Sabtu, 23 Juli 2016

Sejenak Saja


            Perjalanan cinta adalah pelajaran yang sangat indah yang diajarkan semesta pada manusia. Cinta adalah anugerah yang harus kita syukuri kehadirannya. Tak bisa untuk dipungkiri. Tak terelakan lagi.
Seperti itulah aku dan kamu yang telah sepakat untuk memasuki perjalanan indah itu bersama. Berdua mencari makna cinta yang sesungguhnya. Menikmati setiap langkahnya. Mensyukuri setiap keindahannya.
Kejenuhan kadang memang hadir diantara kita tanpa pernah kita undang. Bahkan tak pernah kita harapkan hadir. Namun, kejenuhan semacam rasa malas saat kita mempelajari pelajaran di sekolah yang harus kita taklukan. Atau kita yang akan menyerah terkalahkan oleh kejenuhan. Kejenuhan dalam sebuah hubungan adalah sebuah keniscayaan.
Pada titik tertentu, kita akan merasa bahwa hubungan kita terasa sangat membosankan. Perjalanan cinta kita terasa monoton. Hubungan yang kita jalani terasa datar- datar saja tanpa ada yang istimewa. Hal itu tak bisa terhindari dalam sebuah hubungan. Ada masanya kita merasa jenuh dengan sebuah hubungan yang dijalani. Itu adalah sebuah keniscayaan.
Itulah sebabnya ada hubungan yang harus kandas ditengah jalan. Ada hubungan yang tersandung ditengah jalan lalu jatuh berantakan.
Itu semua terjadi bukan karena tidak ada lagi cinta diantara mereka. Bukan. Melainkan mereka tidak mampu melawan rasa jenuh dan bosan yang hadir dalam hubungannya. Mereka terlalu cepat menyimpulkan bahwa kejenuhan itu adalah akhir dari segalanya.
Padahal tidak demikian. Bukankah kita sering mendengar jika ada dua orang kekasih yang telah putus lalu keduanya merasakan kegalauan dan kesedihan?
Kenapa mereka harus bersedih jika mereka berdua yang memutuskan untuk menyudahi hubungan?
Jawabannya karena sesungguhnya mereka bukan sudah tidak saling mencintai. Pada diri masing-masing masih ada cinta.
 Lalu kenapa harus menyudahi hubungan jika masih ada cinta?
Sebab mereka tidak mampu mengendalikan rasa jenuh yang ada pada diri masing-masing.
Begitupun dengan hubungan yang kita jalani, sayang.
Suatu saat, akan ada masanya kejenuhan juga akan menghampiri hubungan kita. Kebosanan akan hadir diantara kita. Aku berharap, agar kamu kuat melawan rasa jenuh dalam dirimu jika suatu saat hadir. Sebagaimana aku akan bertahan melawan rasa jenuh dengan mengingat kenangan manis yang pernah kita lewati bersama.
Aku takut jika suatu saat nanti kejenuhan datang, kamu menyerah dan memilih menyudahi hubungan kita.
Meskipun aku berhasil mengendalikan rasa jenuhku, akan sia-sia saja jika ternyata kamu sendiri memilih menyerah. Aku tidak menginginkan itu.
Sayang,
Jika pun masa itu tiba, masa dimana rasa jenuh menghantui hubungan kita. Katakan saja padaku. Bukan pada orang lain yang tak pernah tahu sperti apa hubungan yang sudah kita jalani.
Barangkali, kita perlu waktu untuk tidak berjumpa. Sampai rasa rindu membunuh rasa jenuh dengan sendirinya.
Tapi sejenak saja, sebab aku tak kan mampu menahan rindu jika terlalu lama.
Barangkali, kita perlu untuk mencipta sedikit pertengkaran agar kita tahu betapa indahnya saat dua insan saling merajuk untuk bisa saling berbaikan.
Tapi sejenak saja, sebab aku tidak akan sanggup jika kamu terlalu lama marah padaku,
Barangkali, kita perlu pergi ke masa lalu untuk mengulang kembali kenangan indah yang pernah kita lewati berdua.
Tapi sejenak saja, sebab aku ingin hidup bersamamu di masa depan bukan di masa lalu.
Barangkali, kita perlu melakukan hal-hal yang tak biasa untuk mengelabui rasa jenuh. Sebab, bagiku rasa jenuh dalam sebuah hubungan hanyalah pesan alam agar kita bisa melangkah lebih jauh dalam hubungan. Agar kita membuka tabir kebahagiaan yang tersembunyi. Namun, kita sering menyalahartikan makna kejenuhan.
Seperti katamu;
Hal-hal yang sederhana kadang adalah hal yang istimewa. Lebih tepatnya kesederhanaan yang kita istimewakan.
Ingatlat itu selalu sayang saat kejenuhan itu menghampiri.
Asalkan kita melewatinya berdua, aku yakin tidak aka nada lagi kejenuhan dalam hubungan yang kita jalani. Berdua saja tanpa ada dia atau mereka.
Ah, sepertinya kamu beranggapam ketakutan ku kehilanganmu  terlalu berlebihan. Bagiku, itu tidak berlebihan melainkan karena memang kamu istimewa dalam hidupku.
Atau, barangkali kita harus membiarkan kejenuhan dan kebosanan itu hadir dalam hubungan kita.
Tapi, sejenak saja. Sebab aku mencintamu selamanya. Seutuhnya.
Tak terbantahkan.

***

Rabu, 09 Maret 2016

Tentang Melupakan

Bagaimanapun juga kamu pernah menjadi bagian dari cerita perjalanan hidupku. Kita pernah berbagi suka dan duka. Kita pernah berbagi tawa dan air mata. Maka, aku tidak akan mungkin mampu melupakan semuanya dengan mudah.

Bagiku, ada perbedaan antara mengingat dan tidak bisa melupakan. Jika kamu bertanya aku berada diposisi mana, aku tentu akan menjawab bahwa aku berada pada posisi 'tidak bisa melupakan' kenangan diantara kita. Aku bukan berada pada posisi 'mengingat' kenangan diantara kita. Aku tidak pernah berniat mengingat semua kenangan diantara kita karena hanya akan membuat sesak hati. Tapi, aku juga tidak mampu untuk memaksa melupakan semua kenangan itu.

Meskipun kamu telah pergi jauh dariku atau bahkan telah lupa padaku, tapi tidak dengan kenangan diantara kita. Sejauh apapun aku pergi. Seberapa kuat usahaku untuk menjauh dari kehidupanmu, kenangan itu tetap saja mengikuti. Itulah sebabnya aku memilih menyimpan kenangan diantara kita pada tempat yang spesial dibagian hatiku.

Mungkin benar apa yang dikatakan seorang sahabat bahwa :

"Mereka yang tidak mengenang hari-hari indah di masa lalunya, hanyalah orang-orang yang bahkan tidak mampu menyadari keberadaan dirinya sendiri."

Itulah sebabnya aku memilih menyimpan semua kenangan yang pernah kita ciptakan. Bukan karena aku tak rela kehilanganmu melainkan karena aku tak mampu melupakan kenangan kita. Itu saja.

Aku selalu percaya dengan satu hal bahwa tanpa kita rela kehilangan sesuatu, tidak mungkin kita mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Itulah caraku melupakanmu dan bukan melupakan kenangan kita.

Percayalah.

***

Minggu, 14 Februari 2016

Pembuka (Surga Yang Terabaikan)

Pagi hari adalah waktu yang baik untuk menikmati udara bersih. Menghirupnya. Meresapinya. Menikmati saat partikel-partikel udara pagi itu masuk mengisi rongga paru-paru kita dengan mata terpejam lalu menghembuskannya bersama dengan rasa syukur yang terucap.

Entah ini sudah menjadi pagi ke berapa aku berada di tanah orang. Yang jelas sudah hampir dua tahun aku berada disini. Berdiri diantara gedung-gedung tinggi. Bersahabat dengan udara yang terkontaminasi asap kendaraan dan corong-corong pabrik. Berkutat dengan kesibukan metropolitan. Berbaur dengan aktivitas masyarakat perkotaan. Berkejaran dengan waktu yang tak mengenal kompromi.

Maka, pagi adalah suasana yang selalu kurindukan disini. Karena saat pagi hari, udara masih segar walau tak sesegar udara pedesaan.

Tak terkecuali untuk hari ini. Meskipun ini adalah hari minggu namun aku tak ingin ketinggalan menikmati segarnya udara pagi perkotaan sebelum nanti siang dipaksa menghirup udara khas perkotaan yang kotor menyesakkan dada.

Seperti biasa, akhir pekan selalu menjadi waktu yang tepat untuk mengistirahatkan tubuh.

***

Aku mencoba mengaktifkan telepon seluler yang sempat di non aktifkan tadi malam. Memang, setiap malam minggu, aku selalu menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatku. Jika sudah bersama mereka aku memilih tidak mngaktifkan telepon seluler.

Beberapa saat setelah menyala, terdengar sepuluh kali nada pesan masuk berbunyi. Semuanya pesan dari ibuku. Aku membaca satu per satu pesan yang masuk itu.

"Nak, kenapa nomornya gak aktif?" Isi pesan pertama.

Pesan kedua pun isinya sama dengan pesan pertama.

"Apakah kamu baik-baik saja?" Isi pesan ketiga.

"Apakah kamu sakit nak?" Isi pesan ke empat.

Pesan-pesan berikutnya pun isinya hampir serupa dengan pesan sebelumnya. Aku menghapus semua pesan-pesan itu tanpa berniat untuk membalasnya.

"Baru juga seminggu yang lalu aku telepon." Gerutuku sambil menghapus satu per satu pesan dari ibu.

Setiap berkumpul dengan sahabat memang aku tak pernah mengaktifkan telepon seluler karena pasti akan terus berdering dengan nama pemanggil yang sama yakni ibuku. Kalau sahabat-sahabatku tahu bahwa yang menelponku adalah ibu tentu aku akan menjadi bahan ledekan mereka.

"Ciieeeee... Anak mamah. Angkat dulu tuh telepon pasti ibumu mau ngingetin kamu buat minum susu atau minum obat...Hahaha." Itu adalah ledekan yang biasa keluar teman-temanku.

"Anak mamah jangan malam-malam yah pulangnya. Entar sakit lagi... Hahaha." Itu ledekan lainnya.

Masih banyak ledekan teman-temanku yang lain saat kami sedang berkumpul lalu aku menerima telepon dari ibuku. Itulah sebabnya jika sedang berkumpul dengan mereka lebih memilih untuk tidak mengaktifkan telepon.

Akhir pekan kali ini aku memutuskan untuk menikmatinya dengan berselancar di dunia maya. Melihat beberapa postingan sahabat maya yang beragam. Dari postingan tentang pacarnya yang tak pernah memberi kabar. Postingan orang-orang yang mengeluh di dunia maya. Postingan tentang kata-kata bijak. Atau postingan dari media online yang tak jelas kebenarannya. Dunia maya memang dipenuhi dengan beragam hal yang kadang lucu, kadang menjengkelkan. Aku memang selalu betah berlama-lama berselancar di dunia maya karena beberapa alasan.

Saat aku berselancar di dunia maya, pandanganku tertuju pada potingan seorang teman. Dia memposting gambar seorang perempuan tua yang telah renta. Perempuan pada gambar itu tertunduk lemah sambil mengusap air matanya. Sangat membuat pilu siapa saja yang melihatnya. Terlebih jika membaca tulisan pada foto tersebut.

Pada gambar tersebut tertulis dengan jelas dengan huruf kapital.

"BIARPUN SHALATMU BERIBU-RIBU RAKAAT. HAJIMU BERPULUH-PULUH KALI. SEDEKAH BERJUTA-JUTA RUPIAH. TAPI, SAAT KAU GORES HATI IBUMU, MAKA SURGA TAK LAYAK UNTUKMU"

Aku mencoba membuka satu per satu komentar dari foto tersebut.

"Ah, andai ibuku masih hidup. Tak kan ku sia-siakan dia. Aku ingin kembali menjadi anaknya yang berbakti. Tapi sayang sekali, ibuku telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa." Kata salah seorang perempuan disertai dengan emoticon menangis.

"Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku." Kata salah seorang lagi.

"Ya Allah semoga kami di jauhkan dari predikat anak durhaka. Jadikanlah kami anak yang selalu berbakti pada orang tua." Kata salah seorang laki-laki disertai emoticon sedih juga.

Aku tidak menlanjutkan membaca komentar-komentar pada foto tersebut. Tiba-tiba saja aku merasakan tangan yang sedari tadi menggenggam telepon melemas. Aku kembali membaca kembali tulisan pada foto perempuan renta tersebut secara perlahan.

"Biarpun sholat beribu ribu rakaat. Haji berpuluh puluh kali. Sedekah berjuta juta rupiah. Tapi, saat kau gores hati ibumu, maka surga tak layak untukmu."

Aku memejamkan mata. Menyandarkan kepalaku pada tembok. Aku berusaha meresapi setiap kata yang tertulis pada gambar tersebut. Sampai tak terasa bulir-bulir air mata jatuh di pipiku.

Tiba-tiba semuanya terasa sepi. Semuanya terasa hampa. Pikiranku menerawang ke masa-masa yang telah lalu. Satu per satu rangkaian kejadian muncul di pikiranku.

***

Hari itu, telepon ku berdering pertanda ada panggilan masuk. Aku melihat pada layar teleponku siapa yang memanggil. Panggilan dari ibuku.

Dengan malas aku mengankat telepon tersebut karena akan terus berdering jika tak ku angkat.

"Halo... Assalamualaikum." Ucapku berusaha bersikap biasa meski sebenarnya sedang malas mengangkat telepon karena badan sedang lelah.

"Waalaikumsalam... Sedang apa nak?" Tanya ibuku dari seberang dan terdengar riang.

"Nih, baru mau mandi. Baru datang main." Jawabku datar.

"Darimana? Dengan siapa?"

"Dengan teman." Jawabku malas.

Begitulah jika aku menerima telepon dari ibuku saat sedang lelah. Aku hanya menanggapi pertanyaannya saja tanpa mau bertanya. Padahal, jika teman-temanku yang menelpon aku selalu gembira meskipun sedang dalam kondisi lelah.

"Jangan terlalu sering main jauh." Katanya.

"Kenapa?"

"Ya jangan saja. Lebih baik istirahat di rumah saja."

"Kalo di rumah terus sumpek." Jawabku ketus.

"Tapi tidak harus main jauh." Jawab ibuku. Suaranya terdengar ragu-ragu.

Entah kenapa, saat aku berada di tanah orang ibuku seolah berubah. Dia selalu melarang ini dan itu. Itu menjadi salah satu alasan kenapa aku malas menerima telepon darinya.

"Bu, anakmu ini sudah gede. Sudah bisa jaga diri. Sudah tahu mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tak boleh dilakukan. Jadi, tidak usah melarang ini dan itu!" Kataku dengan nada tinggi karena sedikit jengkel.

Suasana di telepon kembali hening. Ibuku belum mengatakan apapun.

"Tapi ibu khawatir nak." Ucap ibuku dari seberang sana. Sauaranya terdengar lemah.

"Kekhawatiran ibu terlalu berlebihan. Kalau khawatir ya doakan saja jangan melarang ini dan itu." Kataku dengan ketus dan dengan nada tinggi.

"Sudahlah bu. Aku mau mandi capek." Sambungku sebelum sempat ibu berbicara lagi.

Aku menutup telepon itu tanpa salam atau permisi. Saat itu aku tidak peduli dengan perasaan ibuku.

Kembali air mataku menetes. Aku belum kuasa membuka mataku. Aku tak habis pikir kenapa aku mudah sekali emosi jika berbicara di telepon dengan ibu.

Belum sempat aku membuka mata, tiba-tiba saja aku teringat kejadian beberapa waktu yang lalu.

Saat itu, aku baru saja pulang dari menjalani aktivitas harianku yang padat. Tiba-tiba teleponku berdering. Kembali panggilan dari ibuku.

"Ada apa lagi sih. Perasaan baru seminggu yang lalu dia telepon." Gerutuku saat dengan malas mengangkat telepon.

"Halo... Ada apa sih bu?"Sambarku tanpa mengucapkan salam.

"Tidak. Ibu hanya ingin tahu kabarmu." Jawabnya dengan suara terdengar sedikit bergetar.

Mungkin ibuku kaget karena di jegal pertanyaan dariku.

"Ibu kan tahu. Jam segini aku baru pulang. Harusnya kalau mau telepon ya nanti." Kataku dengan ketus.

"Iya nak. Ibu tahu maafkan ibu. Harusnya, kalau kamu merasa lelah tidak usah diangkat saja telepon ibu." Suaranya terdengar berat.

"Bukannya kalau tidak di angkat ibu akan telepon terus?" Sergahku dengan nada kesal.

"Iya nak, maafkan ibu. Ya sudah lebih baik kamu segera mandi, makan dan jangan lupa istirahat. Assalamualaikum." Aku bisa mendengar dengan jelas bahwa suara ibu saat itu sangat berat seolah sedang menahan sesuatu. Bodohnya lagi, aku tidak peduli.

Kembali air mataku meleleh.

"Kenapa aku bisa bersikap seperti itu pada ibuku? Padahal di luar sana banyak anak yang selalu merindukan perhatian ibuku namun tak pernah mereka dapatkan." Hatiku berbisik membuatku tak kuasa untuk menahan air mata ini agar tidak jatuh.

Memang, perhatian ibuku kadang terlalu berlebihan meskipun karena rasa khawatirnya. Namun, ada hal yang tak berubah dari ibuku yakni ibuku tak pernah marah meskipun aku sering marah padanya di telepon. Ibu tidak marah dengan perubahan sikapku padanya. Kenapa aku tidak menyadarinya?

Ah, benarkah bahwa aku telah menjadi anak yang paling durhaka?

Satu per satu kelancanganku pada ibu seolah di putar secara keseluruhan.

Seminggu setelah kejadian itu ibuku tidak menelpon lagi. Dia hanya mengirimkan pesan singkat saja.

Bagaimana kabarmu, nak? Apakah sedang sibuk? Ibu ingin menelponmu. Ibu sudah kangen mendengar suaramu.

Begitulah isi pesannya. Sebanrnya aku sedang tidak sibuk. Hanya saja, aku berpikir nanti sajalah membalasnya. Toh, baru juga minggu kemarin telepon.

Sampai dua minggu setelah itu aku tidak menjawab smsnya apalagi berniat untuk meneleponnya. Aku selalu asyik dengan duniaku. Terutama dengan teman-teman baruku disini.

Mungkin karena sudah dua minggu tak kunjung mendapat balasan pesan dariku, ibu kembali menelpon.

"Halo nak, apakah kamu baik-baik saja?" Tanya ibuku dengan ramah namun dengan suara yang sedikit hati-hati.

"Baik." Jawabku.

"Syukurlah. Ibu hanya kangen mendengar suaramu."

"Baru juga dua minggu tidak telepon bu." Jawabku.

"Tapi ibu sudah kangen."

Entah kenapa, aku merasa bahwa apa yang dilakukan ibuku terlalu berlebihan.

"Bu, yang anaknya merantau bukan hanya ibu. Banyak yang anaknya merantau tapi tidak seperti ibu yang setiap minggu harus telpon. Bukankah ibu juga yang mengatakan bahwa merantau bagian dari perjalanan hidup? " Tukasku.

"Iya, maafkan ibu nak. Mungkin ibu nelum terbiasa saja. Nanti, ibu hanya akan menunggu telepon darimu saja. Kalau kamu waktu senggang tolong sempatkan untuk menelpon ibu ya! Ibu akan selalu menunggu kabar darimu." Katanya. Suaranya terdengar lirih.

"Iya."

Begitulah. Semakin lama aku berada jauh dari ibuku. Rasanya aku semakin malas menerima telepon dari ibuku. Apalagi menelponnya. Padahal saat aku baru saja merantau selalu senang jika mendapat telepon dari rumah. Mungkin, karena aku telah mendapatkan dunia baruku disini.

Padahal, mungkin sebenarnya hal yang wajar jika ibuku khawatir terhadapku karena aku anak pertamanya. Aku merantau tanpa sanak saudara disini. Tapi aku tak pernah menyadari itu.

***

Perlahan aku membuka mataku. Aku berusaha mengusap air mata di pipi. Rasanya, aku tak kuat berlama-lama menutup mata karena hanya akan memunculakan satu per satu pertunjukan kedurhakaanku pada ibu.

Aku teringat pada sebuah nasihat seorang guru yang sempat aku lupakan:

Hati-hatilah jika ibumu sudah merasa takut kepadamu. Karena itu artinya kamu telah menjadi anak yang durhaka sesungguhnya. Bukankah berkata 'ah' saja sudah berdosa dan termasuk durhaka?

Kenapa aku terlalu bodoh untuk mengingat nasihat itu?

Kenapa aku terlalu bodoh untuk menyadari bahwa selama ini ibu tidak pernah marah?

Kenapa aku terlalu bodoh untuk menyadari bahwa selama ini sikapku membuat ibub takut untuk sekedar bercerita lagi denganku bahkan untuk sekedar mendengar kabar dariku?

Jika yang rajin beribadah saja akan menjadi sia-sia jika membuat luka di hati ibunya lantas bagaimana denganku?

Yang jangankan untuk shalat ribuan rakaat. Untuk menjalankan shalat fardu saja masih malas-malasan.

Jangankan untuk bersedekah jutaan rupiah. Untuk sekedar mengisi kotak amal mesjid saja masih pikir-pikir.

Lantas untuk apa aku menjalani semua kehidupan ini jika tiada kebahagiaan yang dapat kuraih di kemudian hari?

Bukankah ridha Allah ada pada ridha orang tua?

Ah, hari ini aku merasa jadi manusia paling hina.

Aku segera membuka-buka kontak teleponku setelah aku berusaha menguasai diri dan menghentikan air mata yang mengalir.

Saat aku menemukan kontak ibu aku berniat mengurungkan niatku untuk menelponnya.

Aku mencari kontak adikku.

//Dik, ibu sedang apa disana?//

Begitulah isi pesan yang aku kirimkan pada adikku.

Tanpa menunggu lama, segera kuterima balasannya.

//Dari pagi ibu tidak ingin kemana-mana kak. Katanya ibu malas melakukan apapun sebelum mendengar suara kakak dan belum mengetahui kabar kakak. Kenapa kakak tidak membalas pesan ibu?//

Deggg... Kembali hatiku bergetar.

//Biasanya kalau kakak habis menelpon ibu bagaimana reaksinya?// Tanyaku kembali tanpa menghiraukan pertanyaan adikku.

// Akhir-akhir ini ibu selalu menangis setelah berbiacara dengan kakak di telepon. Katanya sekarang kakak berubah. Tapi perlu kakak tahu kalau ibu tidak pernah marah meski diperlakukan seperti itu. Katanya, rasa khawatir ibu lebih besar dari marah ibu. Padahal, ayah selalu berniat memarahi kakak jika mendapati ibu menangis setelah berbiacara dengan kakak. Namun ibu selalu melarang dengan alasan mungkin kakak sedang banyak masalah. Itu saja. Kasihan ibu kak daei tadi pagi terus menanti telepon dari kakak//.

Aku tidak kuasa untuk menulis pesan kembali. Kini air mataku mengalir lebih deras.

Ya Allah, ampunilah dosaku.

***

Hujaman dosa membuat hatiku merintih. Ini lebih menyesakkan dari udara perkotaan. Ini lebih menyesakkan daripada himpitan batu yang di timpakkan di atas tubuh.

Maka, dengan segenap kekuatan yang tersisa. Aku ingin menuliskan sesuatu yang sempat terlupakan. Memunguti satu per satu kenangan yang sempat terbuang...

Pada surat bisu
Dari seorang yang dilanda rindu.
Pada seorang ibu...

***

Penutup (Sebelum Masa Itu Tiba)

Dalam cinta, tidak peduli dia laki-laki ataupun perempuan. Keduanya memiliki kapasitas rasa yang sama. Hanya terkadang cara mengungkapkannya saja yang berbeda. Namun, selalu bermuara pada kebahagiaannya dan kebahagiaan orang yang di cintai.

Ini bukan tentang cinta seorang laki-laki pada seorang perempuan atau sebaliknya. Ini adalah kisah dimana seseorang yang mencintai namun merasa tak membahagiakan dia yang dicintainya. Atau bahkan, ia tak pernah menghargai cintanya. Bahkan, air mata pun seperti cinta. Ia tak mengenal laki-laki atau perempuan. Jika memang harus jatuh berurai maka tak bisa membendungnya.

Ini adalah kisah tentang seorang anak manusia yang tak bisa memahami bahwa selalu ada yang mencintainya. Kisah seorang anak manusia yang belum mampu menangkap kenyataan bahwa ada orang yang selalu mendoakan untuk kebahagiaannya, ada orang yang selalu mencemaskannya, ada yang mencintai tanpa pernah mengharapkan balasan. Namun selalu terabaikan. Meski begitu, cintanya tak pernah hilang walau sekejap, tak pernah mati walau sedetik. Seseorang itu bernama Ibu.

Kisah ini, terjadi beberapa waktu yang silam.

***

"Minggu depan jadi ikut?"Tanya Luqman saat kami sedang bermain gitar.

Luqman adalah sahabatku selama berada di perantauan. Aku sudah menganggapnya seperti saudara sendiri. Dia adalah sahabat yang sederhana dan tak pernah banyak tingkah. Katanya, dia memiliki seorang adik perempuan yang masih duduk di bangku SMA dan ibu yang luar biasa. Hampir setiap malam, dia selalu bercerita tentang sosok ibunya. Dia mneceritakan sosok ibunya seolah tanpa cela. Itulah yang membuatku memutuskan ikut kekampung halamannya libur panjang minggu depan. Selain untuk berkenalan lebih jauh dengan ibu dari sahabatku, sekalian menjenguk.

"Tapi, jangan lupa kenalin sama adikmu ya! Hahaha." Sebenarnya itu hanya bergurau. Karena Luqman pernah bercerita bahwa adiknya sangat cantik. Walaupun aku kira itu hanyalah cara seorang kakak memuji adiknya sendiri karena seorang kakak tentu tak akan menjelekkan adiknya sendiri.

"Sebenarnya kau mau ketemu ibuku ata adikku?" Tanyanya dengan tatapan khas seorang kakak yang melindungi adiknya.

"Dua-duanya." Jawabku dengan tidak bisa menahan untuk tidak tertawa.

Luqman menempuk dahinya.

Obrolan terhenti. Luqman kembali memetik gitar yang sedari tadi berada di pelukannya. Ini adalah cara kami menikmati malam. Memetik gitar ditemani secangkir kopi untuk berdua.

Setelah menyeruput kopi, Luqman langsung memetik gitarnya. Sebuah lagu dari Iwan Fals berjudul Ibu. Ini adalah lagu favoritnya. Jika sudah melantunkan lagu ini dia akan menikmatinya sendiri. Matanya akan terpejam seolah pikirannya masuk dalam setiap lirik lagu tersebut. Petikan gitarnya pun seolah ia petik dengan sepenuh hati. Puncaknya, dia akan menangis.

Katanya, dia selalu teringat ibunya. Ah, aku pikir karena Luqman hanyalah anak manja yang belum siap jauh dari ibunya. Sampai saat itu Aku juga menganggap air mata hanyalah menunjukan kelemahan seorang laki-laki.

Waktu yang dijanjikan itu tiba. Pagi-pagi sekali Luqman sudah mengingatkanku. Hanya ada dua bus dari kota yang menuju ke kampunya. Jadi jangan sampai terlambat atau harus menunggu bus yang berangkat nanti sore.

Bus yang kami tumpangi melaju dengan kecepatan yang masih normal jika dibandingkan bus yang biasa aku tumpangi jika pulang kampung. Sepanjang perjalanan, pemandangan yang terhampar di pinggiran jalan tak jauh berbeda dengan jalan yang biasa aku lewati saat pulang kampung. Hamparan sawah yang mulai menguning, kios-kios kecil, dan perkampungan warga.

Sepanjang perjalanan, aku lebih banyak bercerita. Yang intinya, pulang ke kampungnya terasa seperti pulang ke kampungku. Aku juga banyak bertanya tentang ibunya dan sesekali membandingkannya dengan ibuku. Sementara Luqman lebih banyak diam. Hanya sesekali menjawab pertanyaanku jika memang perlu dijawab. Selebihnya hanya anggukan atau sedikit tersenyum. Harusnya, ini menjadi perjalanan yang menyenangkan.

Kemarin, adiknya memberitahu bahwa Ibunya kembali harus dibawa ke rumah sakit. Itulah yang membuat Luqman lebih banyak diam. Aku berusaha memahaminya.

"Sabarlah, Ibumu pasti baik-baik saja." Kataku. Berusaha menguatkan hatinya.

Dijawab dengan anggukan.

Selebihnya, kami menikmati perjalanan dengan diam.

Setelah melewati perjalanan yang panjang, akhirnya kami tiba di terminal kota. Tak terlalu padat, namun tetap ramai. Untuk sampai di kampung Luqman, kami harus menaiki angkutan desa selama kurang lebih setengah jam.

Suasana desa yang tenang, nyaman dan asri. Rumah Luqman tak jauh berbeda dengan rumah kebanyakan penduduk kampung. Rumah sederhana dengan cat putih yang sudah sangat pudar.

Luqman bertanya pada tetangga di Rumah Sakit mana ibunya dirawat. Setelah itu kami bergegas pergi ke Rumah Sakit yang disebutkan. Aku tak banyak bicara selain mengikuti kemanapun Luqman pergi.

Rumah Sakit itu tidak terlalu besar, namun ramai oleh lalu lalang orang yang berkepentingan.

Setelah bertanya sana-sini, akhirnya kami sampai di depan sebuah ruangan dengan pintu yang tertutup. Luqman lalu mengetuk pintunya denga pelan.

Seorang gadis membuka pintu. Aku bisa menebak bahwa itu adalah adiknya. Ternyata memang benar apa yang dikatakan Luqman bahwa adiknya sangat cantik. Tapi, ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan itu.

"Bagaimana keadaan ibu?" Tanya Luqman dengan gusar.

"Untuk saat ini ibu bisa istirahat dengan tenang setelah tadi diperiksa oleh dokter."

Luqman lalu mendekati ibunya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Mencium tangan ibunya. Lama sekali. Seolah dia tak mau melepaskan ciuman itu. Matanya terpejam seolah ingin memberikan energi pada ibunya. Aku yang berada disampingnya bisa merasakan bahwa dia sedang menahan tangis.

Aku yang menyaksikan pemandangan itu merasa terharu. Sahabatku, yang selalu menjadi penghiburku saat berada di tanah rantau ternyata adalah seorang anak yang sangat dekat dengan ibunya.

Aku mengamati tubuh ibunya yang terbaring lemah. Badannya kurus kering, wajahnya pucat terlihat sangat lelah melawan sakit. Sakit yang diderita membuatnya terlihat lebih tua dari usianya. Ini jauh sekali dengan yang aku bayangkan.

Beberapa kali aku pernah berbicara dengan ibunya Luqman. Di seberang telepon dia selalu nampak riang seolah tidak memiliki penyakit.

Ah, tiba-tiba saja aku teringat dengan wajah ibuku. Kapan terkahir kali aku menatap wajahnya? Mengamati gurat-gurat kelelahan dari wajahnya.

"Apa kata dokter tentang penyakit ibu?" Luqman bertanya pada adiknya.

"Kata dokter,Ibu mengalami komplikasi."

"Komplikasi?"

"Iya, selain sakit dibagian lambung yang tak kunjung sembuh, beberapa bulan terakhir ibu juga sering mengeluh sakit di bagian yang lain. Terutama di bagian dada. Setiap hari ibu hanya bisa berbaring di tempat tidur, dua bulan kebelakang."

"Beberapa bulan terakhir? Dua bulan terakhir ibu hanya bisa terbaring di tempat tidur? Bukankah dua minggu yang lalu saat aku telpon dia masih mengatakan baik-baik saja? Kenapa kamu tidak pernah mengabarkan kalau ibu sakit?" Tanya Luqman dengan suara yang sedikit bergetar. Seolah berusaha menahan agar ia tidak berteriak dihadapan adik dan ibunya.

"Iya, beberapa bulan terakhir ibu sering dibawa ke Rumah Sakit walaupun hanya dirawat semalam. Dan dua bulan terakhir ibu tidak bisa melakukan aktivitas apapun selain terbaring di tempat tidur. Dua minggu yang lalu, saat kakak menelpon, dia memang berusaha untuk terdengar sehat saat berbicara. Hanya agar kakak tidak merasa khawatir dan cemas disana. Bukan aku tidak ingin mengabari kakak prihal sakitnya ibu. Tapi ibu sendiri yang melarang aku untuk mengabari kakak. Katanya, banyak yang harus kakak pikirkan dan kerjakan disana. Ibu tidak ingin sakit ibu membuat kakak cemas. Ibu tidak ingin konsentrasi kakak terganggu hanya karena memikirkan kondisi ibu. Ibu tidak ingin pekerjaan kakak terganggu hanya karena mencemaskan ibu. Maafkan aku,kak. Itulah sebabnya ibu selalu berusaha tegar dan bahagia saat menerima telpon dari kakak. Hanya agar kakak percaya bahwa ibu dalam keadaan sehat dan baik-baik saja." Jawab adiknya dengan suara serak menahan tangis.

Luqman hanya bisa melenguh. Mengusap wajahnya. Dia tak bisa menyalahkan siapapun.

Aku yang mendengarkan percakapan itu merasa terharu. Dua minggu yang lalu, aku juga sempat berbicara dengan ibunya Luqman dan mengatakan saat libur panjang akan ikut pulang ke kampungya. Dari suaranya di seberang telepon, tak ada tanda-tanda bahwa dia sedang sakit. Bahkan aku sempat melemparkan candaan tantang anak gadisnya.

Aku menatap wajah perempuan yang hampir tiap malam selalu Luqman ceritakan kebaikannya. Wajah yang lelah. Wajah itu mendadak seolah berubah menjadi wajah ibuku.

Mungkinkah semua ibu sama?
Saat ibuku menjawab kabarnya baik-baik saja, mungkinkah ibu juga sedang berbohong dengan kondisinya. Hanya agar anaknya tak merasa khawatir.?

Sedang apa ibu saat ini? Apakah sedang menanti kabar dari anaknya yang sudah cukup lama tidak memberi kabar?

Ataukah dia sedang tergolek sakit seperti ibunya Luqman dan melarang orang rumah memberitahuku terlebih dahulu hanya karena takut aku khawatir?

Tak terasa mataku sedikit basah.

"Kapan kamu tiba, nak?" Suara lemah ibunya Luqman menyadarkan lamunanku.

Ibunya Luqman sudah sadar dari tidurnya. Luqman menggenggam erat tangan ibunya.

"Kenapa ibu tidak memberitahuku kalau ibu sakit?" Tanya Luqman dengan suara lirih mengabaikan pertanyaan ibunya.

Sementara, ibunya hanya menjawab dengan senyuman.

"Kapan kamu tiba?" Kembali pertanyaan itu terucap dari bibir ibunya.

"Tadi siang bu. Dan ini temanku yang sering bicara dengan ibu di telepon." Luqman menunjuk ke arahku yang sedang berdiri.

Ibunya Luqman tersenyum lemah padaku. Senyuman yang membuatku merasa iba.

"Maafkan ibu,nak. Ibu telah membuatmu khawatir."

Luqman hanya menggeleng sambil mencium kembali tangan ibunya. Sementara jari ibunya berusaha membelai kepala luqman. Persis seperti kebiasaan ibuku. Ah, ternyata semua ibu dimanapun selalu sama.

Tiba-tiba nafas ibunya Luqman seperti tersengal. Nafasnya memburu. Naik turun tak teratur. Tangannya memegangi dada. Sementara tatapan matanya terbuka dengan bola mata yang seperti menguning.

Luqman langsung berseru-seru memanggil dokter dan menyebut-nyebut ibunya. Panik.

Beberapa detik kemudian dokter dan perawat memasuki ruangan tempat ibunya Luqman dirawat dengan membawa beberapa peralatan medis. Kami bertiga di suruh menunggu di luar.

Aku melihat wajah kakak beradik yang sedang gelisah. Adik perempuan Luqman duduk di bangku dengan mata yang basah. Sementara luqman tak jauh berbeda. Dia berusaha merapalkan benerapa kalam ilahi agar hatinya tenang. Aku yang menyaksikan itu tak bisa berbuat apa-apa selain menunduk dan ikut mendoakan yang terbaik.

Beberapa menit kemudian, pintu ruangan terbuka. Dokter yang membuka pintu terlihat lesu. Luqman langsung menghampiri dokter menanyakan kondisi ibunya.

"Maafkan kami...." Belum sempat dokter menyelesaikan perkataannya, Luqman langsung menghambur memeluk tubuh ibunya.

Ibunya telah menghembuskan nafas terakhir.

Aku menjadi saksi bagaimana seorang anak kehilangan ibunya. Itu adalah hal yang paling menyayat hatiku yang pernahbaku saksikan.

Tangisan seorang anak yang kehilangan ibunya mengiris-iris hatiku. Teriakan tertahan seorang anak yang berusaha membangunkan kembali ibunya yang telah tiada membuat pilu dan ngilu. Aku hanya bisa menggigit bibir mematung menyaksikan itu.

Aku membayangkan jika aku yang berada di posisi Luqman.

Ibu selalu mengatakan bahwa kondisinya baik-baik saja.
Ibu selalu mengatakan bahwa kabarnya baik saat menelpon.

Namun, saat kita pulang ke rumah, ternyata kondisinya tidak seperti apa yang selalu ibu katakan. Ibu sedang dalam keadaan sakit namuj tidak pernah memberitahuku. Karena dia yakin jika penyakitnya akan sembuh. Tapi ternyata tidak.

Bagaimana jika situasinya seperti Luqman? Kedatangannya hanya disambut oleh senyum terakhir? Setelah itu tidak ada lagi senyum seorang ibu.

Aku tidak bisa berkata-kata. Jangankan untuk memberikan dorongan mental untuk Luqman. Aku hanya bisa mematung menyaksikan rintihan dan jeritan seorang anak yang kehilangan ibunya. Bayang-bayang wajah ibu yang kecewa karena aku sering membangkang. Bayangan wajah ibu yangmenahan tangis karena kata-kata kasarku seolah berkelebatan.

Menyaksikannya saja sudah membuat sesak hati. Aku tidak bisa membayangkan jika itu terjadi padaku.

Oh, ibu.

***

Luqman baru bisa diajak bicara normal sehari setelah pemakaman ibunya. Sebelumnya dia hanya bisa diam. Duduk termenung. Aku tahu, dia amat merasa kehilangan. Bagaimanapun, dia sudah setahun tidak bertemu ibunya. Dan saat bertemu justru di sisa nafasnya yang terakhir. Aku bisa merasakan apa yang dirasakan Luqman.

"Aku menyesalkan kenapa ibu tidak berterusterang dari awal." Kata-katanya menggantung di langit-langit rumah yang beberapa waktu yang lalu ramai oleh pelayat.

"Sabarlah. Tidak ada yang perlu disesali. Ibumu memiliki alasan sendiri kenapa melarang adikmu mengabarkan keadaan ibumu." Aku berusaha menguatkan meski aku sendiri tak yakin mampu untuk lebih kuat jika aku yang berada di posisi sahabatku.

"Setidaknya, jika aku mengetahuinya dari awal, aku bisa menemaninya lebih lama di sisa usinya. Kenapa ibu mesti berbohong dengan kondisi ibu?"

Aku tahu, itu adalah pertanyaan yang dia lontarkan untuk dirinya sendiri. Jadi, aku tidak perlu menjawabnya. Aku hanya menepuk-nepuk pundaknya. Menguatkan.

Beberapa hari setelah kematian ibunya, Luqman telah lebih siap. Dia telah kembali menjadi sahabatku yang aku kenal. Meski belum sepenuhnya kembali. Kami bersiap untuk kembali ke kota. Sementara adiknya, tinggal bersama pamannya.

Luqman menatap lagi rumahnya untuk terakhir kali sebelum menaiki angkutan desa yang akan mengantarkan kami ke terminal bus. Rumah sederhana yang baginya penuh dengan kenangan.

Setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan, kami tiba ditempat tujuan.

Setibanya di kota, Luqman segera membuka tasnya. Mengambil sesuatu.

"Apa itu?" Tanyaku.

"Surat."

"Dari?"

"Ibu."

Aku mengernyitkan dahi. Tidak mengerti.

"Dua minggu yang lalu, setelah menerima telepon dariku, ibu menuliskan sebuah surat untukku. Namun, ibu berpesan pada adikku untuk memberikannya saat ibu telah tiada. Seolah dia sudah punya firasat bahwa usianya tidak lama lagi. Dia juga berpesan agar aku membuka surat ini saat kembali ke kota." Katanya. Seolah mengerti kebingunganku.

Aku hanya mengangguk. Pantas saja dia buru-buru ingin membukanya seolah tidak ada waktu lagi. Bahkan untuk sekedar mengambil nafas setelah perjalanan jauh.

Luqman sudah membuka dan mulai membaca surat itu. Beberapa kali dia mengusap matanya berusaha agar air matanya tidak jatuh.

"Bolehkah aku membaca isi surat itu? Tentu jika itu ridak bersifat rahasia dan kamu mengizinkan." Tanyaku saat dia selesai membaca surat itu.

Dia menyerahkan surat itu. Surat yang ditulis diatas kertas bergaris. Aku mengira bahwa surat ini di tulis dengaj tangan yang bergetar. Entah itu karena menahan sakit atau menahan tangis. Itu terlihat dari banyaknya tulisan yang tergores.

Untuk
Anakku

Nak, tidak banyak yang ingin ibu katakan dalam surat ini. Karena ibu sudah tidak terlalu kuat untuk menulis lebih banyak. Selain karena sakit yang ibu derita, juga karena beban rindu untuk bertemu denganmu.

Semoga, Yang Maha Kuasa selalu memberikan kebahagiaan kepadamu dimanapun kamu berada. Semoga Yang Maha Kuasa selalu memberikan kesehatan kepadamu, karena ternyata sakit itu tidak enak. Biarlah ibu saja yang merasakan sakit seperti ini, nak.

Saat menulis surat ini, kondisi ibu sudah payah. Penyakit dalam diri ibu bukannya berkurang malah semakin banyak. Maafkan ibumu ini jika tidak memberitahu keadaan ibu yang sesungguhnya. Maafkan ibumu jika terpaksa berbohong dengan kondisi ibu. Ibu sudah terlalu sering menyusahkanmu. Ibu tidak ingin menambah beban pikiranmu. Maafkan ibu, nak. Ibu harap kamu tidak merasa kecewa pada ibu sebab ibu yakin kamu mengharapkan berada disamping ibu saat terakhir usia ibu. Karena kamu adalah anak yang baik.

Nak, bagi seorang ibu. Tidak ada yang membahagiakan selain saat para tetangga atau orang yang mengenal kita menyanjung anaknya yang tumbuh menjadi anak yang baik. Tidak ada yang membahagiakan seorang ibu selain mendengar suara anaknya yang berada di luar kota. Bahkan walau hanya beberapa menit saja. Dan semua ibu pasti ingin terdengar sehat oleh anaknya. Itu juga yang terjadi pada ibumu.

Nak, baktimu ibu terima. Engkau telah tumbuh menjadi seperti apa yang aku harapkan. Engkau telah tumbuh menjadi anak yang baik. Saat ibu telah tiada, ibu selalu mengharapkan baktimu. Doa-doamu akan selalu ibu nantikan. Jika dahulu engkau mendengar bahwa doa ibumu selalu dikabulkan Tuhan, maka setelah ibu tiada, doa anak shalehlah yang akan dikabulkan Tuhan.

Maafkan ibu jika sering membuatmu kecewa. Bahkan diakhir hayat ibu masih saja membuatmu kecewa. Ibu bersyukur pada Yang Maha Kuasa yang telah mengizinkanmu hadir dalam kehidupan ibu.

Nak, setelah ibu tiada, tidak ada lagi yang akan menasihatimu. Mengingatkanmu lagi. Bahkan sudah tidak ada lagi yang memarahimu dengan cinta. Ibu hanya berharap kamu bisa menjaga diri baik-baik. Ingatlah nasihat-nasihat ibu,maafkanlah jika marah ibu terlalu berlebihan. Tidak lain karena ibu sangat peduli padamu.

Nak, setelah ibu tiada, ibu yakin kamu tidak akan banyak berubah. Kamuntelah menjadi anak yang dewasa. Tapi adikmu, adikmu masih memerlukan bimbingan. Bimbinglah dia, nasihatilah dia sebagaimana ibu selalu menasihatimu. Kalau perlu marahi dia sebagaimana ibu memarahimu.

Meskipun kalian tidak memiliki iktan darah satu sama lain, namun ibu berharap kamu akan tetap menjaga dia seperti adikmu sendiri. Sebagaimana kamu menganggap ibu sebagai ibumu sendiri.

Nak, tangan ibu sudah lelah untuk menulis surat ini. Sebenarnya banyak yang ingin ibu katakan namun keadaan tidak memungkinkan.

Semoga saat membaca surat ini engkau sedang berada di kota sebagaimana yang ibu pesankan pada adikmu agar kamu membaca surat ini saat tiba di kota.

Dari
Ibumu
Yang selalu menunggu doa-doamu.

Setelah membaca surat ini, aku juga tidak bisa berkata-kata. Mataku pun basah. Ini adalah surat yang paling menyedihkan sekaligus mengharukan yang pernah aku baca. Aku juga merasa iri dengan sahabatku. Dia adalah anak yang sangat berbakti terhadap ibunya.

Namun, ada sedikit yang mengganjal pikiranku di ujung surat tersebut.

"Nanti malam aku jelaskan." Belum sempat aku menanyakan, Luqman sudah mengerti apa yang aku pikirkan.

Saat malam tiba, kami kembali duduk di beranda. Luqman memeluk gitar. Belum ada satu lagu pun yang dilantunkan. Aku memaksanya bercerita.

"Aku dan adikku bahkan dengan ibu tidak memiliki pertalian darah." Kata-katanya seolah menguap terbawa angin malam.

Aku tidak berkomentar lebih memilih menunggu sahabatku ini bercerita. Mengalir.

"Ya, aku bukan anak ibuku. Konon, aku adalah anak dari hasil hubungan gelap seorang pasangan muda-mudi yang tak bertanggungjawab. Aku ditemukan di dekat jembatan kampung masih dengan lilitan ari-ari. Ibu, yang kebetulan melintas dijembatan itu menemukanku dan segera membawaku ke Puskesmas terdekat. Ibu yang saat itu belum di karuniakan anak dari pernikahannya, berinisiatif untuk mengadopsiku. Setelah beberapa tahun, barulah ibu memiliki anak yang kini sebagai adikku. Sampai aku berusia 7 tahun, aku baru mengetahui bahwa aku bukan anak kandung ibu. Itu juga setelah aku memaksa ibu jujur karena awalnya aku tahu dari seorang tetangga. Setelah aku paksa, ibu akhirnya berkata jujur. Namun, kabar bahwa aku anak 'temuan', aku menjadi bahan olok-olok teman-teman di sekolah. Lalu, aku memutuskan kabur dari rumah. Aku pergi ke kota kabupaten dan disana hidup terlantar sampai ada seseorang yang menemukanku dan mengantarkanku ke sebuah panti asuhan. Meski tidak nyaman berada di panti asuhan, aku berusaha bertahan. Seridaknya, aku berada diantara teman-teman yang memiliki nasib tak jauh berbeda denganku. Namun, aku tak bisa berbohong bahwa aku merindukan kasih sayang dan belaian seorang ibu. Itu tidak aku dapatkan di panti...."

Luqman menghentikan dahulu ceritanya. Berusaha mengingat dan mengumpulkan sisa-sisa kenangan masa lalunya. Terutama berusaha menguasai diri saat bayangan ibunya melintas.

Aku tak bisa berkata-kata. Aku maaih tidak menyangka sahabatku memiliki kisah seperti itu.

"Setelah beberapa bulan di panti, ayah angkatku berhasil menemukan keberadaanku. Dia membujuk agar aku pulang. Namun aku menolaknya. Tapi, dia mengatakan kalau ibu jatuh sakit sejak hari pertama kepergianku. Itu artinya sudah beberapa bulan ibu sakit. Itulah yang membuatku mau kembali. Benar, ibuku sedang terbaring di kamarnya. Ibu berusaha bangun saat melihatku kembali, senyum mengembang di bibirnya namun aku melihat ada linang air mata di kelopak matanya. Dia menghambur memelukku. Menciumiku. 'Jangan pergi lagi,nak' katanya. Saat itulah. Saat pelukan itulah aku merasakan kasih sayang ibu yang sesungguhnya. Di usia yang baru memginjak delapan tahun, aku menyadari bahwa tidak seharusnya aku pergi dan membuat ibu sakit. Justru harusnya aku yang berterimakasih pada ibu yang telah mau merawatku. Kalau tidak, mungkin aku telah menjadi santapan anjing kampung. Maka, mulai saat itulah aku berjanji untuk tidak membuat ibu kecewa. Aku berjanji akan berbakti padanya. Meskipun dia bukan ibu kandungku. Mulai saat itu aku tidak peduli dengan apa kata orang tentang statusku. Yang ada dalam pikiranku hanya bagaimana caranya aku berbakti pada ibu sebagai uacapan terimakasihku. Meskipun dia tidak melahirkanku."

Luqman menarik nafas dan mwnghembuskannya secara perlahan seolah membiarkan kenangannya menyatu dengan malam. Bersama doa yang dia panjatkan untuk ibunya.

Aku hanya bisa mematung mendengar ceritanya. Mulutku seolah terkunci. Tak bisa bicara walau sepatah kata.

"Sob, beruntunglah jika kamu bisa merasakan belaian seorang ibu yang melahirkanmu. Beruntunglah jika kamu bisa merasakan kasih sayang dari ibu yang telah mengandungmu. Karena tidak semua anak seberuntung kamu. Di luar sana, banyak anak-anak yang harus kehilangan nyawa sebelum melihat wajah ibunya hanya karena kelahirannya tak di inginkan. Ada juga anak yang tumbuh tanpa sempat melihat wajah ibunya apalagi berbakti pada ibunya karena ibunya telah meninggal saat melahirkannya. Ada anak-anak yang tak bisa mendapatkan kasih sayang seorang ibu karena dia tumbuh di panti asuhan. Aku pernah merasakan itu. Ada anak yang merindukan kasih sayang ibunya, nasihat-nasihat ibunya. Padahal ibunya masih hidup namun memiliki kesibukan hingga anaknya tumbuh tanpa pengawasan seorang ibu. Berkembang tanpa nasihat ibu. Sejak kecil anak itu di asuh oleh orang lain. Ada juga seorang ibu yang di masa tuanya merasa kesepian karena anaknya tidak peduli lagi dengan ibunya. Ada ibu yang sering menangis karaena sering dibentak anaknya. Dan kedua yang terakhir itulah yang banyak saat ini."

Aku menelan ludah mendengar apa yang dikatakan sahabatku ini.

"Kau tau kenapa hampir setiap malam aku bercerita tentang ibuku? Padahal dia bukan ibu kandungku." Tanyanya.

Aku hanya menggeleng.

"Itu karena aku tidak ingin membiarkan kamu yang bercerita tentang ibumu. Setiap kali kamu bercerita tentang ibumu, itu selalu membuatku iri. Bagaimanapun juga selalu ada keinginan di lubuk hatiku yang paling dalam untuk berada di di dekat ibu yang menlahirkanku. Merasakan kasih sayang ibu yang melahirkanku. Seburk apapun tabiat orang tau kandungku. Tapi bukaj berarti aku tidak merasakan kasih sayang dari ibuku. Bukan berarti aku tidak bersyukur saat ini. Namun, selalu saja ada keinginan untuk berbakti pada ibu yang telah kesusahan mengandung dan melahirkanku. Setidaknya mereka tidak mwnggugurkan kandungannya."

Tatapan Luqman menerawang berusaha menatap wajah malam yang semakin pekat. Sementara aku berusaha mencerna apa yang dikatakan sahabatku ini. Perkataan yang terasa menamparku.

"Jangan sampai kamu juga merasakan apa yang aku rasakan. Tidak berada disampingnya saat akhir usianya. Atau saat kita pulang dari tanah rantau hanya bisa melihat senyumnya sekilas setelah itu tidak ada lagi sosoknya yang tersenyum. Apalagi jika kita bahkan tak sempat melihat senyumnya. Selain wajah kaku seorang perempuan yang sering kita bantah perintahnya, seorang perempuan yang sering berlinang air matanya karena ulah kita. Tak ada senyum lagi. Selain keriput wajahnya yang tak sempat kait perhatikan sebelumnya. Wajah lelah yang tak sempat kita perhatikan sebelumnya. Maka saat itu yang tersisa hanyalah penyesalan. Aku pernah merasakan itu."

Bibirku benar-benar terkunci. Tak ada lagi kata yang bisa aku katakan. Hanya air mata yang menjadi saksi akan kedurhakaanku. Wajah-wajah ibu yang menangis, kecewa, betebaran di kepalaku. Suaranya, senyumnya, membuatku sadar kalau ternyata aku belum menjadi anak yang berbakti.

"Ibu..."

***

Air mata ternyata bukanlah menunjukan kelemahan kita. Setidaknya itulah yang terjadi dengan sahabatku. Air mata ternyata bukan semata-mata karena cengeng. Namun, air mata adala kejujuran.

Kita bisa pura-pura tertawa bahagia, tapi Kita tidak akan bisa pura-pura menangis bersedih.

Maka, saat air mata keluar dari mata seorang ibu, itu adalah air mata kejujuran. Entah itu karena sedih atau karena terharu.

Air mata hanya layak diberikan untuk mereka yang juga layak menerimanya.

Yaitu, ibu.

***

Minggu, 31 Januari 2016

Surat Cinta #10

Ibu...

Mungkin, surat ini akan kuakhiri sampai disini.

Bukan. Bukan karena aku malas untuk melanjutkannya lagi. Bukan pula karena aku telah kehabisan cerita indah bersamamu. Bukan karena aku telah kehabisan teladan darimu. Bukan karena aku telah kehabisan topik yang bisa di bahas dalam surat ini. Bukan itu semua.

Jujur saja. Masih banyak cerita bahagia yang belum aku ceritakan disini. Masih banyak cerita haru yang belum aku ungkapkan. Dan kalau saja aku ingin mengungkapkan semuanya, aku takut surat ini tak kan pernah ada ujungnya. Yang lebih aku khawatirkan lagi justru aku kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan semuanya.

Lebih dari itu, semakin banyak cerita yang kutulis. Semakin banyak mengenang semua kenangan yang pernah terlewati. Semakin membuatku bersedih. Semakin membuatku terharu.

Banyak nasihat yang telah kau berikan namun banyak pula yang aku langgar.
Banyak pelajaran hidup yang telah kau ajarkan namun banyak yang tak bisa ku amalkan.
Banyak teladan yang telah contohkan namun banyak yang tak bisa aku tirukan.

Disamping itu, banyak pula kekecewaan yang aku berikan kepadamu.
Banyak aib yang aku berikan kepadamu.
Banyak kedurhakaan yang aku lakukan padamu.

Namun, belum sempat aku memohon maaf padamu. Aku yang terlalu angkuh. Aku yang terlalu egois. Atau aku yang selalu memaksakan kehendakku.

Hingga sering aku menggores hatimu. Membuat matamu basah oleh linangan air mata kekecewaan. Membuatmu lebih sering mengelus dada karena menahan amarah. Tapi, bibirmu selalu lirih dengan doa-doa kebaikan. Bukan dengan makian atau umpatan atau mungkin kutukan.

Sekali lagi, aku hendak mengakhiri surat ini. Sebab, aku menyadari yang aku butuhkan sekarang bukan pena untuk menulis surat. Melainkan waktu untuk bisa berada di sampingmu. Menemani hari-hari tuamu. Dan, aku pun tahu bahwa yang engkau inginkan bukan sekedar surat-surat bisuku melainkan kehadiranku. Iya kan bu?

Doakan bu! Doakanlah anakmu ini agar waktu bisa bersahabat untuk mempertemukan kita. Mengumpulkan kita kembali. Agar aku bisa berbakti sebagaimana mestinya seorang anak berbakti pada orang tua.

Baiklah, sebelum aku benar-benar mengakhiri surat ini, aku ingin menutupnya dengan sebuah harapan.

Bu, anakmu sekarang sudah besar meskipun masih jauh dari kata dewasa. Namun, sedikit banyak telah aku petik pelajaran dari perjalanan hidup yang panjang ini. Dalam proses hidup yang aku jalani, telah kutemukan makna dari sebagian kata-katamu. Telah kutemukan sebagian hikmah dari nasihat-nasihatmu. Dan telah ku rasakan keajaiban doa-doamu.

Benar memang bu, tak ada yang mudah dengan kehidupan. Tapi akan lebih tidak mudah lagi jika hidup jauh darimu. Jauh dari keberkahan. Jauh dari doa-doamu.

Bu, percayalah peluh yang nampak di keningmu akan selalu teringat di kedalaman hatiku.
Gurat-gurat kebahagiaan dan keharuanmu senantiasa tertanam di sanubari.
Nasihat-nasihat, teladan dan ketulusanmu akan senantiasa mengakar di hati dan pikiranku.

Bu, kini anakmu telah tumbuh dan bukan lagi seorang kanak-kanak yang selalu merengek. Walaupun memang masih jauh dari kata dewasa.

Sebab, seperti katamu bahwa pendewasaan itu bersifat fleksibel. Tidak ada ukuran untuk kedewasaan. Pendewasaan adalah proses sepanjang usia.

Seperti yang aku utarakan sebelumnya bahwa aku ingin menutup surat ini dengan sebuah harapan.

Bu, sebagaimana selayaknya seorang anak yang telah tumbuh dalam kematangan usia, maka akan ada masanya seseorang itu mencari teman hidup. Yang akan menemani hari-harinya dalam satu atap. Menjadi teman berbagi suka duka. Menjadi sahabat dalam mengarungi bahtera kehidupan.

Itu pula lah yang pasti terjadi padaku.

Dan inilah harapanku, bu.

Aku selalu berharap pada Yang Maha Kuasa agar berkenan memberikanku jodoh yang sepertimu.

Aku ingin pendampingku kelak adalah seseorang yang mengutamakan cinta dan kasih dalam setiap kehidupannya. Bukan dengan sekedar materi yang bersifat keduniaan.
Seorang pendamping yang bisa mendidik anaknya dengan kasih sayang dan ketulusan dan bukan dengan kemarahan apalagi menakut-nakuti.
Seorang pendamping yang bisa menyayangiku dengan penuh perhatian dan keikhlasan sebagaimana ibu mencintai ayah.
Seorang pendamping yang selalu saling mengerti dan bukan hanya ingin di mengerti.
Seorang pendamping yang dengan melihat wajahnya selalu terlihat seulas senyum yang selalu membuatku rindu berada di rumah dan diapun selalu menantikanku untuk berada di rumah sebagaimana engkau yang selalu menunggu kepulangan ayah di balik daun jendela.
Seorang pendamping yang bukan hanya istri bagi diriku dan ibu bagi anak-anakku namun menjadi teman bagiku dan sahabat bagi anak-anakku.
Seorang pendamping yang selalu punya cara untuk saling membahagiakan.
Seorang pendamping yang menjadi orang yang memiliki segudang kesabaran dan segunung kasih sayang dalam membesarkan seorang anak.
Seorang pendamping yang bisa mewariskan kasih sayang pada anaknya dan membuat seorang anak merindukan sosoknya.

Apakah boleh bu jika aku berharap demikian? Apakah itu terlalu berlebihan?

Aku tahu engkau akan menjawab dengan tegas TIDAK.

Dan aku melupakan satu hal. Bukankah dulu aku pernah mengutarakan hal ini? Bukankah aku pernah mengatakan bahwa aku ingin memiliki pendamping yang memiliki sifat sepertimu.

Dan engkau mengatakan hal ini :

"Harapanmu tidak salah,nak. Boleh saja berharap seperti itu. Namun ketahuilah jika kamu memiliki kriteria yang banyak dalam memilih seorang pendamping maka tak kan pernah kau temukan orang yang tepat bahkan sampai akhir hayatmu. Kenapa? Karena semua orang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Termasuk juga dirimu yang memiliki kekurangan dan kelebihan. Jika kamu hendak menginginkan seorang pendamping yang seperri ibu, maka kamu pun harus bisa menjadi seperti Ayah. Begitulah. Jangan mengharapkan pendamping yang seperti ibu. Tapi berharaplah mendapatkan pendamping yang akan melengkapi kekuranganmu. Bukankah dirimu adalah cerminan dari diri Ibu? Pada tubuhmu mengalir kasih sayang ibu, pada dirimu mengalir ketulusan ibu, dan sebagian dirimu adalah cerminan ibu. Maka, esok kamu tidak perlu lagi mengharapkan seorang pendamping yang seperti ibu. Kecuali kalau kamu bisa menjadi seperti ayah. " Begitulah katamu yang di akhiri dengan sebuah senyum yang sampai sekarang menjadi sesuatu bagian yang kurindukan darimu.

Ah, kenapa aku sampai lupa akan percakapan itu. Mungkin, suatu saat aku juga harus membuka memori otakku tumbuh bersama ayah. Agar aku juga bisa belajar menjadi sepertinya. Setidaknya belajar keteladannya.

Bu, surat ini akan segera berakhir. Doakan saja anakmu disini dalam keadaan baik-baik saja. Sebagaimana aku berharap keadaanmu selalu lebih baik dariku.

Doakan pula agar saat aku pulang nanti, aku bisa memperkenalkan seseorang yang akan melengkapi hidupku.hehe

Perempuan kedua yang aku cintai setelah dirimu.
Perempuan yang akan selalu kurindukan sebagaimana aku selalu merindukan berada disampingmu.

Baiklah bu, sepertinya memang suratku harus segera berakhir.

Tunggulah kepulanganku. Doakanlah selalu anakmu ini.

Maafkan jika surat-suratku membuatmu tersinggung.
Maafkan jika surat-suratku membuatmu bersedih karena itu juga yang aku rasakan.
Maafkan jika surat-suratku membuatmu semakin merindukan anakmu yang nakal ini. Sebagaimana aku selalu merindukan berada disampingmu.
Malaikatku....

Selasa, 26 Januari 2016

Membencimu

Ada yang perlu kamu ketahui tentang perasaanku saat pertama kali melihat bening bola matamu. Saat pertama kali melihat lengkung senyum di bibirmu. Saat mendengar kata pertamamu. Saat melihat tutur lembut tingkahmu.

Kau tahu perasaan itu?
Perasaan itu adalah perasaan benci.

Ya, mulai saat itu aku selalu membencimu.
Aku beci padamu karena sejak saat itu, bening bola matamu telah merenggut malam panjangku. Hanya untuk mengingat kembali bening bola matamu itu.
Mulai saat itu, lengkung senyum di bibirmu telah mencuri hari-hariku. Sebab, aku selalu saja terbayang dengan manisnya senyummu.
Mulai saat itu kata pertamamu selalu terngiang-ngiang mengganggu konsentrasiku.
Mulai saat itu, tutur lembut tingkahmu seolah menari di pwlupuk mataku.

Aku membencimu.
Kenapa kamu hadir pada kehidupanku dengan pesonamu yang tak bisa kusanggah.
Kenapa kau hadir saat aku memutuskan untuk tidak terlebih dulu jatuh cinta saat aku sedang berusaha menyembuhkan luka tersebab cinta.

Ah, aku harus mengakui bahwa sejak melihatmu untuk pertama kalinya aku telah jatuh cinta padamu.
Ya, puncak dari rasa benciku ternyata adalah cinta. Aku telah jatuh cinta pada pesonamu. Aku telah jatuh cinta seutuhnya padamu.

Kehadiranmu mampu menyembuhkan luka yang susah payah aku obati. Kehadiranmu membuatku terlupa akan kenangan yang nati-matian berusaha aku kubur.

Aku berharap, engkau tidak sama dengan masa laluku. Yang menerima cintaku hanya untuk sebuah pelarian. Yang menerima cintaku hanya untuk persinggahan. Yang menjalin cinta hanya untuk perpisahan.

Tidak. Aku yakin engkau adalah masa depanku. Maka, aku tak ingin lagi membawa masa lalu pada hubungan kita.

Biarlah, masa lalu aku, dan dirimu tetap menjadi masa lalu. Sebab, yang aku inginkan sekarang adalah engkau menjadi masa depanku.

Jangan pernah meragukan ketulusanku. Sebagaimana aku tidak pernah meragukan ketulusanmu. Jangan pernah meragukan rasaku sebagaimana aku tidak pernah meragukan rasamu padaku.

Jangan pernah menanyakan kenapa aku mencintaimu? Karena tak kan kau dapatkan jawabannya.
Dari awal aku sudah mengatakan bahwa aku membencimu. Tapi, aku tak pernah mampu mengusir rasa benci itu. Satu-satunya cara agar kebencianku padamu hilang ialah dengan jatuh cinta. Dengan mencintaimu setulusnya. Sampai rasa benci itu tak hadir lagi dengan tampilan yang lebih menakutkan.

Genggam erat tanganku! Agar engkau mengetahui betapa dalam cintaku padamu. Aku yang takut kehilanganmu. Bahkan sejak pertama kali kita bertemu.

***

Surat Cinta #9

Ibu...,

Dalam surat ini izinkan aku bertanya tentang sesuatu hal yang mengganjal lubuk hatiku. Tentang sesuatu yang sering memaksaku untuk mengurai air mata. Tentang sesuatu yang membuatku membencimu. Tentang sesuatu yang membuatku semakin mencintaimu.

Mungkin, ibu merasa aneh dengan apa yang aku pertanyakan. Bagaimana mungkin ada hal yang bisa membuat benci sekaligus membuat semakin cinta. Benar kan bu?

Atau ibu sekarang sedang memutar otak mengingat semua kenangan bersama anakmu yang membuat anakmu menjadi benci. Benar kan bu?

Baiklah bu, ini adalah pertanyaan yang ingin aku utarakan kepadamu:

Begini bu,
Apakah benar ibu adalah seorang pembohong seperti apa yang dikatakan orang-orang. Benarkah semua ibu itu adalah pembohong ulung? Benarkah bahwa seorang ibu adalah orang yang pandai berbohong?

Aku harap ibu bisa menjawabnya dengan jujur.

Benarkah bu, saat makanan di rumah kita tinggal sedikit lalu keluar dari bibirmu perkataan "Makanlah nak, Ibu tidak lapar!" Itu adalah sebuah kebohongan?

Benarkah bu, perkataanmu adalah kebohongan hanya agar anakmu ini tak merasakan lapar? Padahal, saat itu engkau juga merasa lapar. Tapi memilih berbohong dengan mengatakan "Ibu tidak lapar."

Benarkah saat itu engkau sedang berbohong? Kenapa bu? Kenapa engkau harus berbohong hanya untuk itu, padahal kita bisa membagi makanan itu berdua tapi engkau memilih menahan lapar? Kenapa bu?

Baiklah, sebelum ibu menjawab kebohongan yang pertama, aku akan menanyakan lagi kebohongan ibu yang selanjutnya.

Dulu, saat aku sakit, ibu adalah orang yang paling khawatir dengan keadaanku. Ibu adalah orang yang paling panik dengan keadaanku. Engkau akan memperlakukanku sebagaimana raja. Apapun yang aku inginkan selalu engkau penuhi. Engkau melayaniku dengan penuh ketulusan. Menyiapkan bubur untukku walaupun kadang aku menolak untuk memakannya tapi engkau tidak marah karena usahamu tak dihargai. Dan saat malam tiba, engkau akan setia berada di sampingku, menemaniku hingga larut malam sampai aku benar-benar bisa istirahat. Dan engkau akan mengatakan "Tidurlah nak, Istirahatlah nak. Ibu akan tetap berada disampingmu!" Lalu aku bertanya padamu "Apakah ibu belum mengantuk?" Dan engkau akan berkata dengan lembut "Ibu belum mengantuk." Kata orang, itu adalah sebuah kebohongan seorang ibu. Katanya, saat itu sebenarnya ibu sudah merasa lelah dan mengantuk. Tapi, ibu memilih berada disamping anaknya untuk memastikan bahwa anaknya bisa beristirahat dengan nyaman. Benarkah itu adalah kebohonganmu juga bu?

Kalau saja, aku mengetahui kebohonganmu itu tentu aku akan memilih berpura-pura tidur hanya agar engkau juga bisa istirahat. Tapi sekali lagi engkau adalah orang yang pandai menyembunyikan kebohongan. Lalu, kenapa harus berbohong?

Tidak perlu dijawab dulu bu! Walaupun aku tahu, ibu akan segera membantah apa yang aku tanyakan. Saat ini ibu pasti sedang menggeleng dengan mata sembab. Maafkan aku bu, jika pertanyaanku membuatmu harus menitikan air mata.

Kebohongan berikutnya yang ingin aku tanyakan ialah, saat aku kanak-kanak aku pernah merusak barang kesayanganmu, aku pernah ketahuan berbohong, atau saat aku beranjak remaja, aku sering berbuat ulah di sekolah sampai-sampai membuatmu harus berhadapan dengan pihak sekolah. Dan masih banyak lagi ulahku yang seharusnya membuatmu marah besar. Tapi, engkau tidak pernah marah. Bahkan saat aku bertanya dengan ketakutan setelah berbuat ulah "Apakah ibu tidak marah?" Ibu hanya diam, lalu tersenyum dan berucap "Ibu tidak marah nak, karena ibu tahu engkau akan berubah." Kata orang, itu juga adalah kebohongan seorang ibu. Benarkah bu?

Padahal, katanya saat itu Ibu ingin memarahi anaknya yang telah merusak barang kesayangan ibu, Ibu ingin menumpahkan rasa kecewa pada anaknya yang telah memberikan aib bagi seorang ibu karena anaknya tumbuh menjadi seorang yang tidak ia harapkan, Ibu ingin menumpahkan rasa kecewa kepada anaknya yang telah membuat malu ibunya di hadapan pihak sekolah dan masyarakat karena ulah kita. Tapi ibu memilih diam dan dengan halus ibu berkata " Ibu tidak marah, karena ibu yakin engkau akan berubah." Katanya, saat mengucapkan perkataan tersebut seorang ibu ingin menangis. Tapi mereka selalu berusaha tersenyum. Karena seorang ibu menyadari bahwa anaknya lebih istimewa dari barang kesayangannya yang rusak. Dan yang paling penting saat ibu mengatakan "Karena ibu yakin engkau akan berubah." Itu adalah sebuah doa kepada Yang Maha Kuasa dan kepercayaan kepada anaknya. Walaupun saat itu ibu ingin marah tapi mereka memilih tersenyum. Hanya karena tak ingin memarahi dan mengajarkan marah pada anaknya. Benarkah demikian bu? Benarkah saat ibu mengatakan "ibu tidak marah" adalah sebuah kebohongan? Kenapa mesti berbohong bu? Kenapa ibu tidak memarahiku saja?

Baiklah, aku tidak akan membiarkan ibu menjawab dulu semua pertanyaanku. Karena masih banyak kebohongan-kebohongan ibu yang ingin aku tanyakan.

Saat aku menuntut ilmu berada jauh dari rumah. Tapi, ibu selalu rutin mengirimiku uang untuk keperluan biaya hidup dan pendidikanku. Ibu selalu memberikan yang terbaik untuk anakmu yang sedang berada jauh darimu untuk menuntut ilmu. Bahkan, pernah suatu saat aku membutuhkan uang yang mendadak untuk biaya pendidikanku. Tapi, ibu selalu mengatakan dengan sigap "Ibu akan mengirimkanmu uang secepatnya." Dan saat aku bertanya "Apakah ibu memiliki uangnya?" lalu ibu menjawab dengan yakin juga "Tenang saja nak, ibu masih memiliki simpanan". Saat itu aku menganggap bahwa apa yang aku dengar darimu adalah sebuah kejujuran.

Tapi, kata orang itu adalah salah satu kebohongan seorang ibu. Katanya, saat seorang anak meminta uang mendadak untuk biaya pendidikan, hati seorang ibu langsung gusar karena merasa bahwa dia tidak memiliki uang lebih apalagi simpanan. Tapi, seorang ibu akan tetap mengatakan "Ada" hanya agar kamu tidak usah ikut-ikutan pusing memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang yang kamu minta. Itu hanya agar pikiran anaknya tetap fokus untuk belajar. Saat seorang ibu mengatakan "Ada" maka saat itu di kepala seorang ibu sedang memikirkan bagaimana caranya bisa mendapatkan uang tepat waktu. Saat malam, biasanya Ibu akan mengajak ayah untuk berdiskusi. Lebih tepatnya memaksa agar Ayah bisa mendapatkan uang yang kita butuhkan walaupun dengan berhutang. Ya, yang disebut 'simpanan' oleh seorang ibu ternyata adalah pinjaman. Tapi, ibu tidak ingin agar anaknya tahu bahwa uang yang dia berikan adalah hasil dari meminjam. Yang pasti, ibu akan selalu memenuhi semua kebutuhan anaknya.

Katanya lagi, saat kita berada jauh dari rumah untuk menuntut ilmu, Ibu sebagai pengatur anggaran belanja rumah telah memangkas banyak biaya. Saat anaknya berada jauh dirumah untuk menuntut ilmu, di rumah ibu hanya menyajikan makanan yang sangat sederhana dari yang disebut sederhana. Hanya agar uangnya bisa dikirimkan pada anaknya yang sedang merantau untuk menuntut ilmu. Ibu, selalu menahan keinginannya untuk membeli barang keperluan pribadi hanya agar uangnya bisa dikirimkan pada anaknya tepat waktu.

Benarkah demikian bu? Benarkah ibu berbohong saat mengatakan "Tenang saja, uangnya ada" atau "Tenang saja, ibu masih memiliki simpanan" dan masih banyak kata lainnya yang terucap saat engkau memenuhi semua kebutuhan pendidikanku. Padahal, setiap malam ibu selalu memikirkan bagaimana caranya bisa menhirimkanku uang tepat waktu.

Benarkah ibu berbohong? Kenapa mesti berbohong bu? Padahal, kalau saja ibu tidak berbohong tentu aku bisa berusaha sendiri atau tidak terlalu membebankanmu.

Ah, enkau memang pandai menyembunyikan kebohongan. Tapi kenapa harus berbohong?

Masih banyak kebohongan ibu yang ingin aku tanyakan disini tapi rasanya itu akan membuat surat ini semakin panjang.

Baiklah, ini mungkin pertanyaan terakhir pri hal kebohonganmu. Saat aku sudah mulai bekerja, aku berniat memberikan hasil kerjaku padamu. Tapi engkau dengan lembut menjawab " Simpanlah dulu untuk kebutuhanmu, Ibu belum membutuhkannya." Aku kira itu adalah sebuah kejujuran.

Tapi, kata orang itu adalah kebohongan seorang ibu. Katanya, saat Ibu mengatakan demikian, sebenarnya Ibu sedang membutuhkan bantuan anaknya. Tapi Ibu tidak ingin anaknya tahu bahwa ibunya sedang susah dan menyuruh anaknya untuk menabung agar tidak merasakan kesusahan yang ibunya rasakan. Benarkah demikian bu?

Kenapa Ibu berbohong untuk hal remeh temeh seperti ini bu? Kenapa Ibu tidak mau membagi kesusahan yang ibu rasakan denganku? Kenapa harus berbohong?

Apakah Ibu hendak menjawab pertanyaanku bu?
Ataukah Ibu sendiri sudah tidak sanggup mengatakan apapun karena harus mengusap air mata yang meleleh di pipimu. Sebagaimana air mata juga meleleh di pipiku?

Inilah yang membuatku benci kepadamu bu.
Karena aku tahu, ternyata selama ini benar apa yang di katakan orang-orang bahwa seorang ibu adalah pembohong yang ulung.

Kenapa harus berbohong bu?
Bukankah ibu selalu mengajarkanku untuk selalu jujur?

Kenapa harus berbohong bu?
Apakah ibu hendak mengajarkanku untuk berbohong juga?
Lalu, kenapa kau ajarkan aku tentang kejujuran jika engkau sendiri berbohong?

Bu, maafkan aku.
Aku tidak benar-benar membencimu.
Kuharap engkau juga tak membenciku.

Bukan engkau yang harus aku benci karena kebohongan itu.
Tapi, yang harus aku benci adalah mereka yang mengatakan bahwa seorang Ibu adalah pembong.
Yang harus aku benci adalah mereka yang mengatakan bahwa seorang Ibu adalah pembohong yang ulung.
Yang harus aku benci adalah mereka yang mengatakan bahwa Ibu adalah orang yang pandai menyembunyikan kebohongan.

Tidak bu. Aku tidak setuju dengan mereka yang mengatakan Ibu adalah pembohong. Kata pembohong tidak pantas disematkan pada sosok mulia sepertimu.

Bagiku, apa yang aku utarakan di atas bukanlah kebohongan.

Yang engkau ajarkan diatas adalah bagaimana kita membuktikan cinta kita kepada seseorang yang yang telah Tuhan amanahkan kepada kita.
Yang engkau ajarkan diatas adalah bagaimana seseorang akan melakukan apapun untuk yang dicintainya melebihi dirinya sendiri.
Yang engkau ajarkan di atas adalah bagaimana berkorban untuk seseorang yang istimewa dalam hidup.
Yang engkau ajarkan di atas adalah cinta. Cinta yang tak mengaharap balasan dari yang dicintainya.
Yang engkau ajarkan di atas adalah bagaimana menjadi seorang yang tulus sepenuh kasih menyayangi seseorang melebihi dirinya sendiri.

Lalu, kenapa mereka dengan tega mengatakan bahwa Ibu adalah seorang pembohong?
Sungguh, aku tidak rela bila ada yang mengatakan Ibu adalah seorang pembohong.
Bagiku, Ibu adalah bukti cinta Tuhan.
Bagiku, Ibu bukan seorang pembohong melainkan seorang pecinta yang jujur, yang mengungkapkan cintanya dengan perbuatan.

Itulah yang membuatku semakin mencintaimu. Dan bersyukur terlahir dari rahimmu.

Bu, semoga engkau sudi mengajarkanku cinta yang agung sepertimu.
Semoga aku bisa menangkap makna yang tersembunyi dari setiap perlakuanmu padaku.
Meski aku tahu, cintaku padamu masih kalah dengan cintamu padaku.
Meski aku tahu, masih banyak makna yang belum tersingkap dari keluhuran budimu.

Ah, Ibu.

Kenapa engkau selalu saja mampu untuk membuat air mataku berlinang.
Apakah ini air mata kerinduan?
Ataukah ini air mata penyesalan karena terlambat memahami cintamu?

Tiba-tiba saja aku teringat dengan pesan singkatmu beberapa waktu yang lalu. Sehari sebelum ulang tahunku.

"Ka, selamat ulang tahun besok. Semoga selalu diberikan panjang umur dan kesehatan serta kebahagiaan. Kata Ibu." Pesan yang seolah-olah dikirimkan oleh adikku.

Lalu, aku pun membalas " Aamiin. Terimakasih bu. Tapi, ulang tahunku besok kenapa ngucapinnya sekarang?" Tanyaku.

"Agar ibu menjadi orang yang paling pertama mengucapkan." Begitulah balasannya.

Hal itu membuatku sedikit bingung.
Pertama, bukankah yang mengirimkan pesan sebelumnya mengatasnamakan adikku? Lalu, kenapa di balasan sebelumnya langsung menyebut "Ibu" bukan "Kata Ibu"?

Kedua, Kenapa ingin menjadi yang pertama sebelum orang lain mengucapkan?

Kenapa bu?
Tenang saja. Ibu tidak perlu menjawabnya. Karena aku sudah mengetahui jawabannya.

Yang pertama, setelah pesan itu aku langsung menghubungi adik dan menanyakan siapa yang sesungguhnya mengirimkan pesan tersebut.
Dia menjawab "Pesan itu Ibu sendiri yang mengetik. Hanya saja mengatasnamakan aku."

Aku tidak tahu alasanmu bu, mungkin untuk mengajarkan adik bagaimana mencintai dan memberikan kebahagian kecil bagi orang disekitar.

Atau alasannya karena Ibu malu jika berterus terang dalam mengungkapkan cinta pada anaknya. Karen aku bukan anak kecil lagi. Walaupun aku tetap anakmu.

Alasan yang lebih tepatnya hanya ibu yang lebih mengetahui, semoga ibu berkenan untuk memberitahu.

Yang jelas, orang lain mungkin akan mengatakan ini sebagai kebohongan seorang ibu.

Kedua, kenapa Ibu ingin menjadi yang pertama dan takut ada yang mendahului untuk mengucapkan selamat ulang tahun pada anakmu.

Ini seperti seorang ayah yang bersedih saat anak perempuannya akan dipersunting oleh seorang laki-laki yang akan menggantikan posisi ayahnya dalam menjaga anak gadisnya.

Begitulah, yang aku tangkap dari maksud ibu. Mungkin, ibu juga merasa bahwa sebentar lagi anakmu ini akan memiliki seorang perempuan yang akan berada disampingku. Menyayangiku, mencintaiku. Dan ibu merasa bahwa akan ada yang menggantikan ibu dalam memberi perhatian padaku setelah itu. Benarkan bu?

Apakah, Ibu saat ini sedang menangis bu? Kalau jawabannya 'iya'. Maka, keadaan itu juga yang terjadi padaku.

Aku terharu dengan semua caramu mengungkapkan cinta.
Aku terharu dengan semua caramu.

Aku ingin selalu menjadi anakmu.
Aku akan selalu menjadi anakmu.
Sampai kapanpun.

Dan, engkau adalah sebaik-baik manusia yang mengajarkan cinta.
Semoga, aku bisa mewarisi kasih sayangmu.

Maafkan aku yang terlambat menyadari semuanya.

***