Minggu, 14 Februari 2016

Pembuka (Surga Yang Terabaikan)

Pagi hari adalah waktu yang baik untuk menikmati udara bersih. Menghirupnya. Meresapinya. Menikmati saat partikel-partikel udara pagi itu masuk mengisi rongga paru-paru kita dengan mata terpejam lalu menghembuskannya bersama dengan rasa syukur yang terucap.

Entah ini sudah menjadi pagi ke berapa aku berada di tanah orang. Yang jelas sudah hampir dua tahun aku berada disini. Berdiri diantara gedung-gedung tinggi. Bersahabat dengan udara yang terkontaminasi asap kendaraan dan corong-corong pabrik. Berkutat dengan kesibukan metropolitan. Berbaur dengan aktivitas masyarakat perkotaan. Berkejaran dengan waktu yang tak mengenal kompromi.

Maka, pagi adalah suasana yang selalu kurindukan disini. Karena saat pagi hari, udara masih segar walau tak sesegar udara pedesaan.

Tak terkecuali untuk hari ini. Meskipun ini adalah hari minggu namun aku tak ingin ketinggalan menikmati segarnya udara pagi perkotaan sebelum nanti siang dipaksa menghirup udara khas perkotaan yang kotor menyesakkan dada.

Seperti biasa, akhir pekan selalu menjadi waktu yang tepat untuk mengistirahatkan tubuh.

***

Aku mencoba mengaktifkan telepon seluler yang sempat di non aktifkan tadi malam. Memang, setiap malam minggu, aku selalu menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatku. Jika sudah bersama mereka aku memilih tidak mngaktifkan telepon seluler.

Beberapa saat setelah menyala, terdengar sepuluh kali nada pesan masuk berbunyi. Semuanya pesan dari ibuku. Aku membaca satu per satu pesan yang masuk itu.

"Nak, kenapa nomornya gak aktif?" Isi pesan pertama.

Pesan kedua pun isinya sama dengan pesan pertama.

"Apakah kamu baik-baik saja?" Isi pesan ketiga.

"Apakah kamu sakit nak?" Isi pesan ke empat.

Pesan-pesan berikutnya pun isinya hampir serupa dengan pesan sebelumnya. Aku menghapus semua pesan-pesan itu tanpa berniat untuk membalasnya.

"Baru juga seminggu yang lalu aku telepon." Gerutuku sambil menghapus satu per satu pesan dari ibu.

Setiap berkumpul dengan sahabat memang aku tak pernah mengaktifkan telepon seluler karena pasti akan terus berdering dengan nama pemanggil yang sama yakni ibuku. Kalau sahabat-sahabatku tahu bahwa yang menelponku adalah ibu tentu aku akan menjadi bahan ledekan mereka.

"Ciieeeee... Anak mamah. Angkat dulu tuh telepon pasti ibumu mau ngingetin kamu buat minum susu atau minum obat...Hahaha." Itu adalah ledekan yang biasa keluar teman-temanku.

"Anak mamah jangan malam-malam yah pulangnya. Entar sakit lagi... Hahaha." Itu ledekan lainnya.

Masih banyak ledekan teman-temanku yang lain saat kami sedang berkumpul lalu aku menerima telepon dari ibuku. Itulah sebabnya jika sedang berkumpul dengan mereka lebih memilih untuk tidak mengaktifkan telepon.

Akhir pekan kali ini aku memutuskan untuk menikmatinya dengan berselancar di dunia maya. Melihat beberapa postingan sahabat maya yang beragam. Dari postingan tentang pacarnya yang tak pernah memberi kabar. Postingan orang-orang yang mengeluh di dunia maya. Postingan tentang kata-kata bijak. Atau postingan dari media online yang tak jelas kebenarannya. Dunia maya memang dipenuhi dengan beragam hal yang kadang lucu, kadang menjengkelkan. Aku memang selalu betah berlama-lama berselancar di dunia maya karena beberapa alasan.

Saat aku berselancar di dunia maya, pandanganku tertuju pada potingan seorang teman. Dia memposting gambar seorang perempuan tua yang telah renta. Perempuan pada gambar itu tertunduk lemah sambil mengusap air matanya. Sangat membuat pilu siapa saja yang melihatnya. Terlebih jika membaca tulisan pada foto tersebut.

Pada gambar tersebut tertulis dengan jelas dengan huruf kapital.

"BIARPUN SHALATMU BERIBU-RIBU RAKAAT. HAJIMU BERPULUH-PULUH KALI. SEDEKAH BERJUTA-JUTA RUPIAH. TAPI, SAAT KAU GORES HATI IBUMU, MAKA SURGA TAK LAYAK UNTUKMU"

Aku mencoba membuka satu per satu komentar dari foto tersebut.

"Ah, andai ibuku masih hidup. Tak kan ku sia-siakan dia. Aku ingin kembali menjadi anaknya yang berbakti. Tapi sayang sekali, ibuku telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa." Kata salah seorang perempuan disertai dengan emoticon menangis.

"Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku." Kata salah seorang lagi.

"Ya Allah semoga kami di jauhkan dari predikat anak durhaka. Jadikanlah kami anak yang selalu berbakti pada orang tua." Kata salah seorang laki-laki disertai emoticon sedih juga.

Aku tidak menlanjutkan membaca komentar-komentar pada foto tersebut. Tiba-tiba saja aku merasakan tangan yang sedari tadi menggenggam telepon melemas. Aku kembali membaca kembali tulisan pada foto perempuan renta tersebut secara perlahan.

"Biarpun sholat beribu ribu rakaat. Haji berpuluh puluh kali. Sedekah berjuta juta rupiah. Tapi, saat kau gores hati ibumu, maka surga tak layak untukmu."

Aku memejamkan mata. Menyandarkan kepalaku pada tembok. Aku berusaha meresapi setiap kata yang tertulis pada gambar tersebut. Sampai tak terasa bulir-bulir air mata jatuh di pipiku.

Tiba-tiba semuanya terasa sepi. Semuanya terasa hampa. Pikiranku menerawang ke masa-masa yang telah lalu. Satu per satu rangkaian kejadian muncul di pikiranku.

***

Hari itu, telepon ku berdering pertanda ada panggilan masuk. Aku melihat pada layar teleponku siapa yang memanggil. Panggilan dari ibuku.

Dengan malas aku mengankat telepon tersebut karena akan terus berdering jika tak ku angkat.

"Halo... Assalamualaikum." Ucapku berusaha bersikap biasa meski sebenarnya sedang malas mengangkat telepon karena badan sedang lelah.

"Waalaikumsalam... Sedang apa nak?" Tanya ibuku dari seberang dan terdengar riang.

"Nih, baru mau mandi. Baru datang main." Jawabku datar.

"Darimana? Dengan siapa?"

"Dengan teman." Jawabku malas.

Begitulah jika aku menerima telepon dari ibuku saat sedang lelah. Aku hanya menanggapi pertanyaannya saja tanpa mau bertanya. Padahal, jika teman-temanku yang menelpon aku selalu gembira meskipun sedang dalam kondisi lelah.

"Jangan terlalu sering main jauh." Katanya.

"Kenapa?"

"Ya jangan saja. Lebih baik istirahat di rumah saja."

"Kalo di rumah terus sumpek." Jawabku ketus.

"Tapi tidak harus main jauh." Jawab ibuku. Suaranya terdengar ragu-ragu.

Entah kenapa, saat aku berada di tanah orang ibuku seolah berubah. Dia selalu melarang ini dan itu. Itu menjadi salah satu alasan kenapa aku malas menerima telepon darinya.

"Bu, anakmu ini sudah gede. Sudah bisa jaga diri. Sudah tahu mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tak boleh dilakukan. Jadi, tidak usah melarang ini dan itu!" Kataku dengan nada tinggi karena sedikit jengkel.

Suasana di telepon kembali hening. Ibuku belum mengatakan apapun.

"Tapi ibu khawatir nak." Ucap ibuku dari seberang sana. Sauaranya terdengar lemah.

"Kekhawatiran ibu terlalu berlebihan. Kalau khawatir ya doakan saja jangan melarang ini dan itu." Kataku dengan ketus dan dengan nada tinggi.

"Sudahlah bu. Aku mau mandi capek." Sambungku sebelum sempat ibu berbicara lagi.

Aku menutup telepon itu tanpa salam atau permisi. Saat itu aku tidak peduli dengan perasaan ibuku.

Kembali air mataku menetes. Aku belum kuasa membuka mataku. Aku tak habis pikir kenapa aku mudah sekali emosi jika berbicara di telepon dengan ibu.

Belum sempat aku membuka mata, tiba-tiba saja aku teringat kejadian beberapa waktu yang lalu.

Saat itu, aku baru saja pulang dari menjalani aktivitas harianku yang padat. Tiba-tiba teleponku berdering. Kembali panggilan dari ibuku.

"Ada apa lagi sih. Perasaan baru seminggu yang lalu dia telepon." Gerutuku saat dengan malas mengangkat telepon.

"Halo... Ada apa sih bu?"Sambarku tanpa mengucapkan salam.

"Tidak. Ibu hanya ingin tahu kabarmu." Jawabnya dengan suara terdengar sedikit bergetar.

Mungkin ibuku kaget karena di jegal pertanyaan dariku.

"Ibu kan tahu. Jam segini aku baru pulang. Harusnya kalau mau telepon ya nanti." Kataku dengan ketus.

"Iya nak. Ibu tahu maafkan ibu. Harusnya, kalau kamu merasa lelah tidak usah diangkat saja telepon ibu." Suaranya terdengar berat.

"Bukannya kalau tidak di angkat ibu akan telepon terus?" Sergahku dengan nada kesal.

"Iya nak, maafkan ibu. Ya sudah lebih baik kamu segera mandi, makan dan jangan lupa istirahat. Assalamualaikum." Aku bisa mendengar dengan jelas bahwa suara ibu saat itu sangat berat seolah sedang menahan sesuatu. Bodohnya lagi, aku tidak peduli.

Kembali air mataku meleleh.

"Kenapa aku bisa bersikap seperti itu pada ibuku? Padahal di luar sana banyak anak yang selalu merindukan perhatian ibuku namun tak pernah mereka dapatkan." Hatiku berbisik membuatku tak kuasa untuk menahan air mata ini agar tidak jatuh.

Memang, perhatian ibuku kadang terlalu berlebihan meskipun karena rasa khawatirnya. Namun, ada hal yang tak berubah dari ibuku yakni ibuku tak pernah marah meskipun aku sering marah padanya di telepon. Ibu tidak marah dengan perubahan sikapku padanya. Kenapa aku tidak menyadarinya?

Ah, benarkah bahwa aku telah menjadi anak yang paling durhaka?

Satu per satu kelancanganku pada ibu seolah di putar secara keseluruhan.

Seminggu setelah kejadian itu ibuku tidak menelpon lagi. Dia hanya mengirimkan pesan singkat saja.

Bagaimana kabarmu, nak? Apakah sedang sibuk? Ibu ingin menelponmu. Ibu sudah kangen mendengar suaramu.

Begitulah isi pesannya. Sebanrnya aku sedang tidak sibuk. Hanya saja, aku berpikir nanti sajalah membalasnya. Toh, baru juga minggu kemarin telepon.

Sampai dua minggu setelah itu aku tidak menjawab smsnya apalagi berniat untuk meneleponnya. Aku selalu asyik dengan duniaku. Terutama dengan teman-teman baruku disini.

Mungkin karena sudah dua minggu tak kunjung mendapat balasan pesan dariku, ibu kembali menelpon.

"Halo nak, apakah kamu baik-baik saja?" Tanya ibuku dengan ramah namun dengan suara yang sedikit hati-hati.

"Baik." Jawabku.

"Syukurlah. Ibu hanya kangen mendengar suaramu."

"Baru juga dua minggu tidak telepon bu." Jawabku.

"Tapi ibu sudah kangen."

Entah kenapa, aku merasa bahwa apa yang dilakukan ibuku terlalu berlebihan.

"Bu, yang anaknya merantau bukan hanya ibu. Banyak yang anaknya merantau tapi tidak seperti ibu yang setiap minggu harus telpon. Bukankah ibu juga yang mengatakan bahwa merantau bagian dari perjalanan hidup? " Tukasku.

"Iya, maafkan ibu nak. Mungkin ibu nelum terbiasa saja. Nanti, ibu hanya akan menunggu telepon darimu saja. Kalau kamu waktu senggang tolong sempatkan untuk menelpon ibu ya! Ibu akan selalu menunggu kabar darimu." Katanya. Suaranya terdengar lirih.

"Iya."

Begitulah. Semakin lama aku berada jauh dari ibuku. Rasanya aku semakin malas menerima telepon dari ibuku. Apalagi menelponnya. Padahal saat aku baru saja merantau selalu senang jika mendapat telepon dari rumah. Mungkin, karena aku telah mendapatkan dunia baruku disini.

Padahal, mungkin sebenarnya hal yang wajar jika ibuku khawatir terhadapku karena aku anak pertamanya. Aku merantau tanpa sanak saudara disini. Tapi aku tak pernah menyadari itu.

***

Perlahan aku membuka mataku. Aku berusaha mengusap air mata di pipi. Rasanya, aku tak kuat berlama-lama menutup mata karena hanya akan memunculakan satu per satu pertunjukan kedurhakaanku pada ibu.

Aku teringat pada sebuah nasihat seorang guru yang sempat aku lupakan:

Hati-hatilah jika ibumu sudah merasa takut kepadamu. Karena itu artinya kamu telah menjadi anak yang durhaka sesungguhnya. Bukankah berkata 'ah' saja sudah berdosa dan termasuk durhaka?

Kenapa aku terlalu bodoh untuk mengingat nasihat itu?

Kenapa aku terlalu bodoh untuk menyadari bahwa selama ini ibu tidak pernah marah?

Kenapa aku terlalu bodoh untuk menyadari bahwa selama ini sikapku membuat ibub takut untuk sekedar bercerita lagi denganku bahkan untuk sekedar mendengar kabar dariku?

Jika yang rajin beribadah saja akan menjadi sia-sia jika membuat luka di hati ibunya lantas bagaimana denganku?

Yang jangankan untuk shalat ribuan rakaat. Untuk menjalankan shalat fardu saja masih malas-malasan.

Jangankan untuk bersedekah jutaan rupiah. Untuk sekedar mengisi kotak amal mesjid saja masih pikir-pikir.

Lantas untuk apa aku menjalani semua kehidupan ini jika tiada kebahagiaan yang dapat kuraih di kemudian hari?

Bukankah ridha Allah ada pada ridha orang tua?

Ah, hari ini aku merasa jadi manusia paling hina.

Aku segera membuka-buka kontak teleponku setelah aku berusaha menguasai diri dan menghentikan air mata yang mengalir.

Saat aku menemukan kontak ibu aku berniat mengurungkan niatku untuk menelponnya.

Aku mencari kontak adikku.

//Dik, ibu sedang apa disana?//

Begitulah isi pesan yang aku kirimkan pada adikku.

Tanpa menunggu lama, segera kuterima balasannya.

//Dari pagi ibu tidak ingin kemana-mana kak. Katanya ibu malas melakukan apapun sebelum mendengar suara kakak dan belum mengetahui kabar kakak. Kenapa kakak tidak membalas pesan ibu?//

Deggg... Kembali hatiku bergetar.

//Biasanya kalau kakak habis menelpon ibu bagaimana reaksinya?// Tanyaku kembali tanpa menghiraukan pertanyaan adikku.

// Akhir-akhir ini ibu selalu menangis setelah berbiacara dengan kakak di telepon. Katanya sekarang kakak berubah. Tapi perlu kakak tahu kalau ibu tidak pernah marah meski diperlakukan seperti itu. Katanya, rasa khawatir ibu lebih besar dari marah ibu. Padahal, ayah selalu berniat memarahi kakak jika mendapati ibu menangis setelah berbiacara dengan kakak. Namun ibu selalu melarang dengan alasan mungkin kakak sedang banyak masalah. Itu saja. Kasihan ibu kak daei tadi pagi terus menanti telepon dari kakak//.

Aku tidak kuasa untuk menulis pesan kembali. Kini air mataku mengalir lebih deras.

Ya Allah, ampunilah dosaku.

***

Hujaman dosa membuat hatiku merintih. Ini lebih menyesakkan dari udara perkotaan. Ini lebih menyesakkan daripada himpitan batu yang di timpakkan di atas tubuh.

Maka, dengan segenap kekuatan yang tersisa. Aku ingin menuliskan sesuatu yang sempat terlupakan. Memunguti satu per satu kenangan yang sempat terbuang...

Pada surat bisu
Dari seorang yang dilanda rindu.
Pada seorang ibu...

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar