Ibu...,
Sengaja aku menulis namamu pada setiap permulaan surat ini. Bukan tanpa alasan. Sebab, bagiku dengan mengingatmu cukup untuk memberikan banyak inspirasi. Saat menyebut namamu, maka saat itu pula lah kenangan-kenangan yang pernah tercipta diantara kita menari-nari di pikiranku. Engkaulah sumber inspirasi yang tak pernah habis.
Seperti yang pernah aku katakan bu, entah sampai kapan surat ini akan berakhir. Karena aku sendiri pun tak bisa menahan tangan ini untuk menuliskan semua kenangan, pelajaran dan kerinduan. Rasanya, aku tak pernah menginginkan suratku ini sampai pada ujungnya. Sebab, dengan aku memaksakan surat ini berakhir itu sama saja dengan aku mengubur semua yang pernah engkau bagi denganku. Entah itu cerita, pelajaran, maupun teladan. Aku tidak ingin kebahagiaan yang aku alami terkubur begitu saja tanpa pernah ada yang tahu.
Aku ingin agar dunia tahu bahwa aku adalah anak yang bahagia telah memiliki ibu sepertimu.
Aku ingin membantu menyadarkan semua anak yang pernah, sedang atau akan membenci ibunya bahwa ibu adalah sosok yang istimewa. Agar mereka tak pernah menyesal sebab belum membahagiakan ibu mereka. Meski aku sendiri belum pernah membahagiakanmu.
Aku juga ingin berbagi cerita kepada mereka yang kurang beruntung hingga tak sempat berjumpa dengan ibunya. Bukan untuk membuat mereka bersedih yapi untuk meyakinkan mereka bahwa dimanapun ibunya berada pasti selalu menyayangi mereka.
Semoga saja, ibu bisa menjadi inspirasi bagi ibu-ibu di luar sana yang tak pernah memperdulikan anaknya. Sebagaimana aku terinspirasi untuk menulis surat ini karenamu.
Semoga....
Bu, tadi pagi aku meneteskan air mata.
Tapi tenang saja bu, itu bukan air mata kesedihan, melainkan air mata kerinduan.
Air mataku menetes karena melihat seorang ibu yang berlari menuju ke sekolah anaknya yang masih duduk di sekolah dasar. Ketika ditanya apa alasannya sampai dia berlari sebegitu rupa,
Ibu itu menjawab "Topi sekolah anakku ketinggalan. Hari ini hari Senin, saya takut anakku di hukum gara-gara tidak memakai topi." Katanya dengan nafas masih memburu.
Bagi sebagian orang mungkin itu adalah hal yang biasa dan sepele. Tapi tidak bagiku.
Dulu, ibu juga pernah melakukan hal yang serupa dengan apa yang ibu tadi lakukan. Dan itu membuatku tidak mendapatkan hukuman karena tak memakai topi. Maka, saat aku melihat seorang ibu yang melakukan seperti tadi, bayanganku langsung terlintas pada wajahmu. Padahal, jarak dari sekolah ke rumah kita lebih jauh dari pada jarak si ibu tadi dengan sekolah anaknya.
Dulu, aku juga menganggap hal yang dilakukan ibu adalah sepele. Tapi, saat melihat wajah ibu tadi aku berpikir lain. Aku melihat bagaimana ekspresi si ibu saat akan mengantar topi yang ketakutan dan ekspresi setelah mengantar topi yang sangat bahagia. Dia bahkan lupa dengan nafasnya yang terburu.
Ah, ibu memang sosok yang luar biasa. Engkau bahkan sangat peduli dengan hal-hal kecil pada anakmu yang kadang terlupakan.
Aku jadi teringat saat-saat pertama kali aku berpamitan untuk memulai hari menjadi anak sekolah. Aku melihat raut wajahmu yang berubah-ubah. Kadang terlihat sedih, bahagia bahkan ketakutan.
Awalnya aku tidak tertarik untuk menerjemahkan arti dari raut wajahmu itu.
Namun, hari ini aku ingin menerjemahkan arti raut wajahmu.
Saat aku mencium tanganmu di gerbang sekolah engkau tampak bahagia sebab engkau menyadari bahwa anak yang beberapa waktu lalu masih dalam gendongau ternyata kini telah menggendong tas sekolah yang lebih besar dari badannya. Dalam hatimu berharap bahwa kelak anakmu akan menjadi seseorang yang mampu mengangkat derajatmu, menjadi kebangganmu. Engkau menaruh harapan dalam dadamu agar kelak anakmu menjadi orang yang berguna.
Saat aku mencium punggung tanganmu di gerbang sekolah untuk pertama kali, dan aku melihat gurat kesedihan. Aku tahu, dalam hatimu memang ada kesedihan. Selama anakmu berada di sekolah, maka engkau akan merasa kesepian. Tak ada lagi anak kecil yang sering membuatmu jengkel namun sering juga membuatmu tertawa karena tingkahnya. Engkau bersedih karena saat emgkau mwlwpas anakmu di gerbang sekolah, itu artinya engkau juga melepas sebagian waktu yang biasa engkau habiskan bersama anakmu.
Saat aku mencium tanganmu dan mulai melangkahkan kaki ke kelas maka aku menyaksikan raut ketakutan di wajahmu. Engkau takut anakmu yang masih kecil itu belum mampu mengikuti semua pelajaran di sekolah yang sukar, meski ketakutanmu berlebihan. Engkau juga takut anakmu yang baik itu akan terbawa pergaulan yang tak baik hingga membuat harapanmu padanya hilang. Dan yang paling penting yang engkau takutkan adalah setelah anakmu masuk bangku sekolah maka hanya menghitung waktu saja anakmu akan segera berada di tempat yang jauh darimu. Meski sebenarnya masih lama namun engkau sudah merasa takut akan kehilangan sosok anakmu.
Benar kan bu apa yang aku ungkapkan?
Tentu engkau akan menganggukkan kepala sambil mengusap cairan bening di sudut matamu. Karena itu semua aku tahu dari perempuan-perempuan yang baru saja mengalami hal yang demikian. Dan itu juga mampu membuat hatiku bergetar.
Ah, tiba-tiba saja aku merasa bersalah terhadapmu.
Engkau adalah orang yang paling perhatian dengan semua kebutuhanku. Namun, aku sering mengabaikan perhatian-perhatianmu.
Dulu, saat aku hendak sekolah, pagi sekali ibu sudah bangun hanya untuk menyiapkan sarapan pagi untukku sebelum sekolah. Engkau ingin agar anakmu ini bisa fokus belajar tanpa merasa lapar. Namun, lagi-lagi aku sering mengabaikan ajakan sarapanmu. Aku sering mengabaikan makanan yang tersaji di atas meja makan. Aku memilih untuk berangkat ke sekolah tanpa pernah menyentuh makanan yang engkau siapkan. Padahal, engkau sudah bersusah payah menyiapkan semuanya. Tapi, aku tak pernah tahu diri.
Konon, seorang ibu akan bersedih jika anaknya tidak sarapan pagi saat hendak ke sekolah. Bukan karena usahanya untuk menyiapkan sarapan tidak di hargai anaknya namun justru seorang ibu bersedih karena takut anaknya merasa lapar di sekolah.
Ah, ibu memang seorang malaikat. Alih-alih menggerutu karena usahanya yang tak di hargai tapi justru malah mengkhawatirkan anaknya. Dan setelah itu, seorang ibu akan menatap makanan yang tersaji di meja makan yang belum di sentuh anaknya. Selera makan seorang ibu akan hilang karena memikirkan anaknya yang bisa saja kelaparan di sekolah.
Bu, apakah memang begitu kenyataannya?
Kenapa ibu tidak pernah menegurku dan memberitahu akan hal ini?
Mungkin, aku bisa sedikit saja menghargai usahamu untuk bangun pagi dan menyiapkan sarapan untukku. Aku juga mungkin tidak membuatmu khawatir.
Itu hanya hal-hal kecil saja. Masih banyak hal-hal besar yang kadang membuatmu harus mengelus dada oleh tingkah anakmu ini. Untuk hal-hal kecil saja aku masih abai dengan perasaanmu.
Alih-alih memarahi anakmu, engkau justru memberiku motivasi agar terus semangat bersekolah dan mengejar cita-cita.
Aku masih ingat saat awal-awal masuk sekolah aku sempat mogok dan tak mau melanjutkan. Namun, engkau dengan kelembutan terus membujukku. Seperti biasa, engkau akan mengeluarkan jurus ampuhmu yakni bercerita.
Satu cerita yang masih aku ingat sampai saat ini setelah beberapa tahun berlalu. Mungkin, ibu sudah lupa dengan cerita ini tapi aku akan selalu mengingat semua ceritamu.
Aku tidak tahu siapa yang membuat cerita ini, karena setelah beberapa tahun berlalu aku juga mendengar beberapa cerita yang hampir sama. Namun, yang aku tahu bahwa cerita ini pernah engkau ceritakan padaku.
Sekedar untuk mengingat saja, aku ingin berbagi cerita yang pernah ibu ceritakan padaku. Kurang lebih begini:
Di sebuah negeri, ada seorang janda yang tinggal di pinggiran kota dengan seorang anak laki-lakinya yang sedang duduk dibangku sekolah. Sang ibu bersusah payah bekerja siang dan malam tanpa henti seolah lupa untuk istirahat untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sekolah anaknya.
Satu hari, ibu ini menderita sakit rematik akut. Penyakit itu membuatnya sulit berjalan, apalagi untuk bekerja.
Satu saat, sekolah si anak mengeluarkan kebijakan yang mengharuskan muridnya membayar 30 kilogram beras sebagai pengganti biaya sekolah.
Mendengar kebijakan sekolah yang seperti itu, si anak dan ibunya sangat kaget. Mana mungkin dengan kondisi saat ini bisa memenuhi kewajiban sekolah?
Namun, sang ibu tetap tegar dan akan terus menyekolahkan anaknya. Tapi, justru si anaklah yang merasa kasihan dengan keadaan ibunya. Dia merasa ibunya pasti tidak akan sanggup memenuhi kewajiban sekolah. Mencari satu karung beras setiap bulan bukan perkara mudah bagi keluarga tersebut. Apalagi dengan sakit yang diderita, ibunya tidak mungkin bisa bekerja di sawah orang untuk mendapatkan sekarung beras yang dipinta sekolah.
Anak ini pun mengajukan diri pada ibunya untuk berhenti sekolah. Namun, sang ibu menjawab " ketika ibu sanggup menyekolahkanmu, itu berarti ibu yang akan menyiapkan segala sesuatunya. Ibu tidak setengah hati untuk menyuruhmu sekolah. Kau harus menjadi orang yang berhasil. Jangan cengeng! Jika benar-benar ibusudah tidak mampu, pasti ibu akan mengatakannya padamu."
Mendengar jawaban ibunya,si anak tak bisa menolak. Dia pun bertekad untuk berskolah sungguh-sungguh agar tidak mengecewakan ibunya.
Hari berganti hari. Dan tibalah saat semua orang tua mengumpulkan beras iuran sekolah. Semua beras dari orang tua harus di tuangkan di hadapan petugas sekolah. Ketika tiba karung si ibu dibuka, tampaklah beras yang sedikit kotor dan nampak itu adalah beras lama tidak sesuai dengan keinginan sekolah.
Melihat hal tersebut, petugas sekolah pun kesal pada si ibu. "Hai ibu, kami sudah memberikan yang terbaik pada anakmu. Mengapa engkau berikan beras seperti ini untuk sekolah anakmu? Bulan depan berikan yang terbaik!" Hardik petugas sekolah. Si ibu sedikit bersedih sebab hardikan pihak sekolah.
Bulan berikutnya pun tak jauh berbeda. Si ibu masih memberikan beras yang tidak bersih bahkan banyak yang masi dalam bentuk gabah. Pihak sekolah pun semakin kesal pada si ibu dan mengancam akan mengeluarkan si anak jika si ibu masih membeeikan beras yang sama pada bulan depan.
Bulan ketiga, si ibu pasrah dihadapan pihak sekolah dengan menyerahkan beras yang kulaitasnya lebih buruk dari bulan kemarin. Petugas sekolah yang sudah habis kesabaran akhirnya membawa si ibu kehadapan kepala sekolah dan guru senior.
Dihadapan kepala sekolah, si ibu ibu mengatakan dengan tersedu-sedu bahwa semua beras yang diserahkan kepada pihak sekolah adalah hasil mengemis hanya agar anaknya bisa tetap sekolah. Bahkan si ibu juga menunjukan kakinya yang bengkak akibat rematik kronis kepada kepala sekolah.
Melihat kondisi demikian, pihak sekolah pun merasa iba pada si ibu. Akhirnya, pihak sekolah membebaskan si ibu dari menyetor beras kepada pihak sekolah. Apalagi, anaknya adalah siswa yang berprestasi.
Si ibu tentu sangat bersyukur, namun dia juga mengajukan permintaan kepada pihak sekolah agar anaknya jangan pernah diberitahu tentang kejadian ini. Dia tidak mau anaknya menjadi sedih, malu, dan konsentrasi belajarnya terganggu. Dengan syarat tersebut, pihak sekolah pun menyetujuinya.
Beberapa tahun kemudian, tibalah saatnya sang anak lulus dan di wisuda. Pada kesempatan yang berbahagia itu, tampak ada yang aneh dari dekorasi aula sekolah yang dipakai untuk acara perpisahan dan wisuda, yakni ada tiga buah karung besar.
Ketika kepala sekolah memberikan sambutan, sambil menitikan air mata, ia berkata "Hadirin yang saya hormati dan anak-anak yang saya cintai, hari ini merupakan hari bahagia bagi kalian semua karena telah berhasil menyelesaikan salah satu tahap pembelajaran dalam dunia pendidikan. Kita ucap syukur kepada Tuhan karenaNya kita bisa menjadi saat ini. Juga kepada orang tua yang sudah bersusah payah membiayai, membimbing kalian setiap harinya. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan apresiasi, penghargaan, kehormatan kepada seorang ibu, orang tua murid yang telah berjuang keras menyekolahkan anaknya dengan tiga karung beras ini, beras yang diperoleh dengan susah payah setiap hari."
Lalu, pada kesempatan itu, kepala sekolah memanggil si ibu tadi maju ke depan dan menerima ungkapan tanda kasih dari sekolah. Melihat sang ibu maju ke depan, tiba-tiba sang anak berlari dan menubruk ibunya, memeluknya dengan erat sambil menangis tersedu-sedu. Kejadian tersebut menjadi sangat mengharukan dan membuat seisi ruangan aula turut menangis.
"Begitulah nak, jangan pernah menyerah. Syukurilah semua kesempatan yang kamu miliki saat ini. Karena tidak semua orang mampu berada di posisimu. Di luar sana, banyak sekali yang cemburu dengan apa yang sedang kamu keluhkan. Jangan pernah mengeluh hanya karena lelah, jangan menyerah hanya karena kesulitan. Di luar sana banyak sekali anak seusiamu yang sedang berlelah-lelah bahkan lebih lelah darimu bukan untuk sekolah namun untuk mencari nafkah. Mereka dipaksa keadaan untuk tidak berada di bangku sekolah. Di luar sana masih banyak anak seusiamu yang lebih sulit. Bukan karena sulit mengikuti pelajaran atau mengerjakan tugas-tugas sekolah. Mereka justru kesulitan untuk sekedar mencari sesuap nasi. Mereka kesulitan untuk sekedar membiayai hidupnya sendiri karena mereka hidup sebatang kara. Jangan pernah menyerah!" Katamu menutup cerita.
Waktu itu aku hanya mengangguk lemah.
"Bagi orang tua, tidak ada yang lebih membanggakan selain melihat anaknya bahagia. Semua orang tua menitipkan nama baiknya pada seorang anak. Jika anaknya baik, maka orang tua akan terbawa baik. Jika anaknya tidak baik, maka orang tua lah yang pertama menanggung malu. Jika anaknya berprestasi, percayalah bahwa orang tua akan menjadi orang yang pertama memberikan tepuk tangan yang paling keras untukmu." Tambahmu.
Aku menatap wajahmu dan engkaupun menganggukan kepala seraya tersenyum.
Sebegitu besarkah pengorbanan seorang ibu untuk ananya?
Kenapa aku tidak pernah peka terhadap semuanya.
Tiba-tiba saja aku teringat saat aku mendapatkan prestasi di sekolah. Tapi hari itu ibu tidak tepuk tangan saat yang lain memberikan tepuk tangan. Bukankah kata ibu, ibu akan menjadi orang yang pertama untuk memberikan tepuk tangan yang paling keras?
Justru aku melihat ibu berada di pojok. Hanya berdiri tanpa memberikan tepuk tangan bahkan tersenyum pun tidak. Yang aku lihat justru engkau beberapa kali mengusap air mata di pipimu dari jauh aku melihat bola matamu yang memerah sembab dan engkau sibuk mengusap air mata yang meronta untuk jatuh di pipimu.
Bagiku, itu lebih mengharukan daripada tepukan tangan yang paling keras sekalipun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar