Dalam cinta, tidak peduli dia laki-laki ataupun perempuan. Keduanya memiliki kapasitas rasa yang sama. Hanya terkadang cara mengungkapkannya saja yang berbeda. Namun, selalu bermuara pada kebahagiaannya dan kebahagiaan orang yang di cintai.
Ini bukan tentang cinta seorang laki-laki pada seorang perempuan atau sebaliknya. Ini adalah kisah dimana seseorang yang mencintai namun merasa tak membahagiakan dia yang dicintainya. Atau bahkan, ia tak pernah menghargai cintanya. Bahkan, air mata pun seperti cinta. Ia tak mengenal laki-laki atau perempuan. Jika memang harus jatuh berurai maka tak bisa membendungnya.
Ini adalah kisah tentang seorang anak manusia yang tak bisa memahami bahwa selalu ada yang mencintainya. Kisah seorang anak manusia yang belum mampu menangkap kenyataan bahwa ada orang yang selalu mendoakan untuk kebahagiaannya, ada orang yang selalu mencemaskannya, ada yang mencintai tanpa pernah mengharapkan balasan. Namun selalu terabaikan. Meski begitu, cintanya tak pernah hilang walau sekejap, tak pernah mati walau sedetik. Seseorang itu bernama Ibu.
Kisah ini, terjadi beberapa waktu yang silam.
***
"Minggu depan jadi ikut?"Tanya Luqman saat kami sedang bermain gitar.
Luqman adalah sahabatku selama berada di perantauan. Aku sudah menganggapnya seperti saudara sendiri. Dia adalah sahabat yang sederhana dan tak pernah banyak tingkah. Katanya, dia memiliki seorang adik perempuan yang masih duduk di bangku SMA dan ibu yang luar biasa. Hampir setiap malam, dia selalu bercerita tentang sosok ibunya. Dia mneceritakan sosok ibunya seolah tanpa cela. Itulah yang membuatku memutuskan ikut kekampung halamannya libur panjang minggu depan. Selain untuk berkenalan lebih jauh dengan ibu dari sahabatku, sekalian menjenguk.
"Tapi, jangan lupa kenalin sama adikmu ya! Hahaha." Sebenarnya itu hanya bergurau. Karena Luqman pernah bercerita bahwa adiknya sangat cantik. Walaupun aku kira itu hanyalah cara seorang kakak memuji adiknya sendiri karena seorang kakak tentu tak akan menjelekkan adiknya sendiri.
"Sebenarnya kau mau ketemu ibuku ata adikku?" Tanyanya dengan tatapan khas seorang kakak yang melindungi adiknya.
"Dua-duanya." Jawabku dengan tidak bisa menahan untuk tidak tertawa.
Luqman menempuk dahinya.
Obrolan terhenti. Luqman kembali memetik gitar yang sedari tadi berada di pelukannya. Ini adalah cara kami menikmati malam. Memetik gitar ditemani secangkir kopi untuk berdua.
Setelah menyeruput kopi, Luqman langsung memetik gitarnya. Sebuah lagu dari Iwan Fals berjudul Ibu. Ini adalah lagu favoritnya. Jika sudah melantunkan lagu ini dia akan menikmatinya sendiri. Matanya akan terpejam seolah pikirannya masuk dalam setiap lirik lagu tersebut. Petikan gitarnya pun seolah ia petik dengan sepenuh hati. Puncaknya, dia akan menangis.
Katanya, dia selalu teringat ibunya. Ah, aku pikir karena Luqman hanyalah anak manja yang belum siap jauh dari ibunya. Sampai saat itu Aku juga menganggap air mata hanyalah menunjukan kelemahan seorang laki-laki.
Waktu yang dijanjikan itu tiba. Pagi-pagi sekali Luqman sudah mengingatkanku. Hanya ada dua bus dari kota yang menuju ke kampunya. Jadi jangan sampai terlambat atau harus menunggu bus yang berangkat nanti sore.
Bus yang kami tumpangi melaju dengan kecepatan yang masih normal jika dibandingkan bus yang biasa aku tumpangi jika pulang kampung. Sepanjang perjalanan, pemandangan yang terhampar di pinggiran jalan tak jauh berbeda dengan jalan yang biasa aku lewati saat pulang kampung. Hamparan sawah yang mulai menguning, kios-kios kecil, dan perkampungan warga.
Sepanjang perjalanan, aku lebih banyak bercerita. Yang intinya, pulang ke kampungnya terasa seperti pulang ke kampungku. Aku juga banyak bertanya tentang ibunya dan sesekali membandingkannya dengan ibuku. Sementara Luqman lebih banyak diam. Hanya sesekali menjawab pertanyaanku jika memang perlu dijawab. Selebihnya hanya anggukan atau sedikit tersenyum. Harusnya, ini menjadi perjalanan yang menyenangkan.
Kemarin, adiknya memberitahu bahwa Ibunya kembali harus dibawa ke rumah sakit. Itulah yang membuat Luqman lebih banyak diam. Aku berusaha memahaminya.
"Sabarlah, Ibumu pasti baik-baik saja." Kataku. Berusaha menguatkan hatinya.
Dijawab dengan anggukan.
Selebihnya, kami menikmati perjalanan dengan diam.
Setelah melewati perjalanan yang panjang, akhirnya kami tiba di terminal kota. Tak terlalu padat, namun tetap ramai. Untuk sampai di kampung Luqman, kami harus menaiki angkutan desa selama kurang lebih setengah jam.
Suasana desa yang tenang, nyaman dan asri. Rumah Luqman tak jauh berbeda dengan rumah kebanyakan penduduk kampung. Rumah sederhana dengan cat putih yang sudah sangat pudar.
Luqman bertanya pada tetangga di Rumah Sakit mana ibunya dirawat. Setelah itu kami bergegas pergi ke Rumah Sakit yang disebutkan. Aku tak banyak bicara selain mengikuti kemanapun Luqman pergi.
Rumah Sakit itu tidak terlalu besar, namun ramai oleh lalu lalang orang yang berkepentingan.
Setelah bertanya sana-sini, akhirnya kami sampai di depan sebuah ruangan dengan pintu yang tertutup. Luqman lalu mengetuk pintunya denga pelan.
Seorang gadis membuka pintu. Aku bisa menebak bahwa itu adalah adiknya. Ternyata memang benar apa yang dikatakan Luqman bahwa adiknya sangat cantik. Tapi, ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan itu.
"Bagaimana keadaan ibu?" Tanya Luqman dengan gusar.
"Untuk saat ini ibu bisa istirahat dengan tenang setelah tadi diperiksa oleh dokter."
Luqman lalu mendekati ibunya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Mencium tangan ibunya. Lama sekali. Seolah dia tak mau melepaskan ciuman itu. Matanya terpejam seolah ingin memberikan energi pada ibunya. Aku yang berada disampingnya bisa merasakan bahwa dia sedang menahan tangis.
Aku yang menyaksikan pemandangan itu merasa terharu. Sahabatku, yang selalu menjadi penghiburku saat berada di tanah rantau ternyata adalah seorang anak yang sangat dekat dengan ibunya.
Aku mengamati tubuh ibunya yang terbaring lemah. Badannya kurus kering, wajahnya pucat terlihat sangat lelah melawan sakit. Sakit yang diderita membuatnya terlihat lebih tua dari usianya. Ini jauh sekali dengan yang aku bayangkan.
Beberapa kali aku pernah berbicara dengan ibunya Luqman. Di seberang telepon dia selalu nampak riang seolah tidak memiliki penyakit.
Ah, tiba-tiba saja aku teringat dengan wajah ibuku. Kapan terkahir kali aku menatap wajahnya? Mengamati gurat-gurat kelelahan dari wajahnya.
"Apa kata dokter tentang penyakit ibu?" Luqman bertanya pada adiknya.
"Kata dokter,Ibu mengalami komplikasi."
"Komplikasi?"
"Iya, selain sakit dibagian lambung yang tak kunjung sembuh, beberapa bulan terakhir ibu juga sering mengeluh sakit di bagian yang lain. Terutama di bagian dada. Setiap hari ibu hanya bisa berbaring di tempat tidur, dua bulan kebelakang."
"Beberapa bulan terakhir? Dua bulan terakhir ibu hanya bisa terbaring di tempat tidur? Bukankah dua minggu yang lalu saat aku telpon dia masih mengatakan baik-baik saja? Kenapa kamu tidak pernah mengabarkan kalau ibu sakit?" Tanya Luqman dengan suara yang sedikit bergetar. Seolah berusaha menahan agar ia tidak berteriak dihadapan adik dan ibunya.
"Iya, beberapa bulan terakhir ibu sering dibawa ke Rumah Sakit walaupun hanya dirawat semalam. Dan dua bulan terakhir ibu tidak bisa melakukan aktivitas apapun selain terbaring di tempat tidur. Dua minggu yang lalu, saat kakak menelpon, dia memang berusaha untuk terdengar sehat saat berbicara. Hanya agar kakak tidak merasa khawatir dan cemas disana. Bukan aku tidak ingin mengabari kakak prihal sakitnya ibu. Tapi ibu sendiri yang melarang aku untuk mengabari kakak. Katanya, banyak yang harus kakak pikirkan dan kerjakan disana. Ibu tidak ingin sakit ibu membuat kakak cemas. Ibu tidak ingin konsentrasi kakak terganggu hanya karena memikirkan kondisi ibu. Ibu tidak ingin pekerjaan kakak terganggu hanya karena mencemaskan ibu. Maafkan aku,kak. Itulah sebabnya ibu selalu berusaha tegar dan bahagia saat menerima telpon dari kakak. Hanya agar kakak percaya bahwa ibu dalam keadaan sehat dan baik-baik saja." Jawab adiknya dengan suara serak menahan tangis.
Luqman hanya bisa melenguh. Mengusap wajahnya. Dia tak bisa menyalahkan siapapun.
Aku yang mendengarkan percakapan itu merasa terharu. Dua minggu yang lalu, aku juga sempat berbicara dengan ibunya Luqman dan mengatakan saat libur panjang akan ikut pulang ke kampungya. Dari suaranya di seberang telepon, tak ada tanda-tanda bahwa dia sedang sakit. Bahkan aku sempat melemparkan candaan tantang anak gadisnya.
Aku menatap wajah perempuan yang hampir tiap malam selalu Luqman ceritakan kebaikannya. Wajah yang lelah. Wajah itu mendadak seolah berubah menjadi wajah ibuku.
Mungkinkah semua ibu sama?
Saat ibuku menjawab kabarnya baik-baik saja, mungkinkah ibu juga sedang berbohong dengan kondisinya. Hanya agar anaknya tak merasa khawatir.?
Sedang apa ibu saat ini? Apakah sedang menanti kabar dari anaknya yang sudah cukup lama tidak memberi kabar?
Ataukah dia sedang tergolek sakit seperti ibunya Luqman dan melarang orang rumah memberitahuku terlebih dahulu hanya karena takut aku khawatir?
Tak terasa mataku sedikit basah.
"Kapan kamu tiba, nak?" Suara lemah ibunya Luqman menyadarkan lamunanku.
Ibunya Luqman sudah sadar dari tidurnya. Luqman menggenggam erat tangan ibunya.
"Kenapa ibu tidak memberitahuku kalau ibu sakit?" Tanya Luqman dengan suara lirih mengabaikan pertanyaan ibunya.
Sementara, ibunya hanya menjawab dengan senyuman.
"Kapan kamu tiba?" Kembali pertanyaan itu terucap dari bibir ibunya.
"Tadi siang bu. Dan ini temanku yang sering bicara dengan ibu di telepon." Luqman menunjuk ke arahku yang sedang berdiri.
Ibunya Luqman tersenyum lemah padaku. Senyuman yang membuatku merasa iba.
"Maafkan ibu,nak. Ibu telah membuatmu khawatir."
Luqman hanya menggeleng sambil mencium kembali tangan ibunya. Sementara jari ibunya berusaha membelai kepala luqman. Persis seperti kebiasaan ibuku. Ah, ternyata semua ibu dimanapun selalu sama.
Tiba-tiba nafas ibunya Luqman seperti tersengal. Nafasnya memburu. Naik turun tak teratur. Tangannya memegangi dada. Sementara tatapan matanya terbuka dengan bola mata yang seperti menguning.
Luqman langsung berseru-seru memanggil dokter dan menyebut-nyebut ibunya. Panik.
Beberapa detik kemudian dokter dan perawat memasuki ruangan tempat ibunya Luqman dirawat dengan membawa beberapa peralatan medis. Kami bertiga di suruh menunggu di luar.
Aku melihat wajah kakak beradik yang sedang gelisah. Adik perempuan Luqman duduk di bangku dengan mata yang basah. Sementara luqman tak jauh berbeda. Dia berusaha merapalkan benerapa kalam ilahi agar hatinya tenang. Aku yang menyaksikan itu tak bisa berbuat apa-apa selain menunduk dan ikut mendoakan yang terbaik.
Beberapa menit kemudian, pintu ruangan terbuka. Dokter yang membuka pintu terlihat lesu. Luqman langsung menghampiri dokter menanyakan kondisi ibunya.
"Maafkan kami...." Belum sempat dokter menyelesaikan perkataannya, Luqman langsung menghambur memeluk tubuh ibunya.
Ibunya telah menghembuskan nafas terakhir.
Aku menjadi saksi bagaimana seorang anak kehilangan ibunya. Itu adalah hal yang paling menyayat hatiku yang pernahbaku saksikan.
Tangisan seorang anak yang kehilangan ibunya mengiris-iris hatiku. Teriakan tertahan seorang anak yang berusaha membangunkan kembali ibunya yang telah tiada membuat pilu dan ngilu. Aku hanya bisa menggigit bibir mematung menyaksikan itu.
Aku membayangkan jika aku yang berada di posisi Luqman.
Ibu selalu mengatakan bahwa kondisinya baik-baik saja.
Ibu selalu mengatakan bahwa kabarnya baik saat menelpon.
Namun, saat kita pulang ke rumah, ternyata kondisinya tidak seperti apa yang selalu ibu katakan. Ibu sedang dalam keadaan sakit namuj tidak pernah memberitahuku. Karena dia yakin jika penyakitnya akan sembuh. Tapi ternyata tidak.
Bagaimana jika situasinya seperti Luqman? Kedatangannya hanya disambut oleh senyum terakhir? Setelah itu tidak ada lagi senyum seorang ibu.
Aku tidak bisa berkata-kata. Jangankan untuk memberikan dorongan mental untuk Luqman. Aku hanya bisa mematung menyaksikan rintihan dan jeritan seorang anak yang kehilangan ibunya. Bayang-bayang wajah ibu yang kecewa karena aku sering membangkang. Bayangan wajah ibu yangmenahan tangis karena kata-kata kasarku seolah berkelebatan.
Menyaksikannya saja sudah membuat sesak hati. Aku tidak bisa membayangkan jika itu terjadi padaku.
Oh, ibu.
***
Luqman baru bisa diajak bicara normal sehari setelah pemakaman ibunya. Sebelumnya dia hanya bisa diam. Duduk termenung. Aku tahu, dia amat merasa kehilangan. Bagaimanapun, dia sudah setahun tidak bertemu ibunya. Dan saat bertemu justru di sisa nafasnya yang terakhir. Aku bisa merasakan apa yang dirasakan Luqman.
"Aku menyesalkan kenapa ibu tidak berterusterang dari awal." Kata-katanya menggantung di langit-langit rumah yang beberapa waktu yang lalu ramai oleh pelayat.
"Sabarlah. Tidak ada yang perlu disesali. Ibumu memiliki alasan sendiri kenapa melarang adikmu mengabarkan keadaan ibumu." Aku berusaha menguatkan meski aku sendiri tak yakin mampu untuk lebih kuat jika aku yang berada di posisi sahabatku.
"Setidaknya, jika aku mengetahuinya dari awal, aku bisa menemaninya lebih lama di sisa usinya. Kenapa ibu mesti berbohong dengan kondisi ibu?"
Aku tahu, itu adalah pertanyaan yang dia lontarkan untuk dirinya sendiri. Jadi, aku tidak perlu menjawabnya. Aku hanya menepuk-nepuk pundaknya. Menguatkan.
Beberapa hari setelah kematian ibunya, Luqman telah lebih siap. Dia telah kembali menjadi sahabatku yang aku kenal. Meski belum sepenuhnya kembali. Kami bersiap untuk kembali ke kota. Sementara adiknya, tinggal bersama pamannya.
Luqman menatap lagi rumahnya untuk terakhir kali sebelum menaiki angkutan desa yang akan mengantarkan kami ke terminal bus. Rumah sederhana yang baginya penuh dengan kenangan.
Setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan, kami tiba ditempat tujuan.
Setibanya di kota, Luqman segera membuka tasnya. Mengambil sesuatu.
"Apa itu?" Tanyaku.
"Surat."
"Dari?"
"Ibu."
Aku mengernyitkan dahi. Tidak mengerti.
"Dua minggu yang lalu, setelah menerima telepon dariku, ibu menuliskan sebuah surat untukku. Namun, ibu berpesan pada adikku untuk memberikannya saat ibu telah tiada. Seolah dia sudah punya firasat bahwa usianya tidak lama lagi. Dia juga berpesan agar aku membuka surat ini saat kembali ke kota." Katanya. Seolah mengerti kebingunganku.
Aku hanya mengangguk. Pantas saja dia buru-buru ingin membukanya seolah tidak ada waktu lagi. Bahkan untuk sekedar mengambil nafas setelah perjalanan jauh.
Luqman sudah membuka dan mulai membaca surat itu. Beberapa kali dia mengusap matanya berusaha agar air matanya tidak jatuh.
"Bolehkah aku membaca isi surat itu? Tentu jika itu ridak bersifat rahasia dan kamu mengizinkan." Tanyaku saat dia selesai membaca surat itu.
Dia menyerahkan surat itu. Surat yang ditulis diatas kertas bergaris. Aku mengira bahwa surat ini di tulis dengaj tangan yang bergetar. Entah itu karena menahan sakit atau menahan tangis. Itu terlihat dari banyaknya tulisan yang tergores.
Untuk
Anakku
Nak, tidak banyak yang ingin ibu katakan dalam surat ini. Karena ibu sudah tidak terlalu kuat untuk menulis lebih banyak. Selain karena sakit yang ibu derita, juga karena beban rindu untuk bertemu denganmu.
Semoga, Yang Maha Kuasa selalu memberikan kebahagiaan kepadamu dimanapun kamu berada. Semoga Yang Maha Kuasa selalu memberikan kesehatan kepadamu, karena ternyata sakit itu tidak enak. Biarlah ibu saja yang merasakan sakit seperti ini, nak.
Saat menulis surat ini, kondisi ibu sudah payah. Penyakit dalam diri ibu bukannya berkurang malah semakin banyak. Maafkan ibumu ini jika tidak memberitahu keadaan ibu yang sesungguhnya. Maafkan ibumu jika terpaksa berbohong dengan kondisi ibu. Ibu sudah terlalu sering menyusahkanmu. Ibu tidak ingin menambah beban pikiranmu. Maafkan ibu, nak. Ibu harap kamu tidak merasa kecewa pada ibu sebab ibu yakin kamu mengharapkan berada disamping ibu saat terakhir usia ibu. Karena kamu adalah anak yang baik.
Nak, bagi seorang ibu. Tidak ada yang membahagiakan selain saat para tetangga atau orang yang mengenal kita menyanjung anaknya yang tumbuh menjadi anak yang baik. Tidak ada yang membahagiakan seorang ibu selain mendengar suara anaknya yang berada di luar kota. Bahkan walau hanya beberapa menit saja. Dan semua ibu pasti ingin terdengar sehat oleh anaknya. Itu juga yang terjadi pada ibumu.
Nak, baktimu ibu terima. Engkau telah tumbuh menjadi seperti apa yang aku harapkan. Engkau telah tumbuh menjadi anak yang baik. Saat ibu telah tiada, ibu selalu mengharapkan baktimu. Doa-doamu akan selalu ibu nantikan. Jika dahulu engkau mendengar bahwa doa ibumu selalu dikabulkan Tuhan, maka setelah ibu tiada, doa anak shalehlah yang akan dikabulkan Tuhan.
Maafkan ibu jika sering membuatmu kecewa. Bahkan diakhir hayat ibu masih saja membuatmu kecewa. Ibu bersyukur pada Yang Maha Kuasa yang telah mengizinkanmu hadir dalam kehidupan ibu.
Nak, setelah ibu tiada, tidak ada lagi yang akan menasihatimu. Mengingatkanmu lagi. Bahkan sudah tidak ada lagi yang memarahimu dengan cinta. Ibu hanya berharap kamu bisa menjaga diri baik-baik. Ingatlah nasihat-nasihat ibu,maafkanlah jika marah ibu terlalu berlebihan. Tidak lain karena ibu sangat peduli padamu.
Nak, setelah ibu tiada, ibu yakin kamu tidak akan banyak berubah. Kamuntelah menjadi anak yang dewasa. Tapi adikmu, adikmu masih memerlukan bimbingan. Bimbinglah dia, nasihatilah dia sebagaimana ibu selalu menasihatimu. Kalau perlu marahi dia sebagaimana ibu memarahimu.
Meskipun kalian tidak memiliki iktan darah satu sama lain, namun ibu berharap kamu akan tetap menjaga dia seperti adikmu sendiri. Sebagaimana kamu menganggap ibu sebagai ibumu sendiri.
Nak, tangan ibu sudah lelah untuk menulis surat ini. Sebenarnya banyak yang ingin ibu katakan namun keadaan tidak memungkinkan.
Semoga saat membaca surat ini engkau sedang berada di kota sebagaimana yang ibu pesankan pada adikmu agar kamu membaca surat ini saat tiba di kota.
Dari
Ibumu
Yang selalu menunggu doa-doamu.
Setelah membaca surat ini, aku juga tidak bisa berkata-kata. Mataku pun basah. Ini adalah surat yang paling menyedihkan sekaligus mengharukan yang pernah aku baca. Aku juga merasa iri dengan sahabatku. Dia adalah anak yang sangat berbakti terhadap ibunya.
Namun, ada sedikit yang mengganjal pikiranku di ujung surat tersebut.
"Nanti malam aku jelaskan." Belum sempat aku menanyakan, Luqman sudah mengerti apa yang aku pikirkan.
Saat malam tiba, kami kembali duduk di beranda. Luqman memeluk gitar. Belum ada satu lagu pun yang dilantunkan. Aku memaksanya bercerita.
"Aku dan adikku bahkan dengan ibu tidak memiliki pertalian darah." Kata-katanya seolah menguap terbawa angin malam.
Aku tidak berkomentar lebih memilih menunggu sahabatku ini bercerita. Mengalir.
"Ya, aku bukan anak ibuku. Konon, aku adalah anak dari hasil hubungan gelap seorang pasangan muda-mudi yang tak bertanggungjawab. Aku ditemukan di dekat jembatan kampung masih dengan lilitan ari-ari. Ibu, yang kebetulan melintas dijembatan itu menemukanku dan segera membawaku ke Puskesmas terdekat. Ibu yang saat itu belum di karuniakan anak dari pernikahannya, berinisiatif untuk mengadopsiku. Setelah beberapa tahun, barulah ibu memiliki anak yang kini sebagai adikku. Sampai aku berusia 7 tahun, aku baru mengetahui bahwa aku bukan anak kandung ibu. Itu juga setelah aku memaksa ibu jujur karena awalnya aku tahu dari seorang tetangga. Setelah aku paksa, ibu akhirnya berkata jujur. Namun, kabar bahwa aku anak 'temuan', aku menjadi bahan olok-olok teman-teman di sekolah. Lalu, aku memutuskan kabur dari rumah. Aku pergi ke kota kabupaten dan disana hidup terlantar sampai ada seseorang yang menemukanku dan mengantarkanku ke sebuah panti asuhan. Meski tidak nyaman berada di panti asuhan, aku berusaha bertahan. Seridaknya, aku berada diantara teman-teman yang memiliki nasib tak jauh berbeda denganku. Namun, aku tak bisa berbohong bahwa aku merindukan kasih sayang dan belaian seorang ibu. Itu tidak aku dapatkan di panti...."
Luqman menghentikan dahulu ceritanya. Berusaha mengingat dan mengumpulkan sisa-sisa kenangan masa lalunya. Terutama berusaha menguasai diri saat bayangan ibunya melintas.
Aku tak bisa berkata-kata. Aku maaih tidak menyangka sahabatku memiliki kisah seperti itu.
"Setelah beberapa bulan di panti, ayah angkatku berhasil menemukan keberadaanku. Dia membujuk agar aku pulang. Namun aku menolaknya. Tapi, dia mengatakan kalau ibu jatuh sakit sejak hari pertama kepergianku. Itu artinya sudah beberapa bulan ibu sakit. Itulah yang membuatku mau kembali. Benar, ibuku sedang terbaring di kamarnya. Ibu berusaha bangun saat melihatku kembali, senyum mengembang di bibirnya namun aku melihat ada linang air mata di kelopak matanya. Dia menghambur memelukku. Menciumiku. 'Jangan pergi lagi,nak' katanya. Saat itulah. Saat pelukan itulah aku merasakan kasih sayang ibu yang sesungguhnya. Di usia yang baru memginjak delapan tahun, aku menyadari bahwa tidak seharusnya aku pergi dan membuat ibu sakit. Justru harusnya aku yang berterimakasih pada ibu yang telah mau merawatku. Kalau tidak, mungkin aku telah menjadi santapan anjing kampung. Maka, mulai saat itulah aku berjanji untuk tidak membuat ibu kecewa. Aku berjanji akan berbakti padanya. Meskipun dia bukan ibu kandungku. Mulai saat itu aku tidak peduli dengan apa kata orang tentang statusku. Yang ada dalam pikiranku hanya bagaimana caranya aku berbakti pada ibu sebagai uacapan terimakasihku. Meskipun dia tidak melahirkanku."
Luqman menarik nafas dan mwnghembuskannya secara perlahan seolah membiarkan kenangannya menyatu dengan malam. Bersama doa yang dia panjatkan untuk ibunya.
Aku hanya bisa mematung mendengar ceritanya. Mulutku seolah terkunci. Tak bisa bicara walau sepatah kata.
"Sob, beruntunglah jika kamu bisa merasakan belaian seorang ibu yang melahirkanmu. Beruntunglah jika kamu bisa merasakan kasih sayang dari ibu yang telah mengandungmu. Karena tidak semua anak seberuntung kamu. Di luar sana, banyak anak-anak yang harus kehilangan nyawa sebelum melihat wajah ibunya hanya karena kelahirannya tak di inginkan. Ada juga anak yang tumbuh tanpa sempat melihat wajah ibunya apalagi berbakti pada ibunya karena ibunya telah meninggal saat melahirkannya. Ada anak-anak yang tak bisa mendapatkan kasih sayang seorang ibu karena dia tumbuh di panti asuhan. Aku pernah merasakan itu. Ada anak yang merindukan kasih sayang ibunya, nasihat-nasihat ibunya. Padahal ibunya masih hidup namun memiliki kesibukan hingga anaknya tumbuh tanpa pengawasan seorang ibu. Berkembang tanpa nasihat ibu. Sejak kecil anak itu di asuh oleh orang lain. Ada juga seorang ibu yang di masa tuanya merasa kesepian karena anaknya tidak peduli lagi dengan ibunya. Ada ibu yang sering menangis karaena sering dibentak anaknya. Dan kedua yang terakhir itulah yang banyak saat ini."
Aku menelan ludah mendengar apa yang dikatakan sahabatku ini.
"Kau tau kenapa hampir setiap malam aku bercerita tentang ibuku? Padahal dia bukan ibu kandungku." Tanyanya.
Aku hanya menggeleng.
"Itu karena aku tidak ingin membiarkan kamu yang bercerita tentang ibumu. Setiap kali kamu bercerita tentang ibumu, itu selalu membuatku iri. Bagaimanapun juga selalu ada keinginan di lubuk hatiku yang paling dalam untuk berada di di dekat ibu yang menlahirkanku. Merasakan kasih sayang ibu yang melahirkanku. Seburk apapun tabiat orang tau kandungku. Tapi bukaj berarti aku tidak merasakan kasih sayang dari ibuku. Bukan berarti aku tidak bersyukur saat ini. Namun, selalu saja ada keinginan untuk berbakti pada ibu yang telah kesusahan mengandung dan melahirkanku. Setidaknya mereka tidak mwnggugurkan kandungannya."
Tatapan Luqman menerawang berusaha menatap wajah malam yang semakin pekat. Sementara aku berusaha mencerna apa yang dikatakan sahabatku ini. Perkataan yang terasa menamparku.
"Jangan sampai kamu juga merasakan apa yang aku rasakan. Tidak berada disampingnya saat akhir usianya. Atau saat kita pulang dari tanah rantau hanya bisa melihat senyumnya sekilas setelah itu tidak ada lagi sosoknya yang tersenyum. Apalagi jika kita bahkan tak sempat melihat senyumnya. Selain wajah kaku seorang perempuan yang sering kita bantah perintahnya, seorang perempuan yang sering berlinang air matanya karena ulah kita. Tak ada senyum lagi. Selain keriput wajahnya yang tak sempat kait perhatikan sebelumnya. Wajah lelah yang tak sempat kita perhatikan sebelumnya. Maka saat itu yang tersisa hanyalah penyesalan. Aku pernah merasakan itu."
Bibirku benar-benar terkunci. Tak ada lagi kata yang bisa aku katakan. Hanya air mata yang menjadi saksi akan kedurhakaanku. Wajah-wajah ibu yang menangis, kecewa, betebaran di kepalaku. Suaranya, senyumnya, membuatku sadar kalau ternyata aku belum menjadi anak yang berbakti.
"Ibu..."
***
Air mata ternyata bukanlah menunjukan kelemahan kita. Setidaknya itulah yang terjadi dengan sahabatku. Air mata ternyata bukan semata-mata karena cengeng. Namun, air mata adala kejujuran.
Kita bisa pura-pura tertawa bahagia, tapi Kita tidak akan bisa pura-pura menangis bersedih.
Maka, saat air mata keluar dari mata seorang ibu, itu adalah air mata kejujuran. Entah itu karena sedih atau karena terharu.
Air mata hanya layak diberikan untuk mereka yang juga layak menerimanya.
Yaitu, ibu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar