Minggu, 31 Januari 2016

Surat Cinta #10

Ibu...

Mungkin, surat ini akan kuakhiri sampai disini.

Bukan. Bukan karena aku malas untuk melanjutkannya lagi. Bukan pula karena aku telah kehabisan cerita indah bersamamu. Bukan karena aku telah kehabisan teladan darimu. Bukan karena aku telah kehabisan topik yang bisa di bahas dalam surat ini. Bukan itu semua.

Jujur saja. Masih banyak cerita bahagia yang belum aku ceritakan disini. Masih banyak cerita haru yang belum aku ungkapkan. Dan kalau saja aku ingin mengungkapkan semuanya, aku takut surat ini tak kan pernah ada ujungnya. Yang lebih aku khawatirkan lagi justru aku kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan semuanya.

Lebih dari itu, semakin banyak cerita yang kutulis. Semakin banyak mengenang semua kenangan yang pernah terlewati. Semakin membuatku bersedih. Semakin membuatku terharu.

Banyak nasihat yang telah kau berikan namun banyak pula yang aku langgar.
Banyak pelajaran hidup yang telah kau ajarkan namun banyak yang tak bisa ku amalkan.
Banyak teladan yang telah contohkan namun banyak yang tak bisa aku tirukan.

Disamping itu, banyak pula kekecewaan yang aku berikan kepadamu.
Banyak aib yang aku berikan kepadamu.
Banyak kedurhakaan yang aku lakukan padamu.

Namun, belum sempat aku memohon maaf padamu. Aku yang terlalu angkuh. Aku yang terlalu egois. Atau aku yang selalu memaksakan kehendakku.

Hingga sering aku menggores hatimu. Membuat matamu basah oleh linangan air mata kekecewaan. Membuatmu lebih sering mengelus dada karena menahan amarah. Tapi, bibirmu selalu lirih dengan doa-doa kebaikan. Bukan dengan makian atau umpatan atau mungkin kutukan.

Sekali lagi, aku hendak mengakhiri surat ini. Sebab, aku menyadari yang aku butuhkan sekarang bukan pena untuk menulis surat. Melainkan waktu untuk bisa berada di sampingmu. Menemani hari-hari tuamu. Dan, aku pun tahu bahwa yang engkau inginkan bukan sekedar surat-surat bisuku melainkan kehadiranku. Iya kan bu?

Doakan bu! Doakanlah anakmu ini agar waktu bisa bersahabat untuk mempertemukan kita. Mengumpulkan kita kembali. Agar aku bisa berbakti sebagaimana mestinya seorang anak berbakti pada orang tua.

Baiklah, sebelum aku benar-benar mengakhiri surat ini, aku ingin menutupnya dengan sebuah harapan.

Bu, anakmu sekarang sudah besar meskipun masih jauh dari kata dewasa. Namun, sedikit banyak telah aku petik pelajaran dari perjalanan hidup yang panjang ini. Dalam proses hidup yang aku jalani, telah kutemukan makna dari sebagian kata-katamu. Telah kutemukan sebagian hikmah dari nasihat-nasihatmu. Dan telah ku rasakan keajaiban doa-doamu.

Benar memang bu, tak ada yang mudah dengan kehidupan. Tapi akan lebih tidak mudah lagi jika hidup jauh darimu. Jauh dari keberkahan. Jauh dari doa-doamu.

Bu, percayalah peluh yang nampak di keningmu akan selalu teringat di kedalaman hatiku.
Gurat-gurat kebahagiaan dan keharuanmu senantiasa tertanam di sanubari.
Nasihat-nasihat, teladan dan ketulusanmu akan senantiasa mengakar di hati dan pikiranku.

Bu, kini anakmu telah tumbuh dan bukan lagi seorang kanak-kanak yang selalu merengek. Walaupun memang masih jauh dari kata dewasa.

Sebab, seperti katamu bahwa pendewasaan itu bersifat fleksibel. Tidak ada ukuran untuk kedewasaan. Pendewasaan adalah proses sepanjang usia.

Seperti yang aku utarakan sebelumnya bahwa aku ingin menutup surat ini dengan sebuah harapan.

Bu, sebagaimana selayaknya seorang anak yang telah tumbuh dalam kematangan usia, maka akan ada masanya seseorang itu mencari teman hidup. Yang akan menemani hari-harinya dalam satu atap. Menjadi teman berbagi suka duka. Menjadi sahabat dalam mengarungi bahtera kehidupan.

Itu pula lah yang pasti terjadi padaku.

Dan inilah harapanku, bu.

Aku selalu berharap pada Yang Maha Kuasa agar berkenan memberikanku jodoh yang sepertimu.

Aku ingin pendampingku kelak adalah seseorang yang mengutamakan cinta dan kasih dalam setiap kehidupannya. Bukan dengan sekedar materi yang bersifat keduniaan.
Seorang pendamping yang bisa mendidik anaknya dengan kasih sayang dan ketulusan dan bukan dengan kemarahan apalagi menakut-nakuti.
Seorang pendamping yang bisa menyayangiku dengan penuh perhatian dan keikhlasan sebagaimana ibu mencintai ayah.
Seorang pendamping yang selalu saling mengerti dan bukan hanya ingin di mengerti.
Seorang pendamping yang dengan melihat wajahnya selalu terlihat seulas senyum yang selalu membuatku rindu berada di rumah dan diapun selalu menantikanku untuk berada di rumah sebagaimana engkau yang selalu menunggu kepulangan ayah di balik daun jendela.
Seorang pendamping yang bukan hanya istri bagi diriku dan ibu bagi anak-anakku namun menjadi teman bagiku dan sahabat bagi anak-anakku.
Seorang pendamping yang selalu punya cara untuk saling membahagiakan.
Seorang pendamping yang menjadi orang yang memiliki segudang kesabaran dan segunung kasih sayang dalam membesarkan seorang anak.
Seorang pendamping yang bisa mewariskan kasih sayang pada anaknya dan membuat seorang anak merindukan sosoknya.

Apakah boleh bu jika aku berharap demikian? Apakah itu terlalu berlebihan?

Aku tahu engkau akan menjawab dengan tegas TIDAK.

Dan aku melupakan satu hal. Bukankah dulu aku pernah mengutarakan hal ini? Bukankah aku pernah mengatakan bahwa aku ingin memiliki pendamping yang memiliki sifat sepertimu.

Dan engkau mengatakan hal ini :

"Harapanmu tidak salah,nak. Boleh saja berharap seperti itu. Namun ketahuilah jika kamu memiliki kriteria yang banyak dalam memilih seorang pendamping maka tak kan pernah kau temukan orang yang tepat bahkan sampai akhir hayatmu. Kenapa? Karena semua orang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Termasuk juga dirimu yang memiliki kekurangan dan kelebihan. Jika kamu hendak menginginkan seorang pendamping yang seperri ibu, maka kamu pun harus bisa menjadi seperti Ayah. Begitulah. Jangan mengharapkan pendamping yang seperti ibu. Tapi berharaplah mendapatkan pendamping yang akan melengkapi kekuranganmu. Bukankah dirimu adalah cerminan dari diri Ibu? Pada tubuhmu mengalir kasih sayang ibu, pada dirimu mengalir ketulusan ibu, dan sebagian dirimu adalah cerminan ibu. Maka, esok kamu tidak perlu lagi mengharapkan seorang pendamping yang seperti ibu. Kecuali kalau kamu bisa menjadi seperti ayah. " Begitulah katamu yang di akhiri dengan sebuah senyum yang sampai sekarang menjadi sesuatu bagian yang kurindukan darimu.

Ah, kenapa aku sampai lupa akan percakapan itu. Mungkin, suatu saat aku juga harus membuka memori otakku tumbuh bersama ayah. Agar aku juga bisa belajar menjadi sepertinya. Setidaknya belajar keteladannya.

Bu, surat ini akan segera berakhir. Doakan saja anakmu disini dalam keadaan baik-baik saja. Sebagaimana aku berharap keadaanmu selalu lebih baik dariku.

Doakan pula agar saat aku pulang nanti, aku bisa memperkenalkan seseorang yang akan melengkapi hidupku.hehe

Perempuan kedua yang aku cintai setelah dirimu.
Perempuan yang akan selalu kurindukan sebagaimana aku selalu merindukan berada disampingmu.

Baiklah bu, sepertinya memang suratku harus segera berakhir.

Tunggulah kepulanganku. Doakanlah selalu anakmu ini.

Maafkan jika surat-suratku membuatmu tersinggung.
Maafkan jika surat-suratku membuatmu bersedih karena itu juga yang aku rasakan.
Maafkan jika surat-suratku membuatmu semakin merindukan anakmu yang nakal ini. Sebagaimana aku selalu merindukan berada disampingmu.
Malaikatku....

Selasa, 26 Januari 2016

Membencimu

Ada yang perlu kamu ketahui tentang perasaanku saat pertama kali melihat bening bola matamu. Saat pertama kali melihat lengkung senyum di bibirmu. Saat mendengar kata pertamamu. Saat melihat tutur lembut tingkahmu.

Kau tahu perasaan itu?
Perasaan itu adalah perasaan benci.

Ya, mulai saat itu aku selalu membencimu.
Aku beci padamu karena sejak saat itu, bening bola matamu telah merenggut malam panjangku. Hanya untuk mengingat kembali bening bola matamu itu.
Mulai saat itu, lengkung senyum di bibirmu telah mencuri hari-hariku. Sebab, aku selalu saja terbayang dengan manisnya senyummu.
Mulai saat itu kata pertamamu selalu terngiang-ngiang mengganggu konsentrasiku.
Mulai saat itu, tutur lembut tingkahmu seolah menari di pwlupuk mataku.

Aku membencimu.
Kenapa kamu hadir pada kehidupanku dengan pesonamu yang tak bisa kusanggah.
Kenapa kau hadir saat aku memutuskan untuk tidak terlebih dulu jatuh cinta saat aku sedang berusaha menyembuhkan luka tersebab cinta.

Ah, aku harus mengakui bahwa sejak melihatmu untuk pertama kalinya aku telah jatuh cinta padamu.
Ya, puncak dari rasa benciku ternyata adalah cinta. Aku telah jatuh cinta pada pesonamu. Aku telah jatuh cinta seutuhnya padamu.

Kehadiranmu mampu menyembuhkan luka yang susah payah aku obati. Kehadiranmu membuatku terlupa akan kenangan yang nati-matian berusaha aku kubur.

Aku berharap, engkau tidak sama dengan masa laluku. Yang menerima cintaku hanya untuk sebuah pelarian. Yang menerima cintaku hanya untuk persinggahan. Yang menjalin cinta hanya untuk perpisahan.

Tidak. Aku yakin engkau adalah masa depanku. Maka, aku tak ingin lagi membawa masa lalu pada hubungan kita.

Biarlah, masa lalu aku, dan dirimu tetap menjadi masa lalu. Sebab, yang aku inginkan sekarang adalah engkau menjadi masa depanku.

Jangan pernah meragukan ketulusanku. Sebagaimana aku tidak pernah meragukan ketulusanmu. Jangan pernah meragukan rasaku sebagaimana aku tidak pernah meragukan rasamu padaku.

Jangan pernah menanyakan kenapa aku mencintaimu? Karena tak kan kau dapatkan jawabannya.
Dari awal aku sudah mengatakan bahwa aku membencimu. Tapi, aku tak pernah mampu mengusir rasa benci itu. Satu-satunya cara agar kebencianku padamu hilang ialah dengan jatuh cinta. Dengan mencintaimu setulusnya. Sampai rasa benci itu tak hadir lagi dengan tampilan yang lebih menakutkan.

Genggam erat tanganku! Agar engkau mengetahui betapa dalam cintaku padamu. Aku yang takut kehilanganmu. Bahkan sejak pertama kali kita bertemu.

***

Surat Cinta #9

Ibu...,

Dalam surat ini izinkan aku bertanya tentang sesuatu hal yang mengganjal lubuk hatiku. Tentang sesuatu yang sering memaksaku untuk mengurai air mata. Tentang sesuatu yang membuatku membencimu. Tentang sesuatu yang membuatku semakin mencintaimu.

Mungkin, ibu merasa aneh dengan apa yang aku pertanyakan. Bagaimana mungkin ada hal yang bisa membuat benci sekaligus membuat semakin cinta. Benar kan bu?

Atau ibu sekarang sedang memutar otak mengingat semua kenangan bersama anakmu yang membuat anakmu menjadi benci. Benar kan bu?

Baiklah bu, ini adalah pertanyaan yang ingin aku utarakan kepadamu:

Begini bu,
Apakah benar ibu adalah seorang pembohong seperti apa yang dikatakan orang-orang. Benarkah semua ibu itu adalah pembohong ulung? Benarkah bahwa seorang ibu adalah orang yang pandai berbohong?

Aku harap ibu bisa menjawabnya dengan jujur.

Benarkah bu, saat makanan di rumah kita tinggal sedikit lalu keluar dari bibirmu perkataan "Makanlah nak, Ibu tidak lapar!" Itu adalah sebuah kebohongan?

Benarkah bu, perkataanmu adalah kebohongan hanya agar anakmu ini tak merasakan lapar? Padahal, saat itu engkau juga merasa lapar. Tapi memilih berbohong dengan mengatakan "Ibu tidak lapar."

Benarkah saat itu engkau sedang berbohong? Kenapa bu? Kenapa engkau harus berbohong hanya untuk itu, padahal kita bisa membagi makanan itu berdua tapi engkau memilih menahan lapar? Kenapa bu?

Baiklah, sebelum ibu menjawab kebohongan yang pertama, aku akan menanyakan lagi kebohongan ibu yang selanjutnya.

Dulu, saat aku sakit, ibu adalah orang yang paling khawatir dengan keadaanku. Ibu adalah orang yang paling panik dengan keadaanku. Engkau akan memperlakukanku sebagaimana raja. Apapun yang aku inginkan selalu engkau penuhi. Engkau melayaniku dengan penuh ketulusan. Menyiapkan bubur untukku walaupun kadang aku menolak untuk memakannya tapi engkau tidak marah karena usahamu tak dihargai. Dan saat malam tiba, engkau akan setia berada di sampingku, menemaniku hingga larut malam sampai aku benar-benar bisa istirahat. Dan engkau akan mengatakan "Tidurlah nak, Istirahatlah nak. Ibu akan tetap berada disampingmu!" Lalu aku bertanya padamu "Apakah ibu belum mengantuk?" Dan engkau akan berkata dengan lembut "Ibu belum mengantuk." Kata orang, itu adalah sebuah kebohongan seorang ibu. Katanya, saat itu sebenarnya ibu sudah merasa lelah dan mengantuk. Tapi, ibu memilih berada disamping anaknya untuk memastikan bahwa anaknya bisa beristirahat dengan nyaman. Benarkah itu adalah kebohonganmu juga bu?

Kalau saja, aku mengetahui kebohonganmu itu tentu aku akan memilih berpura-pura tidur hanya agar engkau juga bisa istirahat. Tapi sekali lagi engkau adalah orang yang pandai menyembunyikan kebohongan. Lalu, kenapa harus berbohong?

Tidak perlu dijawab dulu bu! Walaupun aku tahu, ibu akan segera membantah apa yang aku tanyakan. Saat ini ibu pasti sedang menggeleng dengan mata sembab. Maafkan aku bu, jika pertanyaanku membuatmu harus menitikan air mata.

Kebohongan berikutnya yang ingin aku tanyakan ialah, saat aku kanak-kanak aku pernah merusak barang kesayanganmu, aku pernah ketahuan berbohong, atau saat aku beranjak remaja, aku sering berbuat ulah di sekolah sampai-sampai membuatmu harus berhadapan dengan pihak sekolah. Dan masih banyak lagi ulahku yang seharusnya membuatmu marah besar. Tapi, engkau tidak pernah marah. Bahkan saat aku bertanya dengan ketakutan setelah berbuat ulah "Apakah ibu tidak marah?" Ibu hanya diam, lalu tersenyum dan berucap "Ibu tidak marah nak, karena ibu tahu engkau akan berubah." Kata orang, itu juga adalah kebohongan seorang ibu. Benarkah bu?

Padahal, katanya saat itu Ibu ingin memarahi anaknya yang telah merusak barang kesayangan ibu, Ibu ingin menumpahkan rasa kecewa pada anaknya yang telah memberikan aib bagi seorang ibu karena anaknya tumbuh menjadi seorang yang tidak ia harapkan, Ibu ingin menumpahkan rasa kecewa kepada anaknya yang telah membuat malu ibunya di hadapan pihak sekolah dan masyarakat karena ulah kita. Tapi ibu memilih diam dan dengan halus ibu berkata " Ibu tidak marah, karena ibu yakin engkau akan berubah." Katanya, saat mengucapkan perkataan tersebut seorang ibu ingin menangis. Tapi mereka selalu berusaha tersenyum. Karena seorang ibu menyadari bahwa anaknya lebih istimewa dari barang kesayangannya yang rusak. Dan yang paling penting saat ibu mengatakan "Karena ibu yakin engkau akan berubah." Itu adalah sebuah doa kepada Yang Maha Kuasa dan kepercayaan kepada anaknya. Walaupun saat itu ibu ingin marah tapi mereka memilih tersenyum. Hanya karena tak ingin memarahi dan mengajarkan marah pada anaknya. Benarkah demikian bu? Benarkah saat ibu mengatakan "ibu tidak marah" adalah sebuah kebohongan? Kenapa mesti berbohong bu? Kenapa ibu tidak memarahiku saja?

Baiklah, aku tidak akan membiarkan ibu menjawab dulu semua pertanyaanku. Karena masih banyak kebohongan-kebohongan ibu yang ingin aku tanyakan.

Saat aku menuntut ilmu berada jauh dari rumah. Tapi, ibu selalu rutin mengirimiku uang untuk keperluan biaya hidup dan pendidikanku. Ibu selalu memberikan yang terbaik untuk anakmu yang sedang berada jauh darimu untuk menuntut ilmu. Bahkan, pernah suatu saat aku membutuhkan uang yang mendadak untuk biaya pendidikanku. Tapi, ibu selalu mengatakan dengan sigap "Ibu akan mengirimkanmu uang secepatnya." Dan saat aku bertanya "Apakah ibu memiliki uangnya?" lalu ibu menjawab dengan yakin juga "Tenang saja nak, ibu masih memiliki simpanan". Saat itu aku menganggap bahwa apa yang aku dengar darimu adalah sebuah kejujuran.

Tapi, kata orang itu adalah salah satu kebohongan seorang ibu. Katanya, saat seorang anak meminta uang mendadak untuk biaya pendidikan, hati seorang ibu langsung gusar karena merasa bahwa dia tidak memiliki uang lebih apalagi simpanan. Tapi, seorang ibu akan tetap mengatakan "Ada" hanya agar kamu tidak usah ikut-ikutan pusing memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang yang kamu minta. Itu hanya agar pikiran anaknya tetap fokus untuk belajar. Saat seorang ibu mengatakan "Ada" maka saat itu di kepala seorang ibu sedang memikirkan bagaimana caranya bisa mendapatkan uang tepat waktu. Saat malam, biasanya Ibu akan mengajak ayah untuk berdiskusi. Lebih tepatnya memaksa agar Ayah bisa mendapatkan uang yang kita butuhkan walaupun dengan berhutang. Ya, yang disebut 'simpanan' oleh seorang ibu ternyata adalah pinjaman. Tapi, ibu tidak ingin agar anaknya tahu bahwa uang yang dia berikan adalah hasil dari meminjam. Yang pasti, ibu akan selalu memenuhi semua kebutuhan anaknya.

Katanya lagi, saat kita berada jauh dari rumah untuk menuntut ilmu, Ibu sebagai pengatur anggaran belanja rumah telah memangkas banyak biaya. Saat anaknya berada jauh dirumah untuk menuntut ilmu, di rumah ibu hanya menyajikan makanan yang sangat sederhana dari yang disebut sederhana. Hanya agar uangnya bisa dikirimkan pada anaknya yang sedang merantau untuk menuntut ilmu. Ibu, selalu menahan keinginannya untuk membeli barang keperluan pribadi hanya agar uangnya bisa dikirimkan pada anaknya tepat waktu.

Benarkah demikian bu? Benarkah ibu berbohong saat mengatakan "Tenang saja, uangnya ada" atau "Tenang saja, ibu masih memiliki simpanan" dan masih banyak kata lainnya yang terucap saat engkau memenuhi semua kebutuhan pendidikanku. Padahal, setiap malam ibu selalu memikirkan bagaimana caranya bisa menhirimkanku uang tepat waktu.

Benarkah ibu berbohong? Kenapa mesti berbohong bu? Padahal, kalau saja ibu tidak berbohong tentu aku bisa berusaha sendiri atau tidak terlalu membebankanmu.

Ah, enkau memang pandai menyembunyikan kebohongan. Tapi kenapa harus berbohong?

Masih banyak kebohongan ibu yang ingin aku tanyakan disini tapi rasanya itu akan membuat surat ini semakin panjang.

Baiklah, ini mungkin pertanyaan terakhir pri hal kebohonganmu. Saat aku sudah mulai bekerja, aku berniat memberikan hasil kerjaku padamu. Tapi engkau dengan lembut menjawab " Simpanlah dulu untuk kebutuhanmu, Ibu belum membutuhkannya." Aku kira itu adalah sebuah kejujuran.

Tapi, kata orang itu adalah kebohongan seorang ibu. Katanya, saat Ibu mengatakan demikian, sebenarnya Ibu sedang membutuhkan bantuan anaknya. Tapi Ibu tidak ingin anaknya tahu bahwa ibunya sedang susah dan menyuruh anaknya untuk menabung agar tidak merasakan kesusahan yang ibunya rasakan. Benarkah demikian bu?

Kenapa Ibu berbohong untuk hal remeh temeh seperti ini bu? Kenapa Ibu tidak mau membagi kesusahan yang ibu rasakan denganku? Kenapa harus berbohong?

Apakah Ibu hendak menjawab pertanyaanku bu?
Ataukah Ibu sendiri sudah tidak sanggup mengatakan apapun karena harus mengusap air mata yang meleleh di pipimu. Sebagaimana air mata juga meleleh di pipiku?

Inilah yang membuatku benci kepadamu bu.
Karena aku tahu, ternyata selama ini benar apa yang di katakan orang-orang bahwa seorang ibu adalah pembohong yang ulung.

Kenapa harus berbohong bu?
Bukankah ibu selalu mengajarkanku untuk selalu jujur?

Kenapa harus berbohong bu?
Apakah ibu hendak mengajarkanku untuk berbohong juga?
Lalu, kenapa kau ajarkan aku tentang kejujuran jika engkau sendiri berbohong?

Bu, maafkan aku.
Aku tidak benar-benar membencimu.
Kuharap engkau juga tak membenciku.

Bukan engkau yang harus aku benci karena kebohongan itu.
Tapi, yang harus aku benci adalah mereka yang mengatakan bahwa seorang Ibu adalah pembong.
Yang harus aku benci adalah mereka yang mengatakan bahwa seorang Ibu adalah pembohong yang ulung.
Yang harus aku benci adalah mereka yang mengatakan bahwa Ibu adalah orang yang pandai menyembunyikan kebohongan.

Tidak bu. Aku tidak setuju dengan mereka yang mengatakan Ibu adalah pembohong. Kata pembohong tidak pantas disematkan pada sosok mulia sepertimu.

Bagiku, apa yang aku utarakan di atas bukanlah kebohongan.

Yang engkau ajarkan diatas adalah bagaimana kita membuktikan cinta kita kepada seseorang yang yang telah Tuhan amanahkan kepada kita.
Yang engkau ajarkan diatas adalah bagaimana seseorang akan melakukan apapun untuk yang dicintainya melebihi dirinya sendiri.
Yang engkau ajarkan di atas adalah bagaimana berkorban untuk seseorang yang istimewa dalam hidup.
Yang engkau ajarkan di atas adalah cinta. Cinta yang tak mengaharap balasan dari yang dicintainya.
Yang engkau ajarkan di atas adalah bagaimana menjadi seorang yang tulus sepenuh kasih menyayangi seseorang melebihi dirinya sendiri.

Lalu, kenapa mereka dengan tega mengatakan bahwa Ibu adalah seorang pembohong?
Sungguh, aku tidak rela bila ada yang mengatakan Ibu adalah seorang pembohong.
Bagiku, Ibu adalah bukti cinta Tuhan.
Bagiku, Ibu bukan seorang pembohong melainkan seorang pecinta yang jujur, yang mengungkapkan cintanya dengan perbuatan.

Itulah yang membuatku semakin mencintaimu. Dan bersyukur terlahir dari rahimmu.

Bu, semoga engkau sudi mengajarkanku cinta yang agung sepertimu.
Semoga aku bisa menangkap makna yang tersembunyi dari setiap perlakuanmu padaku.
Meski aku tahu, cintaku padamu masih kalah dengan cintamu padaku.
Meski aku tahu, masih banyak makna yang belum tersingkap dari keluhuran budimu.

Ah, Ibu.

Kenapa engkau selalu saja mampu untuk membuat air mataku berlinang.
Apakah ini air mata kerinduan?
Ataukah ini air mata penyesalan karena terlambat memahami cintamu?

Tiba-tiba saja aku teringat dengan pesan singkatmu beberapa waktu yang lalu. Sehari sebelum ulang tahunku.

"Ka, selamat ulang tahun besok. Semoga selalu diberikan panjang umur dan kesehatan serta kebahagiaan. Kata Ibu." Pesan yang seolah-olah dikirimkan oleh adikku.

Lalu, aku pun membalas " Aamiin. Terimakasih bu. Tapi, ulang tahunku besok kenapa ngucapinnya sekarang?" Tanyaku.

"Agar ibu menjadi orang yang paling pertama mengucapkan." Begitulah balasannya.

Hal itu membuatku sedikit bingung.
Pertama, bukankah yang mengirimkan pesan sebelumnya mengatasnamakan adikku? Lalu, kenapa di balasan sebelumnya langsung menyebut "Ibu" bukan "Kata Ibu"?

Kedua, Kenapa ingin menjadi yang pertama sebelum orang lain mengucapkan?

Kenapa bu?
Tenang saja. Ibu tidak perlu menjawabnya. Karena aku sudah mengetahui jawabannya.

Yang pertama, setelah pesan itu aku langsung menghubungi adik dan menanyakan siapa yang sesungguhnya mengirimkan pesan tersebut.
Dia menjawab "Pesan itu Ibu sendiri yang mengetik. Hanya saja mengatasnamakan aku."

Aku tidak tahu alasanmu bu, mungkin untuk mengajarkan adik bagaimana mencintai dan memberikan kebahagian kecil bagi orang disekitar.

Atau alasannya karena Ibu malu jika berterus terang dalam mengungkapkan cinta pada anaknya. Karen aku bukan anak kecil lagi. Walaupun aku tetap anakmu.

Alasan yang lebih tepatnya hanya ibu yang lebih mengetahui, semoga ibu berkenan untuk memberitahu.

Yang jelas, orang lain mungkin akan mengatakan ini sebagai kebohongan seorang ibu.

Kedua, kenapa Ibu ingin menjadi yang pertama dan takut ada yang mendahului untuk mengucapkan selamat ulang tahun pada anakmu.

Ini seperti seorang ayah yang bersedih saat anak perempuannya akan dipersunting oleh seorang laki-laki yang akan menggantikan posisi ayahnya dalam menjaga anak gadisnya.

Begitulah, yang aku tangkap dari maksud ibu. Mungkin, ibu juga merasa bahwa sebentar lagi anakmu ini akan memiliki seorang perempuan yang akan berada disampingku. Menyayangiku, mencintaiku. Dan ibu merasa bahwa akan ada yang menggantikan ibu dalam memberi perhatian padaku setelah itu. Benarkan bu?

Apakah, Ibu saat ini sedang menangis bu? Kalau jawabannya 'iya'. Maka, keadaan itu juga yang terjadi padaku.

Aku terharu dengan semua caramu mengungkapkan cinta.
Aku terharu dengan semua caramu.

Aku ingin selalu menjadi anakmu.
Aku akan selalu menjadi anakmu.
Sampai kapanpun.

Dan, engkau adalah sebaik-baik manusia yang mengajarkan cinta.
Semoga, aku bisa mewarisi kasih sayangmu.

Maafkan aku yang terlambat menyadari semuanya.

***