinginan, cita-cita, mimpi, namun tidak semua berada persis seperti apa yang mereka impikan. Kebanyakan dari mereka telah memutuskan untuk berhenti berjuang saat sebenarnya jarak mereka dengan impian sudah dekat. Mereka sudah putus asa.

Ya, benar bu semua orang memiliki mimpi. Namun, tidak semua bisa mewujudkannya.

Orang yang tak pernah merasa lelah dalam berjuang tidak akan merasakan kepuasan. Katamu menutup nasihat malam itu.

Mungkinkah lelah ini adalah bagian dari perjuangan itu atau justru lelah ini adalah bentuk kekalahan?

Ah, aku teringat juga akah pesanmu. "Kamu memang harus berjuang sekeras dan secerdas mungkin, namun bukan berarti kamu bebas melanggar sesuatu yang sudah di tetapkan Tuhan. Karena, bisa saja, dengan kamu tidak berhasil menggapai mimpimu itu adalah yang terbaik menurut Yang Maha Kuasa. Mungkin Yang Maha Kuasa tahu bahwa jika kamu berhasil menjadi seperti apa yang kamu impikan maka kamu akan berubah dari sifat aslimu. Kamu akan menjadi orang yang sombong dan tamak. Maka, jika melihat dari sini, sesungguhnya perjuangan yang kamu anggap gagal sesungguhnya telah mencapai puncak keberhasilannya. Karena Tuhan tidak ingin kamu terjerumus pada hal yang tidak baik. Bukankah kamu sering menyaksikan watak seseorang yang berubah setelah segala sesuatunya mereka miliki? Namun, yang harus kamu ingat adalah bahwa kamu jangan pernah berhenti berjuang." Katamu saat aku mengeluh lelah dan malas.

Maka, hari ini aku harus mengakui bahwa perjuanganku ternyata belum dimulai bu.

Seperti katamu, setiap perjuangan tidak ada yang mudah.

Maka, jangan pernah khawatir dengan semua luka yang ada padaku. Sebab itu bagian dari perjuangan.

Jangan pernah mengkhawatirkan derita yang menimpa anakmu. Sebab itu bagian dari perjuangan.

Jangan merasa khawatir dengan dengan kesedihan yang aku alami. Sebab itu bagian dari perjuangan.

Jangan pernah khawatir dengan gundah dan kesedihan yang aku rasakan. Sebab itu bagian dari perjuangan.

Jangan khawatir bu...!

Anakmu ini adalah seorang pejuang yang mewarisi keteguhanmu.

Anakmu ini seorang petarung yang meneladani keberanianmu.

Harusnya, engkau bangga telah melahirkanku. Karena aku mewarisi kegigihanmu.

Ah, aku teringat dengan sebuah cerita yang pernah diceritakan oleh pencerita ulung dalam hidupku. Yakni dirimu. Ibu tidak keberatan kan kalau hari ini aku juga akan bercerita kembali? Lebih tepatnya menceritakan kembali ceritamu. Bukan, bukan untuk mengguruimu. Namun, hanya untuk sekedar mengingatkan ibu bahwa dulu ibu pernah bercerita. Cerita ibu telah menyulut api semangat dalam jiwaku. Jadi, semoga ibu tidak khawatir dengan bara semangat yang menyala-nyala di dadaku sebab itu karenamu. Cerita tentang 'Seekor Rajawali'. Ibu masih ingat dengan cerita itu? Cerita yang pernah ibu bagi padaku sebelum aku tidur. Dulu, saat engkau akan bercerita, pernah berujar begini "Ibu tidak bisa mengantarkanmu ke alam mimpi, semoga saja si Rajawali bisa mengantarkanmu".

Kurang lebih, ibu pernah bercerita begini :
Rajawali adalah salah satu hewan yang berumur panjang. Burung pemburu dan pemakan daging ini bisa hidup sampai usia tujuh puluh tahun.

Namun, jangan pernah kira bahwa Rajawali menjalani usia panjangnya dengan mudah. Di usia rajawali yang ke empat puluh tahun, dia mengalami perubahan pada fisiknya yang secara tidak langsung menurunkan produktivitasnya. Cakar yang biasa digunakan mencengkram mangsa kini sudah bengkok karena terlalu panjang. Hingga membuatnya tak mampu lagi mencengkram mangsa dengan kuat.

Paruh yang biasa dia gunakan untuk merobek-robek mangsanya, kini sudah melengkung sehingga sulit baginya untuk merobek makanan menjadi bagian-bagian kecil hingga membuatnya mudah dimakan.

Semua perubahan itu membuat rajawali kesulitan untuk menjalani hidupnya. Dia kesulitan untuk mencari mangsa bahkan untuk terbangpun dia tak sanggup.

Memang, jika kita melihatnya sepintas tentu tak terlalu nampak perubahan itu dari luar. Semua yang melihatnya dari luar akan mengira bahwa rajawali itu masih perkasa, masih sebagai predator yang menakutkan. Padahal, kenyataannya rajawali sedang merasa tersiksa dengan perubahan dalam hidupnya. Karena untuk makan pun dia sudah tidak sanggup lagi. Sesuatu yang sangat mengerikan. Namun, mereka yang melihatnya tak pernah tahu dan tak mau tahu. Mereka hanya menyimpulkan bahwa rajawali adalah burung yang perkasa.

Dalam keadaan seperti itu, rajawali dihadapkan pada dua pilihan. Memilih mati di separuh usianya atau berusaha bertahan hidup dengan sisa-sisa kemampuannya.

Kau tahu pilihan yang dipilih oleh rajawali?

Rajawali memilih untuk bertahan hidup dengan jalan yang amat menyakitkan.

Dengan sisa tenaganya, rajawali memutuskan untuk terbang ke puncak gunung yang sepi. Disana dia akan bersemayam. Melewati hari-hari yang menyakitkan selama kurang lebih lima bulan. Itu adalah waktu yang teramat lama untuk sebuah pertaruhan hidup dan mati.

Sesampainya di sebuah puncak gunung, dia mencari sebuah dinding batu yang biasa terdapat di atas pegunungan. Dia mematuk-matukkan paruhnya yang sudah bengkok itu pada dinding batu. Itu adalah hal yang mengerikan dan membuat ngilu jika kita menyaksikannya secara langsung. Darah segar mengalir dari sekitar paruhnya, namun rajawali tidak menyerah karena dia berpikir sekalipun paruhnya tidak dia patahkan itu akan menjadi hal yang percuma karena dia tak bisa makan dengan paruh yang bengkok. Akhirnya, setelah melewati proses yang amat menyakitkan itu, paruhnya berhasil dipatahkan. Rajawali harus menunggu beberapa hari agar muncul paruh barunya.

Setelah paruh barunya muncul, perjuangannya belum berakhir. Masih ada proses yang harus ia jalani. Prosenya pun tidak kalah mengerikan. Dengan paruh barunya, dia mencabuti kukunya yang mulai memanjang hingga ke akarnya. Darahpun tak bisa dibendung lagi. Jika kita menyaksikannya, kita akan dibuat menutup mata karena ketakutan. Itu seumpama kita menyayat kulit kita sendiri dengan pisau. Dan itu amat mengerikan. Dan setelah melewati proses yang mengerikan itu, kukunya berhasil dipatahkan semua. Rajawali pun harus menunggu waktu yang lama agar kukunya kemabli tumbuh dengan kuku baru.

Setelah itu, apakah perosesnya sudah selasai?

Belum.

Masih ada proses yang lebih menyakitkan lagi. Proses yang ketiga dari persemayamannya itu adalah mencabuti semua bulu yang ada di seluruh tubuhnya. Dia sangat telaten mencabuti satu per satu bulunya hingga tak tersisa.

Jika kita melihat keadaan burung rajawali saat itu, tentu kita tidak akan berpikir bahwa rajawali adalah burung yang menakutkan. Semuanya pasti akan meremehkan sang burung karena penampilannya seperti burung gundul. Bukankah pesona rajawali selain dari lengkingannya yang tajam, paruhnya yang juga tajam serta cakarnya yang kuat, burung rajawali juga terlihat gagah dengan bulu-bulunya. Namun, dia menanggalkan bulunya yang indah demi keindahan yang melebihi semua.

Akhirnya, setelah melewati masa lima bulan persemayaman, rajawali yang kemarin lemah, rajawalai yang kemarin diambang prustasi, rajawali yang sudah berada di gerbang kematian itu seolah terlahir kembali dengan tampilan yang baru.

Kini, dia sudah terbang mengangkasa dengan lengkingan yang menyayat urat mangsanya.

"Jadilah seperti Rajawali yang mau menjalani proses meskipun itu harus mengorbankan dirimu. Orang lain tidak pernah tahu dengan apa yang kau alami. Tapi engkau mengetahuinya. Orang lain tidak akan pernah mampu memberikan jalan keluar yang tepat untuk setiap masalahmu tapi kamu bisa. Kelak, kamu akan mengerti makna Rajawali yang ibu ceritakan hari ini." Katamu.

Aku hanya mengangguk waktu itu.

"Ya sudah lebih baik kamu tidur! Awas, nanti malah mencium tembok karena mengigau seperti rajawali yang sedang mematahkan paruhnya di dinding batu!" Tambahmu sambil tersenyum.

Aku hanya tersenyum dan menepuk jidatku. Ahh...

Apakah ibu masih ingat dengan cerita itu?

Pasti ibu sedang berpikir keras untuk mengingatnya. Karena terlalu banyak cerita yang pernah engkau bagi padaku hingga tak mungkin engkau mengingat satu per satu ceritamu. Apalagi itu adalah cerita yang engkau dongengkan di masa kecilku yang selalu memaksamu untuk bercerita.

Aku tidak tahu cerita itu bersumber darimana karena setelah itu aku juga mendengar beberapa orang yang menceritakan kisah yang hampir serupa. Yang aku tahu bahwa itu pernah keluar dari bibirmu dan mengendap di hati dan pikiranku. Itu saja.

Aku ingin menjadi rajawalimu, bu.

Yang tak pernah menyerah meski sudah berada di ambang prustasi bahkan di gerbang kematian.

Yang tak pernah menyerah meski harus berjibaku dengan rasa sakit dan siksa.

Benar katamu, bahwa orang lain tidak tahu dengan apa yang terjadi dalam diri kita. Orang lain hanya melihat apa yang nampak dari diri kita. Orang lain hanya akan menilai hasilnya bukan proses. Karena sejatinya, yang mengetahui proses itu ialah kita sendiri.

Jadi, ibu tidak perlu khawatir dengan keadaanku disini.

Percayalah, aku bercerita begini bukan karena mengeluh. Namun lebih kepada mengingatkanmu agar tak hentinya mendoqkan anakmu ini. Meski sebenarnya aku tahu bahwa doamu tak pernah berhenti meski tak pernah aku pinta sekalipun.

Ah, aku baru teringat sesuatu. Bahwa ternyata, setelah mendengar cerita ibu tentang rajawali sebelum tidur, aku malah mengigau. Bukan mencium tembok seperti yang engkau takutkan. Tapi aku justru memotong kukuku.

Dan saat aku terbangun, engkau senyum-senyum sendiri menatapku yang baru bangun.

"Kamu tidur sudah seperti orang cacingan, tidur kok sambil gigit kuku kaki. Apa tidak ada lagi cara mengigau yang lebih menarik buat dipandang?" Katamu meledekku.

Aku menyadari bahwa ternyata aku mengigau setelah mendengar ceritamu.

"Memang ada mengigau bisa milih-milih." Kataku ketus karena ledekannmu.

Dan engkau tertawa melihat wajahku yang kesal.

Ah, aku rindu masa-masa itu.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar