Minggu, 13 Desember 2015

Surat Cinta #8

Ibu...,

Nasihatmu adalah embun yang menyejukan.
Ridhamu adalah cahaya yang kan menemaniku dalam menapaki setiap langkah perjalanan hidup.
Doamu adalah kunci untuk membuka pintu-pintu langit.

Aku teringat dengan bekal yang engkau berikan padaku saat engkau melepaskanku untuk berjuang menjalani proses hidup jauh dari tempatmu berada. Bekal yang sempat aku lupakan tapi bekal itu ternyata tak basi sampai saat ini aku baru membukanya. Sebuah bekal hidup yang harusnya aku jadikan pegangan saat aku tak bisa lagi mendengarkan nasihatmu secara langsung.

"Berangkatlah! Melangkahlah! Pergilah! Ibu tidak bisa selalu berada di sampingmu, tapi percayalah bahwa ibu telah mempercayakan untuk menjaga dirimu pada doa. Di luar sana, bukan hanya kerikil yang akan mengahalangi setiap langkah yang akan kamu tempuh melainkan banyak batu-batu besar yang setiap saat akan menimpamu. Diluar sana, bukan hanya duri-duri kecil yang akan menghalangi setiap perjalananmu tetapi akan kau temukan juga paku-paku berkarat yang siap menusuk telapak kakimu. Di luar sana, bukan hanya kelelahan yang akan melemahkan perjuanganmu namun juga ada kebebasan yang dapat melenakanmu. Disana, di luar sana kamu akan menemui semuanya. Dan ibu tidak bisa mengingatkanmu saat ada batu besar yang akan menimpamu. Ibu tidak bisa mengingatkan saat ada paku-paku berkarat yang akan kamu injak. Ibu tidak bisa mengingatkanmu saat kamu terbawa arus kebebasan yang tak kenal batas. Tapi tenang saja, ibu akan selalu berdoa untukmu. Dari jauh, ibu akan memohon pada Yang Maha Kuasa agar senantiasa melindungimu. Kalau nanti di tempatmu berjuang akan ada 'batu besar' yang menimpamu, percayalah bahwa akan ada doa ibu yang menahan batu itu agar tidak menimpamu. Saat kakimu akan menginjak 'paku-paku berkarat' yang hendak menghentikan langkahmu maka doa ibu akan segera menyingkirkan 'paku-paku' itu. Saat engkau hendak terbawa arus yang tidak baik, doa ibumu juga akan menjadi penghalang setiap langkah itu. Memang, engkau tidak akan melihat bagaimana doa itu bekerja. Tapi percayalah, doa ibumu ini akan senantiasa berada di depan, di belakang, di samping dan di atasmu untuk senantiasa melindungimu.

Jangan pernah berhenti berbuat baik di tempatmu berada! Karena, doa ibumu tak selalu kuat untuk melindungimu. Untuk itu, ibu membutuhkan bantuan tenaga untuk melindungimu. Salah satunya yaitu dengan kebaikan yang kau tebarkan. Jangan sekalipun menyimpang dari kebaikan! Karena kalau saja itu terjadi, maka sama saja kamu melemahkan kekuatan doa ibu.

Pergilah bersama ridha ibumu! Melangkahlah dengan keikhlasan ibumu!
Ibu akan senantiasa menanti kabar bahagiamu." Itu adalah bekal yang engkau berikan padaku saat melepaskanku pergi untuk menjalani sesuatu yang engkau sebut proses hidup.

Aku kembali membuka bekal yang sempat aku lupakan saat hari ini aku merasakan kelelahan berjuang. Sampai aku tiba pada satu kesimpulan bahwa aku sudah jauh dari garis yang harusnya menjadi jalur hidupku. Aku terlalu banyak menyimpang. Aku tidak pandai BERSYUKUR.

Padahal, sebelum hari ini. Sebelum lelah ini. Betapa banyak kemudahan-kemudahan yang telah aku dapatkan. Betapa banyak kebahagiaan-kebahagiaan yang aku raih.

Keadaan demikian, justru membuatku terlena. Sampai aku lupa pada satu atau beberapa hal. Mungkin, kemudahan-kemudahan yang selama ini aku dapatkan adalah buah dari doamu yang telah mengubah kesukaran itu menjadi kemudahan.

Mungkin, kebahagiaan-kebahagiaan yang aku rasakan adalah buah dari doamu. Kekuatan doamu telah mengubah sesuatu yang harusnya menjadi duka namun berganti menjadi bahagia.

Tapi, justru keadaan itu membuatku lupa pafa pesanmu agar aku selalu berbuat baik pada sesama. Serta, aku lupa untuk senantiasa berbagi kabar denganmu.

Hingga akhirnya, hari ini aku berada di ujung lelah. Mungkin, ini juga cara doamu bekerja untuk menghentikan langkahku yang sudah terlalu jauh menyimpang.

Maafkan aku bu.

Kini aku sadar, bahwa segala sesuatu yang aku banggakan sebagai jerih payahku ternyata tidak lain adalah karena doa-doamu yang tak pernah berhenti mengalir.

Hari ini, aku ingin kembali memulainya dari titik awal perjuangan. Walaupun tidak mudah, namun setidaknya aku akan mencoba. Seperti katamu:

Perjuangan itu tidak ada yang mudah, di butuhkan sesuatu yang bukan sekedar niat. Untuk menggapai mimpimu, yang dibutuhkan bukan sekedar tekad melainkan tindakan dan ke istiqamahan. Maka, saat kamu menginginkan sesuatu, saat itu juga kamu harus siap berjibaku dengan halangan, rintangan, kesulitan dan semua yang akan menghambatmu dalam menggapai inginmu itu. Jangan pernah kamu kira bahwa tidak semua orang memiliki keinginan. Semua orang memiliki keinginan, cita-cita, mimpi, namun tidak semua berada persis seperti apa yang mereka impikan. Kebanyakan dari mereka telah memutuskan untuk berhenti berjuang saat sebenarnya jarak mereka dengan impian sudah dekat. Mereka sudah putus asa.

Ya, benar bu semua orang memiliki mimpi. Namun, tidak semua bisa mewujudkannya.

Orang yang tak pernah merasa lelah dalam berjuang tidak akan merasakan kepuasan. Katamu menutup nasihat malam itu.

Mungkinkah lelah ini adalah bagian dari perjuangan itu atau justru lelah ini adalah bentuk kekalahan?

Ah, aku teringat juga akah pesanmu. "Kamu memang harus berjuang sekeras dan secerdas mungkin, namun bukan berarti kamu bebas melanggar sesuatu yang sudah di tetapkan Tuhan. Karena, bisa saja, dengan kamu tidak berhasil menggapai mimpimu itu adalah yang terbaik menurut Yang Maha Kuasa. Mungkin Yang Maha Kuasa tahu bahwa jika kamu berhasil menjadi seperti apa yang kamu impikan maka kamu akan berubah dari sifat aslimu. Kamu akan menjadi orang yang sombong dan tamak. Maka, jika melihat dari sini, sesungguhnya perjuangan yang kamu anggap gagal sesungguhnya telah mencapai puncak keberhasilannya. Karena Tuhan tidak ingin kamu terjerumus pada hal yang tidak baik. Bukankah kamu sering menyaksikan watak seseorang yang berubah setelah segala sesuatunya mereka miliki? Namun, yang harus kamu ingat adalah bahwa kamu jangan pernah berhenti berjuang." Katamu saat aku mengeluh lelah dan malas.

Maka, hari ini aku harus mengakui bahwa perjuanganku ternyata belum dimulai bu.

Seperti katamu, setiap perjuangan tidak ada yang mudah.

Maka, jangan pernah khawatir dengan semua luka yang ada padaku. Sebab itu bagian dari perjuangan.

Jangan pernah mengkhawatirkan derita yang menimpa anakmu. Sebab itu bagian dari perjuangan.

Jangan merasa khawatir dengan dengan kesedihan yang aku alami. Sebab itu bagian dari perjuangan.

Jangan pernah khawatir dengan gundah dan kesedihan yang aku rasakan. Sebab itu bagian dari perjuangan.

Jangan khawatir bu...!

Anakmu ini adalah seorang pejuang yang mewarisi keteguhanmu.

Anakmu ini seorang petarung yang meneladani keberanianmu.

Harusnya, engkau bangga telah melahirkanku. Karena aku mewarisi kegigihanmu.

Ah, aku teringat dengan sebuah cerita yang pernah diceritakan oleh pencerita ulung dalam hidupku. Yakni dirimu. Ibu tidak keberatan kan kalau hari ini aku juga akan bercerita kembali? Lebih tepatnya menceritakan kembali ceritamu. Bukan, bukan untuk mengguruimu. Namun, hanya untuk sekedar mengingatkan ibu bahwa dulu ibu pernah bercerita. Cerita ibu telah menyulut api semangat dalam jiwaku. Jadi, semoga ibu tidak khawatir dengan bara semangat yang menyala-nyala di dadaku sebab itu karenamu. Cerita tentang 'Seekor Rajawali'. Ibu masih ingat dengan cerita itu? Cerita yang pernah ibu bagi padaku sebelum aku tidur. Dulu, saat engkau akan bercerita, pernah berujar begini "Ibu tidak bisa mengantarkanmu ke alam mimpi, semoga saja si Rajawali bisa mengantarkanmu".

Kurang lebih, ibu pernah bercerita begini :
Rajawali adalah salah satu hewan yang berumur panjang. Burung pemburu dan pemakan daging ini bisa hidup sampai usia tujuh puluh tahun.

Namun, jangan pernah kira bahwa Rajawali menjalani usia panjangnya dengan mudah. Di usia rajawali yang ke empat puluh tahun, dia mengalami perubahan pada fisiknya yang secara tidak langsung menurunkan produktivitasnya. Cakar yang biasa digunakan mencengkram mangsa kini sudah bengkok karena terlalu panjang. Hingga membuatnya tak mampu lagi mencengkram mangsa dengan kuat.

Paruh yang biasa dia gunakan untuk merobek-robek mangsanya, kini sudah melengkung sehingga sulit baginya untuk merobek makanan menjadi bagian-bagian kecil hingga membuatnya mudah dimakan.

Semua perubahan itu membuat rajawali kesulitan untuk menjalani hidupnya. Dia kesulitan untuk mencari mangsa bahkan untuk terbangpun dia tak sanggup.

Memang, jika kita melihatnya sepintas tentu tak terlalu nampak perubahan itu dari luar. Semua yang melihatnya dari luar akan mengira bahwa rajawali itu masih perkasa, masih sebagai predator yang menakutkan. Padahal, kenyataannya rajawali sedang merasa tersiksa dengan perubahan dalam hidupnya. Karena untuk makan pun dia sudah tidak sanggup lagi. Sesuatu yang sangat mengerikan. Namun, mereka yang melihatnya tak pernah tahu dan tak mau tahu. Mereka hanya menyimpulkan bahwa rajawali adalah burung yang perkasa.

Dalam keadaan seperti itu, rajawali dihadapkan pada dua pilihan. Memilih mati di separuh usianya atau berusaha bertahan hidup dengan sisa-sisa kemampuannya.

Kau tahu pilihan yang dipilih oleh rajawali?

Rajawali memilih untuk bertahan hidup dengan jalan yang amat menyakitkan.

Dengan sisa tenaganya, rajawali memutuskan untuk terbang ke puncak gunung yang sepi. Disana dia akan bersemayam. Melewati hari-hari yang menyakitkan selama kurang lebih lima bulan. Itu adalah waktu yang teramat lama untuk sebuah pertaruhan hidup dan mati.

Sesampainya di sebuah puncak gunung, dia mencari sebuah dinding batu yang biasa terdapat di atas pegunungan. Dia mematuk-matukkan paruhnya yang sudah bengkok itu pada dinding batu. Itu adalah hal yang mengerikan dan membuat ngilu jika kita menyaksikannya secara langsung. Darah segar mengalir dari sekitar paruhnya, namun rajawali tidak menyerah karena dia berpikir sekalipun paruhnya tidak dia patahkan itu akan menjadi hal yang percuma karena dia tak bisa makan dengan paruh yang bengkok. Akhirnya, setelah melewati proses yang amat menyakitkan itu, paruhnya berhasil dipatahkan. Rajawali harus menunggu beberapa hari agar muncul paruh barunya.

Setelah paruh barunya muncul, perjuangannya belum berakhir. Masih ada proses yang harus ia jalani. Prosenya pun tidak kalah mengerikan. Dengan paruh barunya, dia mencabuti kukunya yang mulai memanjang hingga ke akarnya. Darahpun tak bisa dibendung lagi. Jika kita menyaksikannya, kita akan dibuat menutup mata karena ketakutan. Itu seumpama kita menyayat kulit kita sendiri dengan pisau. Dan itu amat mengerikan. Dan setelah melewati proses yang mengerikan itu, kukunya berhasil dipatahkan semua. Rajawali pun harus menunggu waktu yang lama agar kukunya kemabli tumbuh dengan kuku baru.

Setelah itu, apakah perosesnya sudah selasai?

Belum.

Masih ada proses yang lebih menyakitkan lagi. Proses yang ketiga dari persemayamannya itu adalah mencabuti semua bulu yang ada di seluruh tubuhnya. Dia sangat telaten mencabuti satu per satu bulunya hingga tak tersisa.

Jika kita melihat keadaan burung rajawali saat itu, tentu kita tidak akan berpikir bahwa rajawali adalah burung yang menakutkan. Semuanya pasti akan meremehkan sang burung karena penampilannya seperti burung gundul. Bukankah pesona rajawali selain dari lengkingannya yang tajam, paruhnya yang juga tajam serta cakarnya yang kuat, burung rajawali juga terlihat gagah dengan bulu-bulunya. Namun, dia menanggalkan bulunya yang indah demi keindahan yang melebihi semua.

Akhirnya, setelah melewati masa lima bulan persemayaman, rajawali yang kemarin lemah, rajawalai yang kemarin diambang prustasi, rajawali yang sudah berada di gerbang kematian itu seolah terlahir kembali dengan tampilan yang baru.

Kini, dia sudah terbang mengangkasa dengan lengkingan yang menyayat urat mangsanya.

"Jadilah seperti Rajawali yang mau menjalani proses meskipun itu harus mengorbankan dirimu. Orang lain tidak pernah tahu dengan apa yang kau alami. Tapi engkau mengetahuinya. Orang lain tidak akan pernah mampu memberikan jalan keluar yang tepat untuk setiap masalahmu tapi kamu bisa. Kelak, kamu akan mengerti makna Rajawali yang ibu ceritakan hari ini." Katamu.

Aku hanya mengangguk waktu itu.

"Ya sudah lebih baik kamu tidur! Awas, nanti malah mencium tembok karena mengigau seperti rajawali yang sedang mematahkan paruhnya di dinding batu!" Tambahmu sambil tersenyum.

Aku hanya tersenyum dan menepuk jidatku. Ahh...

Apakah ibu masih ingat dengan cerita itu?

Pasti ibu sedang berpikir keras untuk mengingatnya. Karena terlalu banyak cerita yang pernah engkau bagi padaku hingga tak mungkin engkau mengingat satu per satu ceritamu. Apalagi itu adalah cerita yang engkau dongengkan di masa kecilku yang selalu memaksamu untuk bercerita.

Aku tidak tahu cerita itu bersumber darimana karena setelah itu aku juga mendengar beberapa orang yang menceritakan kisah yang hampir serupa. Yang aku tahu bahwa itu pernah keluar dari bibirmu dan mengendap di hati dan pikiranku. Itu saja.

Aku ingin menjadi rajawalimu, bu.

Yang tak pernah menyerah meski sudah berada di ambang prustasi bahkan di gerbang kematian.

Yang tak pernah menyerah meski harus berjibaku dengan rasa sakit dan siksa.

Benar katamu, bahwa orang lain tidak tahu dengan apa yang terjadi dalam diri kita. Orang lain hanya melihat apa yang nampak dari diri kita. Orang lain hanya akan menilai hasilnya bukan proses. Karena sejatinya, yang mengetahui proses itu ialah kita sendiri.

Jadi, ibu tidak perlu khawatir dengan keadaanku disini.

Percayalah, aku bercerita begini bukan karena mengeluh. Namun lebih kepada mengingatkanmu agar tak hentinya mendoqkan anakmu ini. Meski sebenarnya aku tahu bahwa doamu tak pernah berhenti meski tak pernah aku pinta sekalipun.

Ah, aku baru teringat sesuatu. Bahwa ternyata, setelah mendengar cerita ibu tentang rajawali sebelum tidur, aku malah mengigau. Bukan mencium tembok seperti yang engkau takutkan. Tapi aku justru memotong kukuku.

Dan saat aku terbangun, engkau senyum-senyum sendiri menatapku yang baru bangun.

"Kamu tidur sudah seperti orang cacingan, tidur kok sambil gigit kuku kaki. Apa tidak ada lagi cara mengigau yang lebih menarik buat dipandang?" Katamu meledekku.

Aku menyadari bahwa ternyata aku mengigau setelah mendengar ceritamu.

"Memang ada mengigau bisa milih-milih." Kataku ketus karena ledekannmu.

Dan engkau tertawa melihat wajahku yang kesal.

Ah, aku rindu masa-masa itu.

***

Minggu, 06 Desember 2015

Namamu Akan Tetap Abadi

Apa yang hendak dibanggakan lagi dari sebuah hubungan jika sudah hilang kepercayaan diantara kita? Apakah masih bisa disebut sebagai cinta? Entahlah aku sendiri ragu untuk menjawabnya.

Sedari awal, aku sudah menegaskan bahwa hubungan yang kita jalin tak akan mudah di jalani jika tak ada kepercayaan. Sebab, cinta kita memang terpisahkan jarak. Maka, untuk mempertahankan hubungan itu tidak lain ialah dengan kepercayaan.

Untuk menjalani hubungan yang terpisahkan jarak, kita akan sering dipaksa untuk menjadi seseorang yang kejam dengan selalu membunuh setiap rindu yang muncul tidak tepat waktu. Setiap hari kita harus memupuk kesabaran untuk bisa bertemu.

Hanya orang-orang yang kuat saja untuk menjalaninya. Dan nyatanya kita tak mampu untuk menjalaninya.

Beginilah jadinya. Hubungan hanya di isi dengan perselisihan-perselisihan untuk hal-hal yang sepele. Engkau akan dengan mudah untuk mencurigai. Kenapa kamu tidak pernah bisa bersabar untuk sebentar saja? Kenapa kamu memilih untuk meninggalkanku hanya karena kita tak bisa saling bersama? Kenapa memilih pergi dengan mengatakan aku tak serius? Apakah hanya karena aku mementingkan kepentinganku dan memilih tetap berada jauh darimu itu sudah menjadi alasan untuk mengatakan bahwa aku tidak serius?

Ah, andai saja engkau mau sedikit saja bersabar tentu semuanya tidak akan seperti ini.

Ada hal yang harus kamu tahu, meskipun sudah terlambat namun tidak ada salahnya aku tetap memberitahu. Disini, aku hidup dalam siksaan karena harus tega membunuh setiap rindu yang mulai tumbuh. Pada malam yang sepi, aku selalu menyusun rencana-rencana masa depan yang akan kita jalani. Bahkan, aku sudah memutuskan sebuah keputusan yang besar, yakni akan tinggal tak jauh dari tempatmu berada dan meninggalkan kepentinganku ditempat ini. Tanpa pernah engkau tahu. Karena aku pikir aku akan memberikan sebuau kejutan kepadamu.

Tapi, lagi-lagi kamu tidak bisa bersabar sebentar saja. Setidaknya sampai semua urusanku disini selesai dan memulai hidup baru ditempat yang sama ditempatmu berada.

Tapi sudahlah! Semuanya sudah terlanjur. Kamu sudah menentukan pilihan. Aku bisa apa selain menerima semua keputusanmu. Jangan tanya perasaanku! Sebab, aku sudah tidak bisa menjelaskan apa-apa tentang perasaanku selain rasa sakit.

Cita-cita sederhanaku agar bisa bersanding denganmu dalam ikatan suci sudah aku hapus dari seluruh catatan rencana masa depanku.

Keinginanku untuk bisa mencintaimu sampai suatu saat nanti aku melihat uban pertama di kepalamu pun sudah aku hilangkan dari angan-angan bahagiaku. Kepergianmu sudah merenggut semua angan itu.

Tadinya, aku berpikir bahwa aku akan segera memperkenalkanmu pada orang-orang terdekatku. Tadinya, aku kira aku akan berbangga hati dengan mengatakan pada mereka bahwa engkaulah bidadariku. Engkaulah malaikat ketiga dalam hidupku. selain dua malaikat pencatat amal baik dan buruk, engkau akan menjadi malaikat ke tiga yang akan mengingatkanku untuk tetap bahagia, engkau akan mengingatkan ku untuk bersyukur saat nendapat kebahagiaan dan engkau akan mengingatkan saat aku berada dalam kesalahan.

Aku kira semuanya akan indah. Tapi ternyata engkau tak bisa bersabar untuk sebentar saja.
Tapi, percayalah! Meskipun engkau tak lagi bersama denganku. Namun cintaku masih untukmu sampai aku menemukan seseorang yang tulus mencintaiku. Namamu akan abadi dalam setiap puisi yang aku tulis. Cinta kita akan tetap abadi dalam setiap lembaran-lembaran sejarah masa lalu.

Terimakasih telah menjadi bagian dari bahagiaku.

***

Surat Cinta #7

Ibu...,

Sengaja aku menulis namamu pada setiap permulaan surat ini. Bukan tanpa alasan. Sebab, bagiku dengan mengingatmu cukup untuk memberikan banyak inspirasi. Saat menyebut namamu, maka saat itu pula lah kenangan-kenangan yang pernah tercipta diantara kita menari-nari di pikiranku. Engkaulah sumber inspirasi yang tak pernah habis.

Seperti yang pernah aku katakan bu, entah sampai kapan surat ini akan berakhir. Karena aku sendiri pun tak bisa menahan tangan ini untuk menuliskan semua kenangan, pelajaran dan kerinduan. Rasanya, aku tak pernah menginginkan suratku ini sampai pada ujungnya. Sebab, dengan aku memaksakan surat ini berakhir itu sama saja dengan aku mengubur semua yang pernah engkau bagi denganku. Entah itu cerita, pelajaran, maupun teladan. Aku tidak ingin kebahagiaan yang aku alami terkubur begitu saja tanpa pernah ada yang tahu.

Aku ingin agar dunia tahu bahwa aku adalah anak yang bahagia telah memiliki ibu sepertimu.

Aku ingin membantu menyadarkan semua anak yang pernah, sedang atau akan membenci ibunya bahwa ibu adalah sosok yang istimewa. Agar mereka tak pernah menyesal sebab belum membahagiakan ibu mereka. Meski aku sendiri belum pernah membahagiakanmu.

Aku juga ingin berbagi cerita kepada mereka yang kurang beruntung hingga tak sempat berjumpa dengan ibunya. Bukan untuk membuat mereka bersedih yapi untuk meyakinkan mereka bahwa dimanapun ibunya berada pasti selalu menyayangi mereka.

Semoga saja, ibu bisa menjadi inspirasi bagi ibu-ibu di luar sana yang tak pernah memperdulikan anaknya. Sebagaimana aku terinspirasi untuk menulis surat ini karenamu.

Semoga....

Bu, tadi pagi aku meneteskan air mata.

Tapi tenang saja bu, itu bukan air mata kesedihan, melainkan air mata kerinduan.

Air mataku menetes karena melihat seorang ibu yang berlari menuju ke sekolah anaknya yang masih duduk di sekolah dasar. Ketika ditanya apa alasannya sampai dia berlari sebegitu rupa,
Ibu itu menjawab "Topi sekolah anakku ketinggalan. Hari ini hari Senin, saya takut anakku di hukum gara-gara tidak memakai topi." Katanya dengan nafas masih memburu.

Bagi sebagian orang mungkin itu adalah hal yang biasa dan sepele. Tapi tidak bagiku.

Dulu, ibu juga pernah melakukan hal yang serupa dengan apa yang ibu tadi lakukan. Dan itu membuatku tidak mendapatkan hukuman karena tak memakai topi. Maka, saat aku melihat seorang ibu yang melakukan seperti tadi, bayanganku langsung terlintas pada wajahmu. Padahal, jarak dari sekolah ke rumah kita lebih jauh dari pada jarak si ibu tadi dengan sekolah anaknya.

Dulu, aku juga menganggap hal yang dilakukan ibu adalah sepele. Tapi, saat melihat wajah ibu tadi aku berpikir lain. Aku melihat bagaimana ekspresi si ibu saat akan mengantar topi yang ketakutan dan ekspresi setelah mengantar topi yang sangat bahagia. Dia bahkan lupa dengan nafasnya yang terburu.

Ah, ibu memang sosok yang luar biasa. Engkau bahkan sangat peduli dengan hal-hal kecil pada anakmu yang kadang terlupakan.

Aku jadi teringat saat-saat pertama kali aku berpamitan untuk memulai hari menjadi anak sekolah. Aku melihat raut wajahmu yang berubah-ubah. Kadang terlihat sedih, bahagia bahkan ketakutan.
Awalnya aku tidak tertarik untuk menerjemahkan arti dari raut wajahmu itu.

Namun, hari ini aku ingin menerjemahkan arti raut wajahmu.

Saat aku mencium tanganmu di gerbang sekolah engkau tampak bahagia sebab engkau menyadari bahwa anak yang beberapa waktu lalu masih dalam gendongau ternyata kini telah menggendong tas sekolah yang lebih besar dari badannya. Dalam hatimu berharap bahwa kelak anakmu akan menjadi seseorang yang mampu mengangkat derajatmu, menjadi kebangganmu. Engkau menaruh harapan dalam dadamu agar kelak anakmu menjadi orang yang berguna.

Saat aku mencium punggung tanganmu di gerbang sekolah untuk pertama kali, dan aku melihat gurat kesedihan. Aku tahu, dalam hatimu memang ada kesedihan. Selama anakmu berada di sekolah, maka engkau akan merasa kesepian. Tak ada lagi anak kecil yang sering membuatmu jengkel namun sering juga membuatmu tertawa karena tingkahnya. Engkau bersedih karena saat emgkau mwlwpas anakmu di gerbang sekolah, itu artinya engkau juga melepas sebagian waktu yang biasa engkau habiskan bersama anakmu.

Saat aku mencium tanganmu dan mulai melangkahkan kaki ke kelas maka aku menyaksikan raut ketakutan di wajahmu. Engkau takut anakmu yang masih kecil itu belum mampu mengikuti semua pelajaran di sekolah yang sukar, meski ketakutanmu berlebihan. Engkau juga takut anakmu yang baik itu akan terbawa pergaulan yang tak baik hingga membuat harapanmu padanya hilang. Dan yang paling penting yang engkau takutkan adalah setelah anakmu masuk bangku sekolah maka hanya menghitung waktu saja anakmu akan segera berada di tempat yang jauh darimu. Meski sebenarnya masih lama namun engkau sudah merasa takut akan kehilangan sosok anakmu.

Benar kan bu apa yang aku ungkapkan?

Tentu engkau akan menganggukkan kepala sambil mengusap cairan bening di sudut matamu. Karena itu semua aku tahu dari perempuan-perempuan yang baru saja mengalami hal yang demikian. Dan itu juga mampu membuat hatiku bergetar.

Ah, tiba-tiba saja aku merasa bersalah terhadapmu.

Engkau adalah orang yang paling perhatian dengan semua kebutuhanku. Namun, aku sering mengabaikan perhatian-perhatianmu.

Dulu, saat aku hendak sekolah, pagi sekali ibu sudah bangun hanya untuk menyiapkan sarapan pagi untukku sebelum sekolah. Engkau ingin agar anakmu ini bisa fokus belajar tanpa merasa lapar. Namun, lagi-lagi aku sering mengabaikan ajakan sarapanmu. Aku sering mengabaikan makanan yang tersaji di atas meja makan. Aku memilih untuk berangkat ke sekolah tanpa pernah menyentuh makanan yang engkau siapkan. Padahal, engkau sudah bersusah payah menyiapkan semuanya. Tapi, aku tak pernah tahu diri.

Konon, seorang ibu akan bersedih jika anaknya tidak sarapan pagi saat hendak ke sekolah. Bukan karena usahanya untuk menyiapkan sarapan tidak di hargai anaknya namun justru seorang ibu bersedih karena takut anaknya merasa lapar di sekolah.

Ah, ibu memang seorang malaikat. Alih-alih menggerutu karena usahanya yang tak di hargai tapi justru malah mengkhawatirkan anaknya. Dan setelah itu, seorang ibu akan menatap makanan yang tersaji di meja makan yang belum di sentuh anaknya. Selera makan seorang ibu akan hilang karena memikirkan anaknya yang bisa saja kelaparan di sekolah.

Bu, apakah memang begitu kenyataannya?
Kenapa ibu tidak pernah menegurku dan memberitahu akan hal ini?

Mungkin, aku bisa sedikit saja menghargai usahamu untuk bangun pagi dan menyiapkan sarapan untukku. Aku juga mungkin tidak membuatmu khawatir.

Itu hanya hal-hal kecil saja. Masih banyak hal-hal besar yang kadang membuatmu harus mengelus dada oleh tingkah anakmu ini. Untuk hal-hal kecil saja aku masih abai dengan perasaanmu.

Alih-alih memarahi anakmu, engkau justru memberiku motivasi agar terus semangat bersekolah dan mengejar cita-cita.

Aku masih ingat saat awal-awal masuk sekolah aku sempat mogok dan tak mau melanjutkan. Namun, engkau dengan kelembutan terus membujukku. Seperti biasa, engkau akan mengeluarkan jurus ampuhmu yakni bercerita.

Satu cerita yang masih aku ingat sampai saat ini setelah beberapa tahun berlalu. Mungkin, ibu sudah lupa dengan cerita ini tapi aku akan selalu mengingat semua ceritamu.

Aku tidak tahu siapa yang membuat cerita ini, karena setelah beberapa tahun berlalu aku juga mendengar beberapa cerita yang hampir sama. Namun, yang aku tahu bahwa cerita ini pernah engkau ceritakan padaku.

Sekedar untuk mengingat saja, aku ingin berbagi cerita yang pernah ibu ceritakan padaku. Kurang lebih begini:

Di sebuah negeri, ada seorang janda yang tinggal di pinggiran kota dengan seorang anak laki-lakinya yang sedang duduk dibangku sekolah. Sang ibu bersusah payah bekerja siang dan malam tanpa henti seolah lupa untuk istirahat untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sekolah anaknya.

Satu hari, ibu ini menderita sakit rematik akut. Penyakit itu membuatnya sulit berjalan, apalagi untuk bekerja.

Satu saat, sekolah si anak mengeluarkan kebijakan yang mengharuskan muridnya membayar 30 kilogram beras sebagai pengganti biaya sekolah.

Mendengar kebijakan sekolah yang seperti itu, si anak dan ibunya sangat kaget. Mana mungkin dengan kondisi saat ini bisa memenuhi kewajiban sekolah?

Namun, sang ibu tetap tegar dan akan terus menyekolahkan anaknya. Tapi, justru si anaklah yang merasa kasihan dengan keadaan ibunya. Dia merasa ibunya pasti tidak akan sanggup memenuhi kewajiban sekolah. Mencari satu karung beras setiap bulan bukan perkara mudah bagi keluarga tersebut. Apalagi dengan sakit yang diderita, ibunya tidak mungkin bisa bekerja di sawah orang untuk mendapatkan sekarung beras yang dipinta sekolah.

Anak ini pun mengajukan diri pada ibunya untuk berhenti sekolah. Namun, sang ibu menjawab " ketika ibu sanggup menyekolahkanmu, itu berarti ibu yang akan menyiapkan segala sesuatunya. Ibu tidak setengah hati untuk menyuruhmu sekolah. Kau harus menjadi orang yang berhasil. Jangan cengeng! Jika benar-benar ibusudah tidak mampu, pasti ibu akan mengatakannya padamu."

Mendengar jawaban ibunya,si anak tak bisa menolak. Dia pun bertekad untuk berskolah sungguh-sungguh agar tidak mengecewakan ibunya.

Hari berganti hari. Dan tibalah saat semua orang tua mengumpulkan beras iuran sekolah. Semua beras dari orang tua harus di tuangkan di hadapan petugas sekolah. Ketika tiba karung si ibu dibuka, tampaklah beras yang sedikit kotor dan nampak itu adalah beras lama tidak sesuai dengan keinginan sekolah.

Melihat hal tersebut, petugas sekolah pun kesal pada si ibu. "Hai ibu, kami sudah memberikan yang terbaik pada anakmu. Mengapa engkau berikan beras seperti ini untuk sekolah anakmu? Bulan depan berikan yang terbaik!" Hardik petugas sekolah. Si ibu sedikit bersedih sebab hardikan pihak sekolah.

Bulan berikutnya pun tak jauh berbeda. Si ibu masih memberikan beras yang tidak bersih bahkan banyak yang masi dalam bentuk gabah. Pihak sekolah pun semakin kesal pada si ibu dan mengancam akan mengeluarkan si anak jika si ibu masih membeeikan beras yang sama pada bulan depan.

Bulan ketiga, si ibu pasrah dihadapan pihak sekolah dengan menyerahkan beras yang kulaitasnya lebih buruk dari bulan kemarin. Petugas sekolah yang sudah habis kesabaran akhirnya membawa si ibu kehadapan kepala sekolah dan guru senior.
Dihadapan kepala sekolah, si ibu ibu mengatakan dengan tersedu-sedu bahwa semua beras yang diserahkan kepada pihak sekolah adalah hasil mengemis hanya agar anaknya bisa tetap sekolah. Bahkan si ibu juga menunjukan kakinya yang bengkak akibat rematik kronis kepada kepala sekolah.

Melihat kondisi demikian, pihak sekolah pun merasa iba pada si ibu. Akhirnya, pihak sekolah membebaskan si ibu dari menyetor beras kepada pihak sekolah. Apalagi, anaknya adalah siswa yang berprestasi.

Si ibu tentu sangat bersyukur, namun dia juga mengajukan permintaan kepada pihak sekolah agar anaknya jangan pernah diberitahu tentang kejadian ini. Dia tidak mau anaknya menjadi sedih, malu, dan konsentrasi belajarnya terganggu. Dengan syarat tersebut, pihak sekolah pun menyetujuinya.

Beberapa tahun kemudian, tibalah saatnya sang anak lulus dan di wisuda. Pada kesempatan yang berbahagia itu, tampak ada yang aneh dari dekorasi aula sekolah yang dipakai untuk acara perpisahan dan wisuda, yakni ada tiga buah karung besar.

Ketika kepala sekolah memberikan sambutan, sambil menitikan air mata, ia berkata "Hadirin yang saya hormati dan anak-anak yang saya cintai, hari ini merupakan hari bahagia bagi kalian semua karena telah berhasil menyelesaikan salah satu tahap pembelajaran dalam dunia pendidikan. Kita ucap syukur kepada Tuhan karenaNya kita bisa menjadi saat ini. Juga kepada orang tua yang sudah bersusah payah membiayai, membimbing kalian setiap harinya. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan apresiasi, penghargaan, kehormatan kepada seorang ibu, orang tua murid yang telah berjuang keras menyekolahkan anaknya dengan tiga karung beras ini, beras yang diperoleh dengan susah payah setiap hari."

Lalu, pada kesempatan itu, kepala sekolah memanggil si ibu tadi maju ke depan dan menerima ungkapan tanda kasih dari sekolah. Melihat sang ibu maju ke depan, tiba-tiba sang anak berlari dan menubruk ibunya, memeluknya dengan erat sambil menangis tersedu-sedu. Kejadian tersebut menjadi sangat mengharukan dan membuat seisi ruangan aula turut menangis.

"Begitulah nak, jangan pernah menyerah. Syukurilah semua kesempatan yang kamu miliki saat ini. Karena tidak semua orang mampu berada di posisimu. Di luar sana, banyak sekali yang cemburu dengan apa yang sedang kamu keluhkan. Jangan pernah mengeluh hanya karena lelah, jangan menyerah hanya karena kesulitan. Di luar sana banyak sekali anak seusiamu yang sedang berlelah-lelah bahkan lebih lelah darimu bukan untuk sekolah namun untuk mencari nafkah. Mereka dipaksa keadaan untuk tidak berada di bangku sekolah. Di luar sana masih banyak anak seusiamu yang lebih sulit. Bukan karena sulit mengikuti pelajaran atau mengerjakan tugas-tugas sekolah. Mereka justru kesulitan untuk sekedar mencari sesuap nasi. Mereka kesulitan untuk sekedar membiayai hidupnya sendiri karena mereka hidup sebatang kara. Jangan pernah menyerah!" Katamu menutup cerita.

Waktu itu aku hanya mengangguk lemah.

"Bagi orang tua, tidak ada yang lebih membanggakan selain melihat anaknya bahagia. Semua orang tua menitipkan nama baiknya pada seorang anak. Jika anaknya baik, maka orang tua akan terbawa baik. Jika anaknya tidak baik, maka orang tua lah yang pertama menanggung malu. Jika anaknya berprestasi, percayalah bahwa orang tua akan menjadi orang yang pertama memberikan tepuk tangan yang paling keras untukmu." Tambahmu.

Aku menatap wajahmu dan engkaupun menganggukan kepala seraya tersenyum.

Sebegitu besarkah pengorbanan seorang ibu untuk ananya?

Kenapa aku tidak pernah peka terhadap semuanya.

Tiba-tiba saja aku teringat saat aku mendapatkan prestasi di sekolah. Tapi hari itu ibu tidak tepuk tangan saat yang lain memberikan tepuk tangan. Bukankah kata ibu, ibu akan menjadi orang yang pertama untuk memberikan tepuk tangan yang paling keras?

Justru aku melihat ibu berada di pojok. Hanya berdiri tanpa memberikan tepuk tangan bahkan tersenyum pun tidak. Yang aku lihat justru engkau beberapa kali mengusap air mata di pipimu dari jauh aku melihat bola matamu yang memerah sembab dan engkau sibuk mengusap air mata yang meronta untuk jatuh di pipimu.

Bagiku, itu lebih mengharukan daripada tepukan tangan yang paling keras sekalipun.

Kebiasaan Baruku

Kita adalah sepasang kekasih yang unik. Dengan latar belakang yang berbeda, dengan kepribadian yang berbeda dan tentu dengan hobi yang berbeda. Tapi, kesamaan rasa mampu menyatukan cinta. Aku tidak memahami bagaimana cinta bekerja menyatukan perbedaan diantara kita. Yang aku tahu, saat ini aku merasa bahagia menjadi bagian dari hari-harimu.

Selain itu, kita juga memiliki kesibukan masing-masing yang kadang membuat kita sulit memilih waktu untuk bertemu selain hari libur. Kita akan menghabiskan waktu yang kita miliki dengan aktivitas yang membahagiakan. Kita akan melakukan apa saja seolah tak ada lagi hari esok.

Akhirnya, aku memiliki kebiasaan yang baru setiap hari yakni menghitung tanggal. Berharap akan segera di pertemukan dengan hari libur. Lebih tepatnya dipertemukan denganmu.

Meskipun kita memiliki banyak hobi yang berbeda namun kita memiliki satu hobi yang sama yakni berpetualang.

Kita akan menghabiskan hari libur kita dengan mengunjungi tempat-tempat yang indah. Dari mulai pegunungan, pantai, dan tempat-tempat indah lainnya. Sebelum akhirnya kita kembali ke rutinitas masing-masing.

Kamu kembali pada rutinitasmu. Aku kembali pada rutinitas dan hobiku. Salah satu hobi yang aku lakukan saat kita saling berjauhan adalah memikirkanmu,membayangkan senyummu, sampai aku tersenyum sendiri.

Begitulah kita. Hubungan kita tak pernah membosankan. Semoga saja selalu begitu.

***

Sabtu, 05 Desember 2015

Kadang Memang Lucu

Kadang lucu ya jika kita mengingat kembali perjalanan cinta kita.

Awalnya, kita adalah dua orang yang tak pernah saling mengenal. Kita memang sering ketemu tapi tidak ada yang aneh dengan pertemuan kita. Aku selalu tersenyum, engkau pun selalu tersenyum saat kita berpapasan. Itu adalah hal wajar yang biasa aku lakukan kepada orang-orang yang aku temui. Kita juga hanya saling menyapa sekadarnya saja sebagaimana yang biasa dilakukan pada orang lain. Bahkan, untuk beberapa kali kita juga pernah saling acuh.

Tapi, kenapa tiba-tiba kita bisa hidup bersama sebagai sepasang kekasih?

Aku tidak tahu siapa yang menyemai benih cinta diantara kita. Yang aku tahu, benih-benih itu telah mengakar dalam hati. Setelah itu, cerita kita menjadi berubah.

Senyum yang senantiasa kita bagi bukan lagi senyum biasa tapi senyum bahagia. Senyum yang selalu membuatku rindu. Begitupun sapaan kita. Kadang, aku sering tak bisa tidur hanya karena seharian belum mendengar suaramu. Sebegitu hebatkah cinta yang telah tumbuh diantara kita?

Kita banyak menghabiskan waktu berdua saja. Mencuri-curi kesempatan hanya untuk bertemu. Hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya. Kadang, aku juga tak bisa tidur hanya karena belum bertemu denganmu sehari saja.

Tapi, cerita itu kini tinggal kenangan. Benih cinta yang tumbuh diantara kita ternyata tak mampu bertahan saat musim berubah.

Memang, kita masih berusaha untuk saling tersenyum saat kita bertemu. Namun semuanya terasa hambar. Sapaan kita pun rasanya seperti tak ikhlas terucap. Hingga akhirnya kita seolah menjadi dua orang yang tidak saling mengenal. Apakah memang cinta hanya sebuah siklus?

Kadang memang lucu jika mengingat semuanya. Tapi, mengingat apa yang pernah kita jalani berdua kadang membuatku harus mengusap lelehan air mata di pipiku.

Ya begitulah, cinta memang tak pernah masuk akal. Karena memang sejatinya cinta adalah perkara hati yang tak bisa diterjemahkan akal.

Kini, aku menyadari banyak hal prihal cinta.
Saat kita memutuskan jatuh cinta maka saat itu kita juga harus berdamai dengan duka. Cinta tak selalu berujung pada ikatan serius sebuah pernikahan. Karena, cinta juga hadir hanya untuk mengajarkan kita kedewasaan, melatih kita dalam duka dan kesedihan. Agar kelak saat kita sudah bersama orang yang tepat kita tak akan melakukan kesalahan-kesalahan yang berujung pada kesedihan karena cinta. Agar kelak kita bisa menghargai seseorang yang tulus mencintai kita karena kita pernah merasakan bagaimana rasanya ketulusan yang tak dihargai.

Sebenarnya, yang membuatku kecewa dan bersedih bukan karena caramu meninggalkan atau keputusanmu yang memilih pergi. Namun, yang membuatku merasa kecewa adalah dengan caramu mencintaiku. Cintamu sangat menggebu-gebu di awal waktu, janjimu banyak yang kau umbar seolah benar-benar tulus mencintaiku namun semuanya menjadi hambar, semuanya menjadi dingin.

***